Sejumlah anak muda membiasakan diri lagi untuk olahraga secara rutin selama pandemi. Olahraga jadi jalan untuk sehat, sekaligus melawan rasa gabut.
Oleh
Soelastri Soekirno, Joice Tauris Santi, dan Denty Piawai Nastitie
·5 menit baca
Setelah setahun dibekap pandemi Covid-19, kebiasaan berolahraga jadi berantakan. Hasilnya, berat badan bertambah tidak keruan. Nah, beberapa anak muda bertekad akan rutin olahraga lagi tahun 2021 ini. Selain ingin kembali bugar, mereka yakin olahraga bisa dipakai untuk melawan rasa gabut.
Berolahraga selama pandemi memang bukan perkara mudah. Pasalnya, sebagian fasilitas publik untuk olahraga ditutup atau dibatasi seturut adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Di Jakarta, misalnya, saat ini manajemen Gelora Bung Karno (GBK) menutup semua fasilitas olahraganya. Tempat-tempat kebugaran juga makin membatasi jumlah pengunjung.
Akibatnya, kebiasaan berolahraga yang dibangun susah payah akhirnya berantakan. Ini dialami, antara lain, oleh Yusuf Arjuna Wibawa (19), mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Ciputra, Surabaya. Pada awal 2020, sebelum pandemi terjadi, ia sedang giat-giatnya olahraga lari, bersepeda, atau sekadar push up dan sit up di kamar kos agar tubuhnya tampak berisi.
Baru sekitar dua bulan berolahraga teratur, pandemi terjadi. Kebiasaan olahraganya praktis berhenti. Hari-harinya lantas dipenuhi jadwal kuliah daring yang ia ikuti dari kampungnya di Blitar, Jawa Timur.
Kuliah daring ternyata membuatnya malas bergerak. ”Akhir tahun lalu aku baru sadar, berat badanku sudah 67 kilogram, tapi bentuknya jelek sekali,” ujar Yusuf, Sabtu (16/1/2020).
Ia pun mencoba olahraga lagi di Alun-alun Blitar. ”Ternyata alun-alun ramai sekali. Aku malah takut. Pulang saja, batal olahraga,” katanya.
Yusuf memang sangat menjaga diri agar tak tertular Covid-19. Ibunya yang bekerja di RS di Blitar selalu mengingatkan agar Yusuf dan kakaknya selalu melakukan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak).
Karena tidak memungkinan berolahraga di luar rumah, ia memaksa dirinya untuk berolahraga di sekitar rumahnya. Ia mulai lari, push up, sit up, dan pull up dengan peralatan yang tersedia di rumah. ”Minggu lalu aku sudah mulai lagi olahraga walau rasanya malas, tapi agar imunitas naik, badan sehat dan bagus, harus semangat,” ujarnya.
Pandemi juga membuat kebiasaan berolahraga Putri Irmalia (25) jadi berantakan. Berat badannya pun naik dari 53 kilogram menjadi 65 kilogram. Kini, karyawan di perusahaan swasta di Jakarta ini berjuang mengurangi berat badan. Ia lari setidaknya 3-4 kali seminggu selama 1-2 jam. Ia juga mengatur menu makannya. Sebelum pandemi, ia biasa olahraga di pusat kebugaran. Kadang ia olahraga lari di kawasan GBK atau di pinggir jalan raya.
Olahraga juga dia jadikan sebagai alat untuk membunuh rasa bosan lantaran terkurung di rumah. ”Selama pandemi, kegiatan saya hanya di rumah. Masak, makan, atau bekerja di depan laptop. Rasanya bosan sekali. Jadi, saya olahraga agar tetap waras,” kata Putri yang kini berolahraga di sekitar rumah saja.
Aurora Raisa, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia, juga merasakan betapa pandemi membuat dia tak bisa menjalankan olahraga kesukaannya, yakni paralayang. ”Apalagi, pelatihku di Wonosobo meninggal karena Covid-19,” tambahnya.
Aurora senang olahraga ekstrem tersebut karena sejak kecil diajak ibunya ke Bukit Gantole di Puncak, Bogor, Jawa Barat, untuk melihat olahraga paralayang. ”Ketika SMA, pelatih paralayang sudah melihat aku cocok ikut olahraga paralayang,” lanjutnya.
Melayang-layang di udara, menuruni bukit, membuat hatinya senang. Selama pandemi, yang melayang angan-angannya saja. Kini, untuk sementara ia mencoba mengganti olahraga paralayang dengan longboard, sejenis skateboard, tetapi papan seluncurnya lebih panjang.
Rekonstruksi ulang
Olahraga tentu saja dianjurkan demi kesehatan. Tapi, bagaimana sebaiknya olahraga dilakukan di masa pandemi?
Dokter spesialis kedokteran olahraga Michael Triangto menjelaskan, pandemi seharusnya membuat masyarakat merekonstruksi ulang makna dan tujuan olahraga. ”Olahraga itu tidak harus dilakukan di pusat kebugaran, bisa juga dilakukan di mana saja dengan peralatan yang ada di lingkungan rumah,” ujar dokter yang berpraktik di RS Mitra Keluarga Kemayoran ini.
Yang penting, ujarnya, bagaimana olahraga itu dilakukan. Ia mengingatkan, olahraga dengan intensitas berat justru bisa menurunkan imunitas tubuh. Padahal, di masa pandemi, semua orang justru mesti meningkatkan imunitas tubuh agar tidak mudah terpapar penyakit. ”Kalau kita olahraga dengan intensitas ringan sampai sedang, kita menjadi lebih sehat daripada tidak olahraga sama sekali.”
Michael menyarankan, gerakan yang dilakukan berupa variasi antara aerobik dan anaerobik. Olahraga aerobik seperti jalan kaki, treadmill, dan sepeda statis. Adapun olahraga anaerobik seperti push up dan sit up.
Olahraga jalan kaki bisa dilakukan selama 30 menit per hari di sekeliling rumah. Kalau bosan setiap hari keliling rumah, intensitasnya bisa dibagi tiga, yaitu 10 menit pagi, 10 menit siang, dan 10 menit malam.
Pelatih dan konsultan olaharaga lari bersertifikat Andri Yanto menyarankan hal yang hampir sama. Lakukan olahraga minimal selama 150 menit, bisa dibagi lima kali per pekan masing-masing selama 30 menit. Apa saja yang bisa dilakukan setiap berolahraga? ”Berjalan dengan tergesa-gesa. Kalau tidak bisa, jalan kaki biasa saja,” kata Andri.
Ia menambahkan, olahraga tidak harus dilakukan selama lima hari berturut-turut. Bisa dengan pola dua hari olahraga, satu hari istirahat, disambung lagi tiga hari olahraga. Manfaat akan terasa setelah hal itu dilakukan dalam waktu 3-4 pekan selama konsisten.
Dia menyarankan, tiap individu menetapkan hari olahraga untuk dirinya sendiri. ”Misalnya setiap Senin-Selasa, lalu Rabu istirahat, disambung Kamis, Jumat, Sabtu. Minggu istirahat. Konsistensi ini penting sekali agar kita tidak mudah lelah dan cedera.”
Setelah tubuh terbiasa dengan ritme olahraga, tambahkan durasi selama 10 menit menjadi 40 menit setiap sesi. ”Untuk para pemula, lebih baik fokus pada durasi, bukan jarak tempuh. Bukan mampu berjalan 5 kilometer, 10 kilometer, tetapi pakailah ukuran durasi, berapa menit,” kata Andri lagi.
Sebaiknya olahraga dilakukan pagi hari ketika badan masih segar, kepala belum pusing karena banyak urusan, dan cuaca tidak terlalu panas. ”Jangan lupa sarapan ringan, seperti makan roti dengan selai, sebelum berolahraga,” ujarnya.
Perhatikan juga asupan makanan bernutrisi lengkap yang memiliki karbohidrat, protein, dan lemak baik. Selain itu, perlu tidur yang cukup karena sel-sel melakukan regenerasi ketika kita sedang terlelap.