Tantangan Pelayanan Publik 2021
Saat masa pelik, negara tak boleh hadir biasa-biasa (”business as usual”) lantaran kesulitan hidup rakyat sungguh berkarakter lain. Krisis menjadi lahirnya cara baru berpemerintahan.
Inti dari seluruh proses berpemerintahan itu adalah pelayanan publik. Bahkan, ia menjadi tanda dari hadirnya negara (state in practice) dalam kehidupan masyarakat.
Pandangan demikian bertolak dari dua rasionalitas. Pertama, pelayanan publik itu politik, soal relasi rakyat sebagai warga dengan pemerintah. Pihak pertama memberikan mandat (suara dalam pemilu, pajak dalam ekonomi); pihak kedua mengonversi mandat itu ke dalam akuntabilitas kinerja. Relasi mandat dan akuntabilitas terlihat nyata pada pemenuhan layanan negara pada warga.
Kedua, pelayanan publik, terutama skala dasar, adalah hak konstitusional warga bagi kualitas keberlangsungan hidup secara individual dan sosial. Sebegitu fundamentalnya, negara tak saja berkewajiban, tetapi juga bisa ditagih dan bahkan digugat tanggung jawab dalam pemenuhannya.
Baca juga: Rapor Reformasi Birokrasi
Bagaimana realisasinya di Indonesia, khususnya di daerah sebagai garda depan pelayanan publik? Pengalaman 2020 memberikan sketsa jawaban. Dan, sebagian kelemahan/kegagalan niscaya berulang kita alami pada 2021 jika unjuk kerja birokrasi tak berubah secara mendasar. Cara kita merespons akan jadi batu uji lantaran konteks tantangan strategis masih sama, bahkan pada 2021 bertambah satu lagi yang diyakini secara signifikan menghadirkan lingkungan persoalan baru.
Apa tantangan-tantangan krusial ke depan dan antisipasi yang diperlukan sebagai implikasi dari pilihan kebijakan yang kita ambil?
Ketika pola respons pandemi makin berbasis lokal bahkan komunitas, delegasi mestinya dibarengi dosis desentralisasi.
Tiga tantangan
Konteks lingkungan pertama yang amat memengaruhi ekosistem dan tata kelola layanan publik tahun ini adalah lanjutan dan pendalaman dari dampak struktural pandemi Covid-19. Kita tahu, pagebluk ini sungguh telah menguji ketangguhan atau kerapuhan sistem kesehatan, governabilitas sektor publik, fundamen ekonomi dan modal sosial yang ada.
Kita lulus bersyarat dalam ujian solidaritas kewargaan dan kapabilitas sosial, namun keteteran dalam ujian ekonomi dan kinerja pemerintahan, serta bagai membuka kotak pandora ketika ujian yang sama kita lakukan atas sistem layanan kesehatan.
Baca juga: Presiden Ingin Aparat Birokrasi Lebih Adaptif dan Terampil
Selain faktor kepemimpinan dan strategi komunikasi yang sudah disorot banyak pihak, cara kita merespons juga erat terkait dasar kewenangan penanganan pandemi, dukungan dan ruang fiskal, hingga kapasitas pelaksanaan di lapangan. Status bencana nasional membuat otoritas pemda terbatas dan tak leluasa lantaran harus menunggu delegasi (penugasan) pusat. Ketika pola respons pandemi makin berbasis lokal bahkan komunitas, delegasi mestinya dibarengi dosis desentralisasi.
Pemda yang biasa bekerja leluasa-mandiri (otonom) tampak gagap melangkah ketika delegasi itu mengalir dalam wujud perintah realokasi anggaran, refocusing program, hingga realisasi kegiatan.
Pada sisi lain, prakondisi dasar, seperti kerangka kebijakan hingga satuan data terpadu, tidak lekas tersedia ketika layanan esensial berupa jaring pengaman atau bantuan sosial hendak diberikan sebagai bantalan bagi warga terdampak pandemi. Hari ini, kebijakan nasional sudah relatif solid, tetapi basis data belum benar-benar ”duduk”.
Baca juga: Percepatan Reformasi Birokrasi Tak Bisa Ditawar
Distribusi bantuan sosial (bansos) tak cukup mengubah bentuk natura ke tunai, tetapi juga mesti mengeliminasi malaadministrasi dan mengintegrasikan data Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), hingga bansos daerah/desa. Bahkan, reintegrasi dan soliditas data bisa menjadi awal bagi penyatuan skema bantuan jamak-fragmentatif ke skema tunggal-terkonsolidasi.
Kedua, tantangan baru datang dari pemberlakuan omnibus law Cipta Kerja yang telah disahkan akhir 2020 tahun lalu lewat UU No 11 Tahun 2020. Beleid ini memang masih menjadi ”kitab terbuka” lantaran belum ada respons tunggal atas keberadaannya. Sebagian elemen masyarakat menempuh jalur yudisial (uji formil dan/atau uji materil) ke Mahkamah Konstitusi. Sebagian lain mendesak ditempuhnya jalur legislatif berupa revisi parsial atas teknis legal-drafting dan materi muatan.
Terlepas dari berbagai langkah ini, sudah pasti UU tersebut akan masuk ke fase pelaksanaan.
Pada sisi lain, pemerintah memilih berfokus menyusun 44 regulasi turunan, baik peraturan pemerintah maupun peraturan presiden. Beberapa waktu ke depan kita akan menyaksikan bagaimana semua itu berproses dan ke mana ujung akhirnya.
Terlepas dari berbagai langkah ini, sudah pasti UU tersebut akan masuk ke fase pelaksanaan. Persiapan operasional dan strategi implementasi menjadi krusial dalam mengantisipasi ekses perubahan maupun mengeksekusi arah baru kebijakan. Selain tata perizinan dan segala aspek di hulu yang mewarnai diskursus kebijakan, soal tata kelola layanan usaha dan pengawasan atas pemenuhannya mesti menjadi bagian dari rencana besar guna dipersiapkan sejak sekarang.
Baca juga: Potensi Korupsi Perizinan Berusaha
Transformasi perizinan berbasis risiko, misalnya, mensyaratkan cara kerja baru dan perubahan pola relasi pusat dengan daerah maupun pemerintah dengan warga dalam layanan birokrasi ke depan.
Pada sisi lain, relaksasi pada ranah hulu (perizinan) menuntut efektivitas ranah hilir (pengawasan). Ketika legalitas usaha tak lagi semuanya berbasis izin tetapi standar dan registrasi, potensi konflik di masyarakat menjadi terbuka. Pada sisi lain, mekanisme keberatan berjenjang mungkin tak banyak ditempuh lantaran pemda tutup mata atas masalah usaha yang izinnya diberikan pusat.
Peran Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas pelayanan publik harus kian kuat guna merespons ”lompatan” pengaduan masyarakat ataupun imbas bergesernya rezim pidana ke sanksi administrasi atas kisruh perizinan.
Ketiga, internal pemerintahan juga menyimpan dinamika tersendiri. Dua situasi yang patut disebut adalah agenda reformasi birokrasi dan kepemimpinan baru di daerah (pilkada). Reformasi birokrasi jelas imperatif. Namun, musim puncak reformasi (pemangkasan eselon, penyetaraan jabatan) terjadi pada 2020-2021 ketika momentumnya justru menghendaki ”kapal“ yang stabil. Tentu tak boleh surut, tetapi mesti diperkuat orkestrasi dan kepemimpinan perubahan dalam mengelola agenda makro, meso, dan mikro sektor publik.
Pada level daerah, hasil pilkada memunculkan sejumlah kemenangan para penantang atau pendatang baru. Energi segar diharapkan bertuah bagi pemulihan ekonomi, pelayanan kesehatan dan perlindungan sosial. Namun, tak ada masa berbulan madu, mereka mesti lekas menguasai arena (politik dan birokrasi), membuang jauh-jauh niat balas dendam atau balas budi dalam pengisian jabatan, apalagi membancak program layanan warga sebagai ladang berburu rente dan korupsi.
Baca juga: Korupsi Tak Berhenti di Tengah Pandemi
Di masa krisis, ujian kepemimpinan persis terletak pada kemampuan untuk membangun moral kerja tim, merajut kolaborasi dan inovasi, bermental sebagai pelayan rakyat. Tidak gampang, tetapi demi itu semualah rakyat telah berani bertaruh nyawa hadir di bilik-bilik suara 9 Desember 2020 lalu.
Pada level daerah, hasil pilkada memunculkan sejumlah kemenangan para penantang atau pendatang baru.
Tantangan 2021
Ekosistem pelayanan publik dan cara pemerintah merespons permintaan layanan dari warga memang tidak lagi sama seperti masa manapun dalam sejarah sektor publik kita. Birokrasi sendiri mesti bertransformasi menjadi learning organization, para kepala daerah wajib membangun diri sebagai pemimpin perubahan. Kepada mereka nasib warga dalam mengakses perlindungan dan pelayanan negara digantungkan.
Pusat berperan membingkai peran para garda depan itu melalui kebijakan solid, ruang yang kian otonom guna merangsang diskresi dan inovasi, serta pengawasan yang berorientasi preventif, protektif dan berbasis aturan main (sistem integritas) yang efektif.
Saat masa pelik, negara tak boleh hadir biasa-biasa saja (business as usual) lantaran kesulitan hidup rakyat sungguh berkarakter lain. Krisis mestinya menjadi ruang lahirnya cara baru berpemerintahan.
Kesengsaraan hidup jelas memburuk jika pemerintah alih-alih melayani tapi malah menjadi benalu perusak tubuh negara itu sendiri. Kala itu berulang terjadi, maka jika lanskap tata kelola 2020 dan 2021 dibuat relatif longgar demi lancarnya percepatan layanan dan penyerapan anggaran, tahun-tahun mendatang niscaya diisi berbagai tagihan akan tanggung gugat secara hukum dan administrasi. Kita sungguh tak menghendaki itu.
Robert Na Endi Jaweng, Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta