Transmisi Lokal Meresahkan, NTT Butuh Tambahan Laboratorium PCR
›
Transmisi Lokal Meresahkan,...
Iklan
Transmisi Lokal Meresahkan, NTT Butuh Tambahan Laboratorium PCR
Nusa Tenggara Timur menduduki posisi nomor dua nasional dalam kasus transmisi lokal penyebaran Covid-19. Namun, laboratorium PCR di provinsi itu hanya satu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Transmisi lokal penyebaran Covid-19 di Nusa Tenggara Timur yang berada di angka 1,7 atau menduduki posisi nomor dua nasional setelah DKI Jakarta perlu diimbangi dengan pelacakan memadai. Laboratorium reaksi rantai polimerase atau PCR di NTT, yang saat ini hanya mengandalkan satu alat di RSUD Yohanes Kupang, perlu diperbanyak.
Wakil Wali Kota Kupang Herman Man saat memberi imbauan kepada masyarakat Kota Kupang di Kupang, Rabu (20/1/2021), mengatakan, lonjakan kasus melalui transmisi lokal di Kota Kupang khususnya dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya sangat meresahkan. Lonjakan ini paling terasa sejak awal Januari 2021 sampai pekan ketiga Januari 2021.
”Kementerian Kesehatan merilis NTT berada pada posisi kedua nasional dalam kasus lonjakan transmisi lokal setelah DKI Jakarta. Rata-rata transmisi lokal NTT 1,7 itu sangat membahayakan. Tidak ada pilihan lain selain semua warga, apa pun status dan pekerjaannya, harus mematuhi protokol kesehatan. Imbauan dan ajakan selama sembilan bulan disertai sweeping di sejumlah lokasi, itu berarti persoalan ini serius,” kata Man.
Ia mengatakan, hasil penelusuran terhadap 99 pasien positif Covid-19 pada 18 Januari 2021 ditemukan 600 orang reaktif tes cepat antigen. Saat ini 600 orang tersebut sedang diambil sampel usap PCR dan hasilnya akan diketahui 2-3 hari ke depan. Belum tentu semuanya positif Covid-19, tetapi jika itu terjadi, akan ada tambahan 600 pasien baru.
Sejauh ini, jumlah kasus di Kota Kupang per 19 Januari 2021 sebanyak 1.432. Terjadi penambahan kasus dalam dua hari terakhir, yakni 99 kasus dan 43 kasus positif. Penelusuran terhadap 99 kasus positif menghasilkan 600 orang yang reaktif. Sementara penelusuran pada 43 pasien terakhir sedang dilakukan.
Adapun kematian sejak awal Januari sampai hari ini 2-5 orang. Kenaikan kasus sejak awal Januari 2021, antara lain, karena libur panjang, banyak orang berkumpul di rumah, perjalanan dari luar kota, dan isolasi mandiri di rumah yang terus meningkat.
Mereka yang melakukan isolasi mandiri berpeluang menularkan virus kepada orang lain, seperti anggota keluarga lain dan tetangga dengan tanpa gejala (OTG), jika tidak disiplin melakukan isolasi.
Saat ini pasien isolasi mandiri di rumah sebanyak 831 orang. Adapun pasien yang dirawat di rumah sakit sebanyak 600 orang. Mereka dirawat di sejumlah rumah sakit rujukan Covid-19.
Oleh karena itu, penerapan operasi Prokasih atau protokol kesehatan kasih dilakukan Pemkot Kupang. Lima gerbang pintu masuk Kota Kupang dijaga ketat, juga 20 titik rawan penyebaran Covid-19, antara lain, bank, pasar, toko, dan swalayan.
”Kota Kupang sudah menetapkan pembatasan kegiatan masyarakat terhadap pusat-pusat perbelanjaan, aktivitas masyarakat di rumah ibadat, sekolah-sekolah, dan lain-lain sampai dengan 25 Januari 2021. Jika sampai tanggal itu lonjakan kasus masih tak terbendung, akan ditingkatkan lagi dan lebih keras. Bentuknya seperti apa kita lihat nanti,” kata Man.
Wakil Wali Kota Kupang dua periode ini mengatakan, Pemkot Kupang sudah mengeluarkan anggaran miliaran rupiah untuk menangani pandemi ini. Jika dana itu dimanfaatkan untuk infrastruktur, air bersih, pengelolaan sampah, dan lainnya, akan dinikmati secara nyata oleh masyarakat. Karena itu, jika masyarakat tidak mengikuti protokol kesehatan secara ketat, anggaran miliaran rupiah itu sia-sia saja karena jumlah kasus terus meningkat.
Laboratorium sendiri
Wakil Ketua Tim Pool Tes Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat NTT Dominggus Elcid Li mengatakan, Kota Kupang mestinya memiliki laboratorium PCR sendiri untuk mengurai antrean ratusan bahkan ribuan spesimen PCR di RSUD Yohannes Kupang. Saat ini 21 kabupaten/kota di NTT hanya memiliki satu alat PCR di RSUD Yohannes Kupang. Spesimen PCR dari 21 kabupaten/kota menumpuk di sana.
Saat ini sebanyak 21 kabupaten/kota di NTT hanya memiliki satu alat PCR di RSUD Yohannes Kupang. Spesimen PCR dari 21 kabupaten/kota menumpuk di sana. (Dominggus Elcid Li)
”Biaya alat PCR itu berkisar Rp 6 miliar-Rp 12 miliar per unit. Pemkot/pemkab cukup beli yang harganya Rp 6 miliar saja karena hanya untuk kepentingan pemeriksaan PCR di wilayah itu. Tidak ada alasan bahwa tidak ada anggaran karena sejak awal pandemi Covid-19, setiap kabupaten/kota telah menganggarkan dana penanggulangan Covid-19 Rp 25 miliar-Rp 100 miliar,” kata Elcid.
Akan tetapi, lanjut Elcid, tidak ada niat baik dari Pemkab/kota untuk menangani pandemi Covid-19. Pemkot Kupang, misalnya, memilih mengalokasikan anggaran senilai Rp 7 miliar untuk pengadaan seragam sekolah SMP ketimbang membeli alat PCR. Padahal, di tengah pandemi Covid-19 ini, anak-anak masih belajar secara daring.
Menurut Elcid, Pulau Flores dengan sembilan kabupaten, idealnya memiliki tiga alat PCR, satu di Sikka untuk melayani kebutuhan tes PCR dari Sikka, Flores Timur, dan Lembata. Satu di Nagekeo untuk kebutuhan spesimen PCR dari Ende, Nagekeo, dan Ngada. Satu lagi di Ruteng untuk pemeriksaan PCR dari Manggarai, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat.
Adapun di Sumba bisa mengadakan satu alat PCR di Sumba Timur, dan Pulau Timor satu alat PCR di Atambua, yang bisa membantu melayani masyarakat Belu, Timor Tengah Utara, dan Malaka.
”Pemerintah di daerah-daerah itu bisa saling berkolaborasi membangun alat PCR tersebut. Jika harga alat PCR itu Rp 6 miliar, tiga kabupaten itu masing-masing Rp 2 miliar. Dalam kondisi darurat seperti ini koordinasi dan kerja sama itu dibutuhkan,” katanya.
Ia menilai, masalah yang sangat serius saat ini adalah tingkat daya tahan tubuh masyarakat berada di titik paling rentan akibat daya beli yang rendah. Banyak orang dikeluarkan dari perusahaan, gagal panen tahun 2020 terjadi. Sementara harga kebutuhan pokok terus melonjak serta adanya serangan hama belalang di sejumlah kabupaten dan serangan virus demam babi afrika di Flores dan Lembata.
Menurut Elcid, Pemprov NTT sejak awal kasus sampai hari ini belum mengeluarkan anggaran apa pun untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat kecuali bergantung pada bantuan BLT pusat dan dana desa. Pemprov NTT berjanji, setelah bantuan dari pusat dikucurkan, bakal mengalokasikan anggaran bansos itu. Namun, di tengah kondisi sulit seperti sekarang, tidak ada tanda-tanda kepedulian itu.