Saat ini, tenaga kerja yang masih bertahan di pusat perbelanjaan di wilayah DKI Jakarta berkisar 280.000 orang. Akibat kebijakan PPKM, potensi PHK dapat mencapai 50 persen dari tenaga kerja yang ada.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat membatasi jam operasional serta kapasitas pelayanan pada ekosistem pusat perbelanjaan dan ritel. Agar tidak berujung pada pemutusan hubungan kerja, pelaku usaha mengusulkan sejumlah solusi.
Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) membatasi jam operasional pusat perbelanjaan hingga pukul 19.00. Bagi restoran, jumlah pelanggan yang diperbolehkan makan di tempat maksimal 25 persen dari kapasitas.
Ketua DPD Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Ellen Hidayat mengatakan, tingkat keterisian pusat perbelanjaan saat ini berkisar 15 persen. Hal ini karena semakin banyak penyewa di pusat perbelanjaan tutup.
”Ada dua alasan para penyewa itu menutup gerainya. Pertama, karena menghadapi beratnya situasi pandemi. Kedua, waktu sewanya habis dan tidak memperpanjang,” tuturnya dalam telekonfernsi pers, di Jakarta, Senin (18/1/2021).
Menurut Ellen, saat ini, tenaga kerja yang masih bertahan di pusat perbelanjaan berkisar 280.000 orang. Akibat kebijakan PPKM, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat mencapai 50 persen dari tenaga kerja yang ada.
Saat ini, tenaga kerja yang masih bertahan di pusat perbelanjaan berkisar 280.000 orang. Akibat kebijakan PPKM, potensi PHK dapat mencapai 50 persen dari tenaga kerja yang ada.
Pengurangan kapasitas pengunjung di pusat perbelanjan akibat penerapan kebijakan pemerintah itu berujung pada berkurangnya pendapatan. Padahal, pelaku usaha pusat perbelanjaan kerap memberikan sejumlah skema yang meringankan penyewa atau peritel dalam membayar uang sewa.
Selain itu, pengelola pusat perbelanjaan juga kerap mengeluarkan dana untuk fasilitas penunjang kesehatan, seperti tempat cuci tangan. Namun, fasilitas-fasilitas itu masih belum dapat meringankan beban operasional para penyewa tempat.
Oleh sebab itu, kata Ellen, APPBI, Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengusulkan, setelah masa PPKM pada 11-25 Januari 2021 usai, pusat perbelanjaan dapat beroperasi hingga pukul 21.00. Jumlah konsumen yang makan di restoran juga diharapkan dapat mencapai 50 persen dari kapasitas.
Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah menuturkan, jumlah tenaga kerja saat ini berkisar 550.000 orang. Apabila kebijakan PPKM berlanjut, potensi PHK dapat mencapai 50 persen.
Pengembalian jam operasional pusat perbelanjaan hingga pukul 21.00 dan jumlah konsumen yang makan di restoran diharapkan dapat meningkatkan pengunjung. Pengunjung gerai ritel di mal bergantung pada tingkat kepadatan pusat perbelanjaan.
”Dengan usulan tersebut, kami berharap kualitas pengunjung yang datang itu yang benar-benar membutuhkan suatu barang dan membelinya,” katanya.
Wakil Ketua PHRI Bidang Restoran Emil Arifin memaparkan, jumlah tenaga kerja di restoran-restoran se-DKI Jakarta sebelum pandemi Covid-19 sekitar 300.000 orang. Saat ini, jumlahnya berkisar 120.000 orang. Jumlah restoran yang tutup diperkirakan mencapai 400 unit.
Ketidakpastian
Sementara itu, Ellen juga menegaskan, ketidakpastian tengah melanda pelaku usaha di ekosistem pusat perbelanjaan dan ritel sehingga tidak bisa membuat perencanaan jangka panjang. Biasanya, periode Ramadhan-Lebaran menjadi puncak belanja. Namun, tak banyak yang berani berproduksi karena khawatir mubazir.
”Untuk Imlek, acara terdekat saat ini, kami juga belum berani (mengadakan acara). Padahal, biasanya kami menyiapkan acara untuk mendatangkan konsumen,” tuturnya.
Berkaca dari periode Ramadhan-Lebaran 2020, lanjut Budihardjo, pelaku ritel cenderung tidak berani menyetok. Pelaku juga sulit memperkirakan jumlah penjualan pada Ramadhan-Lebaran 2021.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia sekaligus Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B Sukamdani optimistis, rata-rata okupansi hotel pada 2021 dapat mencapai 40 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan okupansi pada 2020 yang berkisar 30 persen.
”Kenaikan ini beriringan dengan tingkat kebiasaan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan,” ujarnya.