Indonesia dihadapkan pada kendala penyediaan cadangan BBM dan LPG. Ketahanan cadangan operasional untuk konsumsi hingga 30 hari relatif belum bisa dipenuhi oleh sejumlah komoditas BBM dan LPG.
Oleh
Budiawan Sidik A
·5 menit baca
Sumber energi yang tersedia di Indonesia saat ini baru memungkinkan untuk pemenuhan konsumsi domestik jangka pendek. Dalam kondisi terjadinya bencana alam atau sosial secara luas, keterbatasan sumber energi dapat menimbulkan berbagai krisis di masyarakat.
Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) menegaskan pentingnya ketersediaan energi nasional. Ketahanan energi didefinisikan sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga terjangkau dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan perlindungan lingkungan hidup.
Dalam situasi darurat, energi akan menjadi salah satu komoditas yang paling banyak dicari dan cenderung berharga mahal karena terbatasnya persediaan. Untuk memantau kondisi ketahanan energi tersebut, pemerintah melakukan peninjauan secara berkala ketersediaan energi.
Dalam melakukan tinjauan berkala tersebut, para pakar energi memberikan penilaian dan pembobotan. Para ahli memiliki latar belakang berbagai unsur, mulai dari pemerintahan, Dewan Energi Nasional (DEN), badan usaha sektor energi, pendidikan tinggi, hingga lembaga atau organisasi terkait energi. Metodologi tinjauan berkala tersebut juga konsisten dilakukan sepanjang 2014 hingga tahun 2019.
Empat aspek
Peninjauan berkala ketahanan energi mencakup empat aspek pendekatan yang dikenal dengan istilah 4A. Keempat aspek itu adalah affordability, accessibility, availability, dan acceptability.
Dalam laporan Ketahanan Energi 2019 oleh Dewan Energi Nasional (DEN), aspek affordability didefinisikan sebagai keterjangkauan konsumen terhadap harga energi. Aspek ini mencakup empat indikator, yakni produktivitas energi, harga BBM atau LPG, harga listrik, dan harga gas bumi.
Aspek accessibility didefinisikan sebagai keandalan akses dan sumber energi sesuai dengan kebutuhan masa depan. Aspek ini berkaitan dengan infrastruktur energi yang memudahkan akses masyarakat dalam menggunakan energi.
Aspek accessibility mencakup 5 indikator. Pertama, penyediaan BBM dan LPG, kemudian penyediaan tenaga listrik, pelayanan listrik, penyediaan gas bumi, dan pelayanan distribusi gas bumi.
Aspek selanjutnya adalah availability yang didefinisikan sebagai ketersediaan energi dan sumber energi yang cukup bagi kebutuhan dalam negeri. Aspek ini diukur dari delapan indikator. Dua indikator pertama meliputi cadangan BBM dan LPG cadangan penyangga energi (CPE).
Indikator selanjutnya adalah impor BBM dan LPG serta impor minyak bumi. Kemudian, indikator aspek availability juga mencakup domestic market obligation (DMO) gas dan batubara, pencapaian bauran energi, cadangan dan sumber daya migas, serta cadangan dan sumber daya batubara.
Adapun aspek acceptability didefinisikan sebagai penerimaan masyarakat terhadap energi yang ramah lingkungan. Aspek keberterimaan ini mencakup tiga indikator, yakni efisiensi energi, peranan energi baru terbarukan (EBT), dan emisi gas rumah kaca (GRK).
Terdapat lima skala untuk menilai ketahanan energi berdasarkan empat aspek itu. Lima skala ini dimulai dari yang terendah, yaitu kategori sangat rentan, kemudian rentan, kurang tahan, tahan, dan tertinggi adalah sangat tahan.
Kategori tahan
Hasil penilaian pada keempat aspek ketahanan energi tahun 2019 menunjukkan tingkat energi Indonesia berada pada kategori ”tahan”. Pada 2015-2018, rata-rata nilai ketahanan energi nasional berada pada kisaran skor nilai 6.
Meski demikian, besaran nilai rata-rata tersebut masih pada standar batas terendah kategori ”tahan”. Tren nilai pada 2018 memang meningkat sedikit lebih tinggi daripada periode sebelumnya menjadi 6,44. Namun, tetap saja belum memuaskan karena ada salah satu aspek belum beranjak dari status ”rentan”, dengan skor nilai di bawah angka 6.
Aspek yang kondisinya ”kurang tahan” ini adalah availability yang berhubungan erat dengan ketersediaan energi di pasaran dalam negeri.
Dapat dibayangkan apabila kualitas dan kuantitas aspek ketersediaan ini semakin menurun. Risiko kelangkaan energi di Indonesia akan semakin besar. Dalam kondisi normal saja, aspek ketersediaan ini masuk kategori ”kurang tahan”, apalagi negara dalam kondisi darurat.
Ada sejumlah indikator yang menyebabkan aspek availability tersebut masuk dalam kategori ”kurang tahan”. Setidaknya, ada tiga dari delapan indikator pendukung aspek ketersediaan yang selalu memiliki skor di bawah 6.
Tiga indikator bernilai rendah itu adalah cadangan BBM dan LPG nasional, cadangan dan sumber daya migas; serta cadangan penyangga energi (CPE). Nilai skor indikator itu rata-rata berada di kisaran angka 5 setiap tahun. Bahkan, indikator CPE rata-rata selalu di bawah skor 3, masuk kategori ”rentan” setiap tahunnya.
Cadangan energi
Ada sejumlah kriteria yang menyebabkan ketiga indikator memiliki skor ketahanan energi yang rendah. Hal itu meliputi cadangan sumber daya migas yang terus menyusut, tanpa disertai penemuan ladang-ladang baru dengan kandungan migas tinggi.
Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia rentan kehabisan energi fosil tersebut. Dengan kondisi cadangan terbukti sebesar 3,15 miliar barel dan produksi rata-rata per tahun 281 juta barel, diperkirakan cadangan minyak bumi akan habis 11 tahun ke depan. Saat ini tren cadangan minyak bumi dari tahun 2004-2018 turun rata-rata sekitar 19 persen per tahun.
Pada kurun tahun 2011-2012 ditemukan cadangan baru yang cukup signifikan, yakni ladang Cepu. Hanya saja, secara akumulasi tetap belum memuaskan.
Cadangan gas bumi juga menunjukkan kecenderungan penurunan. Pada tahun 2008-2018, rata-rata terjadi penurunan sekitar 20 persen per tahun.
Kondisi cadangan terbukti gas terkini 96,06 triliun standard cubic feet (TSCF) dan produksi rata-rata per tahun 2.833,78 million standard cubic feet (MMSCF). Diperkirakan, cadangan tersebut akan habis 34 tahun lagi.
Selain dihadapkan pada ancaman kelangkaan energi fosil pada beberapa tahun mendatang, Indonesia dihadapkan pada kendala penyediaan cadangan BBM dan LPG. Kondisi kilang pengolahan minyak, yang sebagian besar di antaranya mulai tidak efisien serta terbatasnya tempat penyimpanan (storage), membuat cadangan BBM dan LPG yang digunakan untuk operasional sehari-hari sangat terbatas.
Ketahanan cadangan operasional untuk konsumsi hingga 30 hari relatif belum bisa dipenuhi oleh sejumlah komoditas BBM dan LPG. Pada tahun 2018, cadangan operasional BBM jenis premium hanya berkisar 20 hari; solar kisaran 23 hari; dan LPG sekitar 17 hari. Hanya BBM jenis avtur yang mampu menyentuh hingga 31 hari.
Kondisi tersebut menjadi tantangan berat bagi PT Pertamina sebagai BUMN migas yang bertanggung jawab mulai dari operasional hulu hingga hilir. Perlu dilakukan sejumlah hal untuk mengantisipasi sejumlah kendala agar produksi cadangan operasional BBM dan LPG mampu tersedia hingga setidaknya 30 hari ke depan.
Selain itu, perlu dilakukan sejumlah perbaikan dalam tata niaga BBM dan LPG agar tidak terjadi kelangkaan energi di daerah-daerah yang sulit diakses.