Bencana Awal Tahun di Jabar Harus Kembali Jadi Pengingat Pentingnya Mitigasi sejak Dini
›
Bencana Awal Tahun di Jabar...
Iklan
Bencana Awal Tahun di Jabar Harus Kembali Jadi Pengingat Pentingnya Mitigasi sejak Dini
Belum genap satu bulan awal tahun 2021, serangkaian bencana terjadi di berbagai tempat di Jabar. Kewaspadaan terhadap warga pun ditingkatkan untuk mengantisipasi jatuhnya korban.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Serangkaian bencana alam di Jawa Barat saat awal tahun ini harus menjadi pengingat pentingnya mitigasi mulai dari lingkungan terkecil. Sebanyak 16 kabupaten dan kota di Jabar tercatat masuk zona risiko tinggi dan 11 daerah lainnya ada dalam kategori risiko sedang bencana alam.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jabar Dani Ramdan di Bandung, Rabu (20/1/2021), mengatakan, daerah dengan risiko tinggi umumnya di bagian selatan dan tengah Jabar. Sebagian besar permukiman di sana berada di daerah miring dan lembah yang rentan gerakan tanah atau longsor.
Sementara Jabar bagian tengah ke utara yang relatif datar berpotensi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Aktivitas manusia yang merusak lingkungan, seperti alih fungsi lahan dan membuang sampah sembarangan, menjadi salah satu penyebab utama terjadinya banjir.
Selain kondisi permukaan bumi, aktivitas alam juga perlu diantisipasi. Dani menjelaskan, Jabar memiliki tujuh gunung aktif dan tiga patahan yang berpotensi bencana. Sebagian bahkan ada di wilayah perkotaan seperti patahan Bandung.
”Patahan ini sewaktu-waktu bisa bergerak jadi kita tidak bisa menduganya. Belum lagi di laut selatan, ada lempengan megathrust yang gempanya bisa memicu tsunami,” paparnya.
Beberapa daerah dengan risiko tinggi mulai dilanda bencana dan memakan korban. Dua bencana di antaranya terjadi di Kecamatan Cimanggung, Sumedang, dan Kecamatan Cisarua Bogor. Di Cimanggung, longsor yang terjadi Sabtu (9/1/2021) menyebabkan 40 orang meninggal karena tertimbun reruntuhan longsor. Di Cisarua, lebih dari 900 jiwa mengungsi akibat banjir bandang yang terjadi Selasa (19/1/2021) pagi.
Karena itu, Dani menyatakan, kewaspadaan dan kesadaran masyarakat terhadap potensi bencana adalah hal yang mutlak. Jika masyarakat sadar potensi bencana, mitigasi pun bisa dilakukan sehingga terhindar dari jatuhnya korban yang lebih banyak.
Menurut Dani, pengenalan daerah meningkatkan kesiapsiagaan terutama saat terjadi bencana dalam periode waktu emas (golden time), yakni 30 menit pertama setelah bencana. Sebanyak 34 persen faktor keselamatan berasal dari kesiapsiagaan individu. Sedangkan 31 persen lainnya dari pertolongan keluarga terdekat.
”Peran kami bersama tim pencarian dan penyelamatan (SAR) hanya sekitar 1,8 persen saja karena saat golden time kami tidak di sana. Karena itu, faktor keselamatan utama itu ada di individu yang siaga,” paparnya.
Rencana kontingensi
Pengamat kebencanaan Universitas Padjadjaran, Dicky Muslim, menyatakan, kesiapsiagaan individu ini bisa diterapkan dengan membentuk rencana kontingensi mulai dari tingkat permukiman. Rencana kontingensi merupakan upaya untuk mengidentifikasi potensi bencana di wilayah, lalu membuat langkah-langkah mitigasi jika terjadi bencana.
Dicky berpendapat, rencana mitigasi tersebut bisa dilakukan dengan memanfaatkan laman dan situs dari berbagai institusi yang memberikan informasi penting. Beberapa informasi yang dibutuhkan ini berupa pantauan cuaca, pemetaan kondisi banjir, dan lokasi rawan longsor.
Salah satu aplikasi yang bisa diakses, kata Dicky, adalah InaRISK yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Aplikasi ini bisa melihat risiko bencana di lokasi pengguna, mulai dari longsor, banjir, gempa, dan tsunami.
”Pimpinan kewilayahan hingga individu yang tinggal sebaiknya tahu risiko bencana di sekitarnya. Paling tidak kepala keluarga memiliki pemahaman mitigasi. Jadi, saat terjadi kejadian yang bisa memicu bencana, seperti hujan deras atau retakan tanah, mereka bisa menentukan tindakan mitigasi,” ujarnya.