UU Nomor 5 Tahun 1990 sudah ketinggalan zaman dalam memberikan perlindungan dan pengelolaan serta pemanfaatan mulai dari genetika, spesies, hingga habitat. Perubahan UU Konservasi kini ada di Prolegnas Prioritas 2021.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya belum memuat ketentuan terkait pengelolaan kawasan konservasi yang bijak dan berkelanjutan. Pemanfaatan maupun perlindungan yang diberikan pun dinilai lemah karena sudah ketinggalan zaman.
Dimasukannya kembali perubahan undang-undang konservasi dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 diharapkan dapat memberikan perlindungan genetika, spesies, dan ekosistem serta bermanfaat bagi masyarakat.
Guru Besar bidang Konservasi Alam dan Manajemen Satwa Liar IPB University Hadi S Alikodra mengemukakan, UU No 5/1990 atau UU Konservasi yang telah berusia 30 tahun sudah tidak relevan dan tidak ada aturan kebaruan dalam pengelolaan konservasi. Padahal, saat ini telah banyak berkembang model pengelolaan konservasi yang dapat mengentaskan permasalahan sosial ekonomi dengan tetap memastikan keanekeragaman hayati tetap terjaga.
”Dalam pengembangan kebaruan konservasi, substansi yang tertuang dalam undang-undang itu harus kuat dengan perlindungan yang melingkupi jenis dan genetik. Konservasi itu menyangkut ekosistem darat, laut, dan perairan. UU konservasi belum ada kedalaman mengatur hal ini,” ujarnya di Jakarta, Rabu (20/1/2020).
Jika ada penyelundupan spesies tidak dilindungi ke luar negeri, UU 5/90 tidak bisa memberikan sanksi hukuman. (Samedi)
Hadi menjelaskan, selama ini konservasi diidentikan sebagai kegiatan membatasi pemanfataan sumber daya alam dan menjaga keanekaragaman hayati. Namun, pada dasarnya kegiatan konservasi meliputi pengawetan, perlindungan, dan pemanfaatan sumber daya alam beserta keanekaragaman hayati yang ada. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan manfaat berkelanjutan bagi kehidupan saat ini dan generasi mendatang.
Menurut Hadi, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang tidak hanya patut dijaga atau dilestarikan, tetapi juga dimanfaatkan secara bijak. Pengelolaan sumber daya alam sekaligus memberi manfaat ekonomi dapat dilakukan dengan mengembangkan ekowisata dan bioprospeksi. Hal inilah yang perlu diatur dalam UU Konservasi agar ada koridor yang jelas dan tegas dalam memberikan batasan-batasan pengelolaan sumber daya alam.
Meski demikian, ia juga memandang akan ada singgungan dalam mengatur pengelolaan konservasi dalam UU Konservasi dengan UU lainnya yang mengatur tentang tata ruang. Oleh karena itu, dalam pembahasannya nanti, penting untuk melibatkan kementerian atau pihak-pihak terkait lainnya agar tidak terjadi tumpang tindih aturan.
Direktur Program Aksi Nyata Konservasi Hutan Tropis (TFCA) Sumatera Samedi mengatakan, UU Konservasi sangat mendesak untuk direvisi karena banyak isu-isu strategis yang sudah berubah. Di tingkat nasional, isu strategis yang berubah ialah kondisi sentralistik menjadi desentralisasi atau pengaturan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah.
Di tingkat internasional, lebih dari 25 tahun yang lalu juga telah banyak perjanjian internasional tentang keanekaragaman hayati yang mengikat Indonesia. Salah satu perjanjian itu, Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (UNCBD) yang telah diratifikasi Indonesia dalam UU Nomor 5 Tahun 1994.
Genetik, spesies, dan ekosistem
Samedi menyatakan, UU Konservasi yang baru perlu mengubah atau membuat sejumlah ketentuan yang dapat melindungi kelangsungan keanekaragaman hayati sebagaimana diamanatkan dalam UU No 5/1994 di tingkat genetik, spesies, dan ekosistem. Pada level genetik, UU Konservasi sama sekali tidak mengatur perlindungan sumber daya genetik Indonesia sehingga banyak menimbulkan pencurian sumber daya genetik (biopiracy).
Di level spesies tumbuhan dan satwa, UU Konservasi tidak mengatur ketentuan untuk spesies tidak dilindungi. Padahal, tekanan yang tinggi terhadap spesies tidak dilindungi sejak 30 tahun lalu membuat banyak spesies tersebut kini berubah status menjadi dilindungi.
Selain itu, UU Konservasi juga dijadikan legislasi nasional untuk pelaksanaan Konvensi tentang Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan (CITES) dan telah diratifikasi Indonesia sejak 1978. CITES salah satunya memandatkan setiap negara anggota untuk mengembangkan legislasi yang efektif dan mampu memberikan hukuman atau sanksi bagi setiap pelanggaran terhadap spesies CITES.
”Masalahnya, banyak sekali spesies CITES yang tidak masuk ke dalam spesies dilindungi berdasarkan UU No 5/90 sehingga UU ini tidak memberikan hukuman yang efektif bagi pelanggaran spesies CITES. Contohnya, jika ada penyelundupan spesies tidak dilindungi ke luar negeri, UU 5/90 tidak bisa memberikan sanksi hukuman,” ungkapnya.
Sementara di tingkat ekosistem, Samedi menilai UU Konservasi memang telah berhasil menetapkan lebih dari 20 juta hektar kawasan konservasi yang sebagian besar berada di dataran tinggi. Namun, terdapat kekosongan aturan untuk melindungi daerah-daerah dataran rendah yang juga kaya keanekaragaman hayati dan saat ini telah dialokasikan menjadi kawasan-kawasan produksi.
”Saat ini ada konsep yang dinamakan kawasan ekosistem esensial yang berada di luar kawasan konservasi. Akan tetapi, kawasan ini tidak punya dasar legal yang cukup kuat, termasuk bagaimana sistem insentif dan disinsentifnya. Dalam RUU cukup aturan dasarnya saja dan tentunya perlu aturan pelaksanaan,” tuturnya.