Semakin Retaknya Rumah Demokrasi, Peringatan Keras bagi AS
›
Semakin Retaknya Rumah...
Iklan
Semakin Retaknya Rumah Demokrasi, Peringatan Keras bagi AS
Keterbelahan AS saat ini sama parahnya seperti kala perang saudara abad ke-19. Di tengah keterbelahan itu, atas nama kebebasan berpendapat, sebagian warga AS menyebarkan kebohongan yang dipercaya jutaan orang.
Oleh
Kris Mada
·5 menit baca
Dave Salo, Jon Urbanchek, dan Mark Schubert belum memahami apa yang terjadi pada Klete Keller. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk melatih Keller sampai akhirnya ia meraih medali cabang renang Olimpiade Sydney, Athena, dan Beijing. Mereka juga kebingungan mengapa Keller bisa menjadi salah satu dari ribuan pendukung Donald Trump yang menerobos, lalu menduduki Gedung Capitol di Washington, AS, 6 Januari lalu.
Schubert dan Urbanchek menelepon Keller setelah pendudukan kantor parlemen Amerika Serikat itu. Urbanchek menyebut, Keller menangis sepanjang 15 menit percakapan telepon dengannya, beberapa hari lalu. ”Dia tidak menyangka semua akan menjadi seperti itu,” ujar Urbanchek sebagaimana dilaporkan koran The New York Times.
Kepada Schubert, Keller berulang kali meminta maaf. ”Dia terus mengatakan, ’Anda telah melakukan banyak hal untuk saya dan saya mengecewakan Anda. Saya tidak bermaksud menjadi seperti ini’,” kata Schubert mengulangi isi percakapannya dengan Keller.
Schubert melatih Keller selama di University of Southern California dan sebelum Olimpiade Sydney 2000. Sementara Urbanchek melatih Keller menjelang Olimpiade Athena 2004. Adapun Salo melatih Keller menjelang Olimpiade Beijing 2008. ”Saya terkejut karena dia mau bepergian ke (Washington) DC,” ujar Salo sembari menyebut Keller sebagai sosok yang pasif, pendiam, dan tidak suka konflik.
Keller adalah salah satu orang yang ditangkap aparat selepas insiden 6 Januari. Ia mudah dikenali dari video dan foto yang beredar. Di antara para perusuh, ia terlihat mencolok dengan postur tubuh setinggi 2,1 meter dan jaket tim nasional renang AS yang dikenakannya.
Selain Keller, aparat AS juga telah menangkap atau setidaknya memeriksa sedikitnya 25 aparat dan pensiunan aparat. Sebagian aparat dan pensiunan itu diketahui pernah menjadi anggota pasukan khusus. Mereka, antara lain, Letnan Kolonel (Purn) Larry Rendall Brock dan Kapten Emily Rainey. Brock adalah mantan anggota pasukan khusus AU, sedangkan Rainey masih aktif di operasi khusus AD dan berkantor di Fort Bragg.
Rainey lama menjadi anggota unit perang psikologis. Bersama 100 orang dari Carolina Utara, Rainey naik bus sejauh 500 kilometer untuk hadir di Capitol, 6 Januari itu. Hukum AS memang membolehkan tentara terlibat organisasi politik selama tidak partisan dan tidak memakai seragam.
Rainey berkeras, perusuh di Capitol bukan patriot dan pendukung Trump. Perusuh disebutnya sebagai anggota kelompok Antifa, kelompok sayap kiri yang berseberangan dengan para pendukung Trump.
Perempuan itu mempertahankan pendapatnya meski berbagai bukti menunjukkan bahwa para perusuh adalah pendukung Trump. Hal itu, antara lain, berdasarkan unggahan di media sosial oleh orang-orang yang sudah ditangkap selepas kerusuhan. Keller dan Brock, misalnya, bolak-balik mengunggah dukungannya kepada Trump.
Kabar kibul
Rainey adalah salah satu contoh warga AS yang percaya kepada banyak kabar kibul dan teori konspirasi. Sejumlah politisi Republikan, partai yang mengusung Trump, juga meyakini kabar kibul itu. Selama bertahun-tahun, sebagian warga AS percaya bahwa Trump melawan kelompok penyembah setan yang suka memperdagangkan anak-anak.
Mereka juga percaya bahwa ada kecurangan dalam pemilu 2020 sehingga Trump kalah. Karena itu, mereka mau berkendara hingga ratusan kilometer dan menuntut Kongres AS tidak mengesahkan hasil pemilu 2020. Semua kebohongan dan kabar yang tidak jelas itu disebarkan lewat berbagai pelantar media sosial selama bertahun-tahun.
Penyebarnya, antara lain, Letnan Jenderal (Purn) Michael Flynn dan Rudolph Giuliani. Flynn dan Giuliani sama-sama pendukung Trump. Selama bertahun-tahun, mereka ikut menyebarkan aneka hal yang tidak jelas buktinya.
Atas nama kebebasan berpendapat, sebagian warga AS menyebarkan kebohongan yang dipercaya jutaan orang. Banyak yang gelisah dan mendesak tindakan untuk mengakhiri semua itu. Facebook dan Twitter, setelah nyaris tidak bertindak selama bertahun-tahun meski ada banyak desakan, memutuskan bertindak selepas pendudukan Capitol. Akun media sosial Trump dan puluhan ribu akun penyebar kabar kibul diblokir selamanya.
”Apa yang terjadi pada 6 Januari adalah hal paling menyedihkan setelah 12 April 1861,” kata Sean Wilentz, sejarawan Universitas Princeton, merujuk pada tanggal permulaan perang saudara AS.
Banyak pihak menyebut, AS kini terbelah sama parahnya seperti kala perang saudara di abad ke-19. Pada pemilu 2016 dan 2020 terlihat jelas, daerah urban dengan penduduk cenderung beragam dikuasai Demokrat. Daerah perdesaan dengan penduduk cenderung seragam dikuasai Republikan.
Pada pemilu 2020, Trump hanya menang di 9 dari 100 kota terbesar AS. Sebaliknya Biden hanya menang di seperenam dari keseluruhan kabupaten di AS. Biru di kota, merah di desa.
Hasil pemilu sejak 1960 memang menunjukkan kecenderungan Republikan menang di daerah dengan penduduk mayoritas kulit putih dan berpendidikan paling tinggi SMA. Sementara Demokrat cenderung menang di daerah yang penduduknya beragam dan rata-rata pernah kuliah.
Pemilih Demokrat yakin, Partai Republik kini dikuasai para rasialis. Sementara pemilih Republik yakin, Demokrat dikuasai kelompok sosialis. Sepanjang kampanye pemilu 2020, iklan-iklan Republikan terus mengulang narasi sosialisme di Demokrat.
”Kita jauh sekali dari perang saudara. Kita bukan Yugoslavia, kita bukan Spanyol. Walakin, kita jelas dalam bahaya kekerasan, terpecah adalah nama tengah negara kita,” kata Susan Stokes, pakar politik di Universitas Chicago.
Peneliti senior New American Engagement Initiative, Emma Ashford, menyebut bahwa AS kini benar-benar seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. ”Demokrasi yang lemah tidak bisa mencegah kekerasan,” ujarnya.
Baginya, masalah AS lebih besar dari sekadar ketidakmampuan mempromosikan demokrasi di panggung internasional selepas pendudukan Capitol. Masalah AS adalah penyalahgunaan partisan selama bertahun-tahun. Lebih mencemaskan lagi, banyak lembaga sipil tidak mampu mencegah fenomena itu. Hanya militer yang sanggup melakukannya.
Ia juga memandang pendudukan Capitol sebagai peringatan keras bagi AS. ”Jika AS tak bisa mengatur rumahnya, bagaimana mungkin AS bisa menyebarkan demokrasi atau bertindak seolah menjadi contoh demokrasi kala demokrasi di negeri sendiri lumpuh?” kata Ashford. (AP/REUTERS)