LBH Padang Desak Polda Tindak Personel yang Diduga Represif
›
LBH Padang Desak Polda Tindak ...
Iklan
LBH Padang Desak Polda Tindak Personel yang Diduga Represif
Lembaga Bantuan Hukum Padang mendesak Kepolisian Daerah Sumatera Barat untuk menindak personel yang diduga represif dalam sengketa antara masyarakat dan perusahaan tambang galian C di Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Lembaga Bantuan Hukum Padang mendesak Polda Sumatera Barat menindak personel yang diduga bertindak represif dalam sengketa antara masyarakat dan perusahaan tambang galian C di Kabupaten Padang Pariaman. Tindakan personel tersebut dinilai dapat menimbulkan preseden buruk dan konflik antarwarga dan aparat.
Direktur LBH Padang Wendra Rona Putra di Padang, Rabu (20/1/2021), mengatakan, dugaan tindakan represif ini berlangsung di depan pagar perusahaan tambang galian C yang bersengketa dengan masyarakat di Nagari Buayan Lubuk Alung, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman. Lima oknum polisi, seorang berseragam brimob dan empat lainnya tidak berseragam diduga represif saat menghadapi warga.
Dalam kejadian pada 18 Januari 2021 malam itu, kata Wendra, oknum itu diduga mengancam, memiting, dan memegang kerah baju warga. Ada juga yang mengeluarkan dan menembakkan senjata api ke udara sebanyak dua kali. Padahal, saat itu warga yang mereka hadapi hanya delapan orang dan tidak ada kericuhan.
”Kami mengecam tindakan anggota kepolisian tersebut karena sebenarnya tidak ada situasi mendesak yang memaksa polisi mengeluarkan dan menembakkan senjata api. Masyarakat sipil yang datang hanya delapan orang, tidak bersenjata, dan tidak mengancam petugas,” kata Wendra, Rabu.
Wendra menilai, aksi tersebut sebagai bentuk arogansi aparat saat menghadapi masyarakat. Mereka dinilai melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
”Kami meminta Polda Sumbar menindak tegas polisi yang diduga melanggar etik dan melakukan tindakan tidak profesional yang mengarah kepada kesewenang-wenangan dalam menggunakan senjata api,” ujar Wendra.
LBH Padang juga meminta Polda Sumbar menarik personel yang berjaga di sekitar lokasi penambangan. Kepolisian juga diminta menggunakan pendekatan dialogis dan humanis dalam membantu menyelesaikan konflik antara masyarakat dan perusahaan.
Keberadaan polisi, kata Wendra, harus independen dan profesional, tidak hanya melihat masyarakat sebagai hambatan berproduksi dalam perspektif perusahaan. Mereka juga harus mengakomodasi keluhan masyarakat.
Menurut Wendra, selanjutnya, LBH akan menelusuri kelima personel polisi tersebut dari satuan mana. LBH juga bakal membuat laporan ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sumbar terkait dugaan pelanggaran etik dan pelanggaran profesionalitas serta tindakan sewenang-wenang dalam penggunaan senjata api.
”Di tengah isu bahwa ada reformasi kepolisian dan penanganan konflik harus lebih humanis, saya pikir di sini polisi harus memberikan contoh bagaimana tata cara penanganan situasi konflik dan tidak mengutamakan pendekatan represif, terutama penggunaan senjata api,” ujar Wendra.
Ditambahkan Wendra, dugaan pelanggaran oleh oknum polisi tersebut penting untuk ditindak oleh Polda Sumba karena ke depan akan menjadi preseden negatif. Di masa mendatang, akan banyak proyek strategis nasional di Sumbar. Jika pendekatan penanganan yang diterapkan polisi seperti ini, akan banyak terjadi konflik dan tidak menutup kemungkinan jatuh korban.
”Kami tidak ingin pendekatan seperti ini yang muncul di Sumbar. Ini tantangan Polda Sumbar untuk tetap memunculkan citra baik dan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Kalau begini, masyarakat menjadi antipati dan tidak percaya,” ujar Wendra.
Irvan SY (31), warga Nagari Buayan Lubuk Alung, mengatakan, menjadi korban tindakan represi aparat itu. Pada 18 Januari malam, Irvan bersama tujuh warga lainnya menuju ke pagar perusahaan penyuplai material untuk pembangunan Jalan Tol Padang-Pekanbaru itu. Mereka hendak bertanya kenapa ada truk yang hendak keluar membawa material hasil tambang. Padahal, sebelumnya ada kesepakatan agar operasional pertambangan dihentikan sampai sengketa menemui titik terang.
Akan tetapi, kata Irvan, belum sempat bertanya, lima aparat langsung keluar dari kawasan perusahaan. Salah satu aparat tidak berseragam memegang kerah Irvan. Sementara, satu warga lainnya dipiting aparat hingga bajunya terlepas. Aparat lainnya yang tidak berseragam mengeluarkan senjata api dari sarung, lalu beberapa saat kemudian menembak ke udara sebanyak dua kali.
”Saya terkejut, cemas. Mental saya langsung jatuh mendengar tembakan itu. Saya trauma. Selama ini, belum pernah mendengar langsung suara tembakan. Kenapa harus pakai senjata api. Memangnya kami teroris? Kami paling banyak cuma delapan orang dan tidak berbuat anarkis,” kata Irvan.
Sementara itu, Heru Sulistio (26), warga lainnya, mengatakan, langsung menuju lokasi ketika mendengar dua letusan senjata api tersebut. Ketika tiba di lokasi, warga sudah ramai karena mendengar letusan senjata tersebut, termasuk anak di bawah umur.
Adik laki-laki Heru, berusia 16 tahun, sampai menangis dan trauma melihat saudara sepupunya dipiting aparat dan mendengar letusan senjata api. ”Tindakan aparat memperpanas konflik,” ujarnya.
Kepala Bidang Humas Polda Sumbar Komisaris Besar Stefanus Satake Bayu Setianto mengatakan, akan mengecek kebenaran kasus tersebut. ”Kemudian, silakan (korban) kalau mau melapor ke Polda Sumbar. Dari laporan itu, kami akan melakukan proses lebih lanjut,” kata Satake.