180 Bahasa Daerah Kini Mempunyai Kamus
Indonesia memiliki sekitar 700 bahasa daerah. Penyusunan kamus bahasa daerah menjadi bagian dari upaya perlindungan kebudayaan.
Hingga Oktober 2019, total bahasa daerah di Indonesia yang terpetakan mencapai 718 bahasa. Dalam buku Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia Edisi Keenam (2019) disebutkan ada penambahan bahasa daerah berasal dari Provinsi Papua (26 bahasa), Papua Barat (7), Maluku (8), Maluku Utara (1), Nusa Tenggara Timur (3), Sulawesi Barat (4), dan Kalimantan Utara (1).
Dari jumlah 718 bahasa daerah tersebut, berdasarkan catatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sudah terdapat kamus dwibahasa Indonesia-bahasa daerah atau sebaliknya. Namun, jumlahnya baru mencapai 180 buah.
Dari kamus-kamus tersebut, beberapa di antaranya hanya berwujud cetak dan sebagian memiliki versi cetak dan daring. Namun, ada pula kamus bahasa daerah yang sudah disiapkan versi daring tetapi sekarang tidak bisa diakses karena programnya telah usang.
Proses penyusunan kamus dwibahasa Indonesia-bahasa daerah ataupun sebaliknya pun mempunyai lika-liku perjalanan yang tak mudah. Analis Kata dan Istilah Balai Bahasa Provinsi Papua, Siti Masitha Iribaram, Selasa (19/1/2021), dalam webinar ”Serba-serbi Penyusunan Kamus Bahasa Daerah” menceritakan, tim peneliti biasanya memulai proses dengan menentukan wilayah kerja, menggelar survei, menghitung jumlah anggaran, menentukan pihak penutur yang akan diajak kerja sama, serta menentukan target jumlah entri kata berikut waktu penyelesaian.
Wilayah kerja Siti meliputi 28 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Papua, kemudian ditambah 12 kabupaten dan 1 kota di Papua Barat. Secara geografis, dia menilai wilayah kerja tersebut sangat menantang dan tak selalu gampang dijangkau.
”Pulau Papua mempunyai medan yang lengkap, yakni daratan dan lautan yang luas. Penutur asli bisa bertempat tinggal di pegunungan atau pedalaman. Infrastruktur jalan ataupun sarana transportasi belum merata,” ujarnya.
Sebelum terjun menyusun, Siti biasanya membawa pinang, kapur, dan tembakau untuk diserahkan kepada informan ataupun penutur asli. Ada kepercayaan budaya yang sampai sekarang berkembang, yaitu bahasa daerah adalah warisan leluhur. Jadi, ketiga bahan makanan itu berfungsi sebagai penghormatan kepada leluhur.
Tidak semua penutur bahasa daerah diperbolehkan dewan adat bekerja sama dengan peneliti. Dewan adat biasanya memiliki kriteria penutur yang boleh menyampaikan.
Tidak semua penutur bahasa daerah diperbolehkan dewan adat bekerja sama dengan peneliti. Dewan adat biasanya memiliki kriteria penutur yang boleh menyampaikan.
Saat terjun ke lapangan, dia membawa kartu berisikan daftar kata, sering kali bersumber dari bahasa Indonesia, beserta medan makna untuk ditanyakan kepada informan. Cara ini masih sederhana sehingga sering menimbulkan kesalahan, apalagi jika informan yang diwawancarai gugup atau takut.
”Menerjemahkan ke bahasa daerah dengan sumber kosakata bahasa Indonesia membuat proses penyusunan terkesan tidak alami,” katanya.
Meski Siti adalah warga asli Papua, dia kerap menemui permasalahan menyangkut lema. Beberapa bahasa daerah di Papua dan Papua Barat menggunakan satu lema untuk mewakili satu konsep. Dengan kata lain, satu kata untuk sejumlah makna. Misalnya, saat menanyakan bahasa daerah untuk kosakata ”mangkok”, maka kosakata yang muncul sama dengan ”gayung”, ”timba”, dan ”gelas”.
Dia menambahkan, sejak tahun 2006 hingga sekarang di Papua dan Papua Barat telah tersusun 16 kamus dwibahasa. Tiga kamus dwibahasa di antaranya telah diterbitkan dalam bentuk buku.
”Sampai 2019, kami telah memetakan sekitar 325 bahasa daerah di Papua dan Papua Barat. Di antara bahasa daerah itu sudah ada yang jumlah penuturnya semakin sedikit,” ujarnya.
Baca juga: Tiga Tahun Terakhir, Ada 11 Bahasa Daerah di Nusantara Punah
Diferensiasi
Peneliti Ahli Muda Balai Bahasa Provinsi Riau, Zainal Abidin, mengatakan, kesuksesan menyusun kamus bahasa daerah terletak saat penelitian di lapangan. Dia kerap kali harus tinggal dan hidup dalam jangka waktu tertentu dengan penutur.
”Sejak bangun sampai kembali tidur. Saya mencatat kosakata yang muncul dari percakapan mereka,” ujarnya.
Sama seperti Siti, sebelum terjun ke lapangan, Zainal biasanya membuat daftar konteks kata beserta kaitannya. Sebagai contoh, alam semesta dan ciptaan. Setelah itu, dia akan mengisi hasilnya ke daftar. Dalam proses ini, penutur dan informan seringkali diikutsertakan.
Zainal telah lama berkecimpung dalam penyusunan kamus bahasa Melayu di Riau. Dari pengalamannya, salah satu tantangan tersulit adalah mencari kosakata-kosakata bahasa Melayu yang benar-benar berasal dan dipakai di Riau. Sebab, di luar Riau, bahasa Melayu juga dapat dijumpai di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau.
Ragam bahasa Melayu pun dapat ditemukan di luar Sumatera, misalnya, bahasa Melayu Jakarta, bahasa Melayu Jambi, dan bahasa Melayu Kalimantan. Sejumlah kata dalam bahasa-bahasa itu diserap ke dalam bahasa Indonesia. Negara Malaysia juga menggunakan bahasa Melayu. Negara ini bahkan memiliki Kamus Dewan (kamus bahasa Melayu khas Malaysia).
”Ternyata sudah banyak kata tercantum di KBBI atau Kamus Dewan. Kami menjadi kebingungan mana kata yang harus dimasukkan ke dalam kamus Melayu di wilayah Riau,” kata Zainal.
Menurutnya, dia dan tim akan membedakan kosakata-kosakata yang benar-benar hanya dipakai di wilayah Riau dengan bahasa Melayu di tempat lain. Sebagai contoh, kata ”agai” yang berarti menggigil hanya ada di Kamus Melayu Siak.
Ditolak
Peneliti Ahli Pertama Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, Tri Wahyuni, menyebutkan, wilayah kerja di Jawa Tengah meliputi 35 kabupaten/kota. Untuk menyusun kamus dwibahasa, tim akan memilah terlebih dulu wilayah kerja sasaran, baru memetakan sumber informan dan penutur. Kemudian, tim melakukan inventarisasi jumlah dan entri kosakata.
”Kami juga membuat daftar lema yang memuat pelafalan dan penulisan. Daftar ini memandu kami saat bertanya kepada informan dan penutur,” katanya.
Sasaran informan dan penutur mencakup aneka kelas sosial di masyarakat. Tim akan membawa daftar konteks kosakata ataupun istilah yang akan ditanyakan, seperti arsitektur dan budaya.
Sama seperti Zainal, Tri pun biasa datang berkali-kali ke tempat informan dan penutur. Tidak jarang, dia kerap dapat penolakan saat awal riset. Dia bahkan mengikuti aktivitas sehari-hari mereka hingga diterima.
”Pernah sampai ikut berlayar menangkap ikan sampai selesai. Pernah sebelumnya disangka petugas lembaga swadaya masyarakat juga,” ujarnya.
Beberapa pemerintah daerah mau mendukung upaya pembuatan kamus sehingga memudahkan kerja Tri. Upaya ini juga membantu menyebarluaskan kamus.
Baca juga: Merawat Bahasa Daerah Lewat Lagu
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) E Aminudin Aziz mengatakan, bahasa daerah berkontribusi ke bahasa Indonesia. Kamus bahasa daerah merekam pembicaraan dan peristiwa."Penyusunan kamus bahasa daerah adalah bagian dari pelindungan kebudayaan," ujar Aminudin.