Persoalan distribusi bantuan hingga hari kelima pascagempa di Majene, Sulawesi Barat, masih dikeluhkan. Syarat mendapatkan bantuan dinilai mempersulit warga. Sejumlah wilayah terisolasi juga minim tersentuh bantuan.
Oleh
Reny Sri Ayu
·3 menit baca
MAJENE, KOMPAS — Penyintas gempa di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, berharap distribusi bantuan dari pemerintah dilakukan dengan merata dan dipermudah. Sejauh ini, pemerintah mendata terdapat sebanyak 25 titik pengungsian di Majene. Namun, nyatanya, jumlahnya jauh lebih banyak. Bahkan, pengungsian juga terdapat di beberapa wilayah terisolasi yang sulit dijangkau karena akses jalan tertutup longsor pascagempa pada 15 Januari lalu.
Sejumlah pengungsi di Kecamatan Sendana dan Malunda mengakui sejauh ini sangat minim menerima bantuan pemerintah. Kalaupun ada, biasanya bantuan baru bisa diperoleh setelah memenuhi prosedur birokrasi yang rumit. Harus disaksikan lurah, camat, dan koordinator pengungsian menjadi salah satu syarat mendapatkan logistik. Padahal, pihak berkepentingan yang harus menyaksikan itu tak selalu ada di posko logistik.
Syamsuddin (48), salah satu pengungsi di Kecamatan Sendana, mengatakan, sejauh ini mereka mendapatkan bantuan dari sukarelawan atau kelompok masyarakat. ”Kami belum didata, padahal lokasi kami ada di perbukitan di Sendana. Kami juga tidak tahu siapa yang jadi koordinator untuk lokasi pengungsian kami. Persoalannya sekarang, kalau bisa membeli pun banyak toko tutup,” katanya, Selasa (19/1/2021).
Di Kecamatan Malunda, persoalan yang sama dihadapi penyintas. Untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, mereka merasa dipersulit. ”Harus ada lurah atau camat yang menyaksikan, padahal mereka tidak selalu ada di posko. Kami juga tak tahu koordinator kami siapa,” kata Aladin (62), pengungsi di Malunda.
Dia melanjutkan, ”Rasanya kami jadi seperti pengemis, bahkan kadang sampai harus ribut. Padahal, kami warga Malunda yang mengungsi karena lokasi desa kami rawan longsor dan rumah kami sudah rusak. Kami juga tak bisa membeli karena sudah tidak ada toko yang buka.”
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat lebih 4.000 pengungsi di Majene yang tersebar di 25 titik. Namun, dalam pantauan Kompas, jumlah titik pengungsi mencapai ratusan yang tersebar dari Kota Majene, Kecamatan Sendana, Tammeroddo, Tubo Sendana, Ulumanda, hingga Malunda.
Selain di jalan poros, pengungsi juga ada di perbukitan di sepanjang jalur Majene-Mamuju. Bahkan, di sejumlah wilayah terisolasi juga terdapat banyak titik pengungsian. Di wilayah terisolasi, bantuan juga sangat minim. Sejauh ini, wilayah terisolasi baru bisa ditembus oleh sukarelawan. Desa-desa terisolasi di antaranya ada di Kecamatan Malunda dan Ulumanda.
Beberapa hari lalu, Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Majene Sirajuddin mengatakan, untuk wilayah terisolasi, bantuan sudah didrop menggunakan helikopter.
”Sudah ada heli membawa bantuan ke Malunda. Adapun di posko-posko pengungsian lain, kami terus mendata berapa banyak sebenarnya warga mengungsi dan titiknya. Pendataan sementara kami, untuk dua wilayah saja, yakni Malunda dan Ulumanda, jumlahnya belasan ribu orang,” katanya.
Pantauan Kompas di beberapa kecamatan di Majene, saat ini banyak desa yang ditinggal warganya mengungsi. Rumah-rumah warga tampak kosong dan suasana desa-desa tersebut seperti desa mati. Bahkan, di Malunda dan Ulumanda, hampir tak ada lagi rumah yang berpenghuni.