Distribusi Bantuan Logistik Korban Banjir Kalsel Belum Merata
›
Distribusi Bantuan Logistik...
Iklan
Distribusi Bantuan Logistik Korban Banjir Kalsel Belum Merata
Ribuan penyintas banjir di Kalimantan Selatan disinyalir belum mendapatkan banyak bantuan dan pelayanan kesehatan. Keterlambatan evakuasi dan distribusi logistik diakui pemerintah karena luasnya cakupan penanganan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO/JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARBARU, KOMPAS — Korban banjir di Kalimantan Selatan meminta pemerintah tidak menumpuk bantuan di posko pengungsian. Ribuan pengungsi mandiri disinyalir belum mendapatkan bantuan dan pelayanan kesehatan.
Banjir di Kalimantan Selatan saat ini merupakan bencana besar yang belum pernah dialami dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun. Bahkan, pemerintah Provinsi Kalsel menyebut banjir ini merupakan siklus 100 tahun sekali karena pernah terjadi pada 1928.
Banjir kali ini menyebabkan setidaknya 11 kabupaten/kota di Kalsel terendam. Hanya Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru yang tidak terdampak. Pada Rabu (20/1/2021), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalsel merilis 66.768 rumah terendam banjir dan 63.608 warga mengungsi. Selain itu, korban meninggal mencapai 21 orang dan 6 orang dilaporkan hilang.
Korban meninggal akibat banjir terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (9 orang), Tanah Laut (7 orang), Banjar (3 orang), Tapin (1 orang), dan Kota Banjarbaru (1 orang). Sementara korban yang dilaporkan hilang semuanya di Hulu Sungai Tengah.
Para pengungsi yang terdata sebagian besar tinggal di posko pengungsian yang disiapkan pemerintah. Hampir di tiap jalan raya tenda-tenda darurat didirikan secara mandiri oleh warga yang enggan tinggal di posko penampungan.
Ada yang menawarkan untuk dievakuasi ke pusat kota, kami tidak mau. Itu kan jauh sekali, di sini juga banyak maling sehingga setiap hari kami berkeliling mengawasi rumah-rumah terendam yang ditinggal pemiliknya.
Padahal, pemerintah sudah membuka beberapa posko, antara lain Stadion Demang Lehman, Masjid Al-Karomah, Terminal Induk Kilometer 6 Banjarmasin, dan tempat lain, termasuk hotel dan penginapan bagi warga yang mengungsi secara mandiri.
Rustam (55), warga Sungai Lambuh, Barito Kuala, Kalsel, mengungkapkan, dirinya sudah seminggu tinggal di posko darurat yang ia dan warga lain buat di pinggir Jalan Ahmad Yani Trans Kalimantan dari arah Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Mereka enggan pindah ke posko pengungsian lantaran jauh dari tempat tinggal mereka.
”Ada yang menawarkan untuk dievakuasi ke pusat kota, kami tidak mau. Itu kan jauh sekali, di sini juga banyak maling sehingga setiap hari kami berkeliling mengawasi rumah-rumah terendam yang ditinggal pemiliknya,” ujar Rustam, Rabu.
Alasan yang sama juga diutarakan oleh Muhammad Ruslan (38), warga Pekauman Dalam, Kabupaten Banjar, Kalsel. Ia dan warga lainnya mendirikan posko darurat di pinggir jalan yang bahkan masih digenangi air setinggi 50 sentimeter.
”Harta benda tidak ada yang jaga, ini sudah kesepakatan antarwarga. Sebagian besar mengungsi ke posko, khususnya lansia, ibu-ibu dan anak-anak, sisanya berjaga-jaga,” kata Ruslan.
Ruslan dan Rustam mengaku belum mendapatkan bantuan apa-apa dari pemerintah. Mereka urunan untuk membeli bahan pokok, makanan, dan kebutuhan lain di posko. Tak jarang, beberapa pemuda desa meminta sumbangan di jalan-jalan.
Kasnadi (64), warga Teluk Selong, juga mengalami nasib yang sama. Ia berharap pemerintah tidak menumpuk bantuan di posko-posko penampungan. Alasannya, pengungsi mandiri yang tidak terdaftar bantuan sehingga mengupayakan semuanya sendiri.
”Paling penting obat-obatan dan selimut. Kami sudah mulai banyak yang sakit, gatal-gatal, sampai diare. Kalau malam juga kan dingin jadi butuh selimut,” kata Kasnadi.
Mereka yang bertahan di Desa Pekauman Dalam juga Sungai Tabuk hingga kini masih direndam banjir. Posko-posko darurat tidak menyediakan banyak kebutuhan, termasuk jamban dan kamar mandi. Warga harus kembali ke rumah jika ingin buang air besar.
Dari pantauan Kompas, banyak sekali bantuan dari sejumlah daerah yang ditumpuk di posko-posko pengungsian. Bantuan tersebut dibagikan ke pengungsi di sekitar posko. Bahkan, dapur umum dan pelayanan kesehatan hanya ada di posko pengungsi.
Terlalu luas
Pelaksana Tugas Kepala BPBD Provinsi Kalsel Mujiyat mengatakan, banjir yang melanda 11 kabupaten/kota di Kalsel kali ini terjadi dalam waktu hampir bersamaan. Beberapa daerah ada yang terisolasi sehingga terjadi keterlambatan dalam evakuasi ataupun distribusi logistik. Akses menuju beberapa lokasi di Hulu Sungai Tengah dan Tanah Laut, misalnya, juga susah karena ada jalan dan jembatan yang putus.
”Persoalan itu karena cakupannya terlalu luas. Ada 11 kabupaten/kota. Beda halnya kalau cuma satu kabupaten, bisa cepat teratasi karena titiknya jelas. Siapa pun digerakkan sekuat tenaga siang dan malam karena besarnya volume bantuan yang harus ditangani untuk segera disalurkan,” katanya.
Menurut Mujiyat, penanganan pengungsi di kabupaten/kota juga cukup serius dilakukan pemerintah kabupaten/kota. Setiap hari pemkab/pemkot bisa menginformasikan data ke Pos Komando Tanggap Darurat Provinsi Kalsel. ”Di lapangan juga banyak yang terpanggil untuk membantu. Bahkan, ada sukarelawan yang datang dari Jakarta, Surabaya, dan Samarinda,” katanya.
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Hamdani Fauzi, mengatakan, banjir parah di Kalsel kali ini tidak hanya disebabkan curah hujan yang sangat tinggi di bagian barat Pegunungan Meratus, tetapi juga karena penurunan tutupan lahan berhutan yang berpengaruh terhadap tata air.
”Kondisi tutupan lahan sebagai pengatur tata air yang tidak optimal di sebelah barat Meratus memungkinkan terjadinya banjir. Ke depan perlu pengelolaan daerah alirah sungai (DAS) secara terpadu mulai dari hulu sampai ke hilir, termasuk pengendalian kerawanan bencana secara vegetatif dan sipil teknis,” kata Hamdani.