Belajar Lebih Kuat dari Gempa Majene-Mamuju
Jumlah korban jiwa akibat robohnya bangunan pada saat gempa bisa dihindari bila mitigasi dijalankan. Mendirikan bangunan tahan gempa satu di antaranya. Kesadaran akan hidup di daerah rawan gempa ini penting ditanamkan.
Berada di jantung Nusantara, yang dikepung empat lempeng utama, Sulawesi memiliki banyak jalur sesar aktif. Dengan stuktur geologi ini, gempa bumi hanya soal waktu kapan terjadinya sehingga struktur tahan gempa seharusnya menjadi budaya dalam membangun.
Gempa berkekuatan M 6,2 yang mengguncang Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat, pada Jumat (15/1/2021) dini hari itu merupakan siklus batuan di jalur sesar ini melepaskan energi. Sebelumnya, gempa bumi berkekuatan M 6,9 pernah melanda di kawasan ini pada 23 Februari 1969 dan memicu tsunami yang menewaskan 64 orang.
Dalam Peta Sumber Gempa Bumi Nasional 2017 yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen), sesar Mamuju-Majene ini hanya salah satu dari empat segmen sesar naik yang berada di Selat Makassar, yang setiap segmen memiliki potensi gempa maksimal M 7.
Hingga saat ini belum diketahui apakah gempa ini merupakan gempa utama atau masih merupakan bagian dari pembuka dari gempa bumi yang lebih besar yang bisa terjadi di segmen ini. Namun, ahli gempa bumi dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawijaya, berpendapat, kemungkinan adanya gempa susulan di segmen yang sama kecil.
”Tapi, kalau memicu segmen lain di dekatnya, memang bisa, tetapi kita belum mempunyai data tentang itu,” katanya.
Baca juga : Banyak Daerah Belum Tersentuh Bantuan
Danny menambahkan, risiko gempa bumi bisa terjadi di mana saja di Pulau Sulawesi, khususnya bagian tengah yang memiliki banyak jalur patahan di darat. ”Jadi, kurang tepat kalau sampai muncul ketakutan untuk mengosongkan Majene-Mamuju setelah gempa ini. Di tempat lain, bisa jadi tidak lebih aman. Yang lebih penting adalah bagaimana mitigasinya,” katanya.
Mudrik Rahmawan Daryono, peneliti Geoteknologi LIPI yang mendalami sesar di Sulawesi, mengatakan, jalur kegempaan di Sulawesi, terutama di bagian tengah, sangat kompleks dan aktif dengan kecepatan gerak rata-rata 4 sentimeter per tahun. Selain jalur sesar naik di Selat Makassar ini, terdapat pula dua sistem sesar besar, yaitu Palu Koro dan Matano. ”Di antara dua sesar itu terdapat sesar-sesar lain lebih kecil, termasuk sesar Poso,” katanya.
Dia menambahkan, sesar Palu Koro juga masih menyimpan energi gempa karena yang lepas pada gempa bumi 2018 baru di segmen bagian utara. Di bagian selatan masih berpotensi terjadi gempa. ”Sangat sulit menentukan di mana gempa berikutnya,” katanya.
Indonesia telah diketahui sebagai negara berpotensi bencana gempa yang sangat besar, bahkan mungkin paling rentan di dunia. Ini karena negeri ini berada dalam kawasan cincin api Pasifik, terletak di tengah aktivitas empat lempeng tektonik utama yang saling berinteraksi membentuk zona tunjaman, sesar aktif, dan gunung api.
Kalau bangunannya dirancang dengan konsisten mengikuti ketentuan terbaru, mestinya tidak akan roboh.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, rata-rata dalam setahun terjadi gempa tektonik sebanyak 6.298 kali di wilayah Indonesia atau dalam sebulan rata-rata 524 kali. Sri Widiyantoro dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan tim dalam paper-nya untuk Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) tahun 2020 menyebutkan, panjang jalur gempa di wilayah Indonesia mencapai 9.000 kilometer, tiga kali lipat lebih panjang dibandingkan dengan jalur gempa di Jepang.
Sekalipun demikian, menurut Sri, jaringan stasiun pencatat kegempaan di Indonesia hanya 30 persen dari jaringan stasiun pencatat kegempaan di Jepang, serta dana terkait pengamatan dan penelitian kegempaan di Indonesia hanya 10 persen dari dana serupa di Jepang. ”Probabilitas terjadinya gempa katastrofe di Indonesia bisa diibaratkan sebagai bom waktu yang sedang menunggu untuk meledak di setiap saat,” katanya.
Mitigasi gempa
Hingga saat ini, ilmu pengetahuan belum bisa memperkirakan kapan dan di mana gempa akan terjadi. Meskipun demikian, gempa bumi sebenarnya bisa dimitigasi sehingga dampak kehancuran dan korban jiwanya bisa diminimalkan.
Wilayah rentan gempa di Indonesia sudah dipetakan dengan cukup baik melalui inisiasi para ilmuwan yang tergabung dalam Pusgen dengan menerbitkan Peta Sumber Gempa Bumi Nasional 2017. Peta ini merupakan revisi dari peta sumber gempa sebelumnya yang dibuat pada 2010.
Peta ini kemudian menjadi dasar perhitungan Peak Ground Acceleration (PGA), yaitu percepatan tanah maksimum akibat guncangan gelombang gempa di suatu wilayah. Kekuatan PGA inilah yang menjadi patokan untuk diantisipasi oleh setiap bangunan yang dibangun di daerah tersebut.
Baca juga : Kegagalan Mitigasi Bangunan Tahan Gempa
Ahli bangunan tahan gempa dari ITB/Pusgen, Iswandi Imran, mengatakan, mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Gempa tahun 2012 dan 2019, PGA di batuan dasar di wilayah Majene-Mamuju sebesar minimal 0,5 gal (gravitational acceleration). Padahal, menurut catatan BMKG, guncangan gempa M 6,2 di Majene pada Jumat lalu hanya mencapai maksimal 0,15 gal di permukaan, dengan spektrum respons maksimum di periode pendek maksimal 0,3 gal.
”Kalau bangunannya dirancang dengan konsisten mengikuti ketentuan terbaru, mestinya tidak akan roboh,” kata Iswandi.
Namun, seperti kita ketahui gempa ini merusak ratusan rumah warga, bahkan merobohkan sejumlah bangunan publik, seperti kantor Gubernur Sulawesi Barat, Rumah Sakit Mitra Manakkara, serta banyak bangunan sekolah.
Menurut Iswandi, kehancuran bangunan bisa jadi karena pembangunannya masih menggunakan ketentuan lama, yaitu SNI Gempa tahun 2002 dengan PGA di batuan dasar 0,1 gal. Selain itu, persyaratan seismic detailing berdasarkan ketentuan SNI tersebut belumlah seketat ketentuan detailing berdasarkan ketentuan SNI terkini. Idealnya, bangunan-bangunan yang dibangun sebelum SNI 2012 harus dievaluasi dan diperkuat jika memang konstruksinya belum sesuai standar yang baru.
Selain itu, bangunan yang hancur saat gempa kali ini bisa juga disebabkan adanya penyimpangan dalam perencanaan, seismic detailing, atau implementasi dalam konstruksinya. ”Bangunan tahan gempa sebenarnya masih boleh rusak, tetapi kerusakannya haruslah direncanakan dengan baik sehingga kerusakan tersebut tidak sampai memicu robohnya bangunan. Agar bangunan bisa bertahan, perencanaannya harus sesuai dengan pedoman di tiap wilayah. Tahap ini harus diawasi,” tutur Iswandi.
Sebelum bangunan mendapatkan IMB (izin mendirikan bangunan), perencanaannya harus dikaji dulu oleh tim ahli bangunan gedung (TABG). ”Ini, kalau di Jakarta, berlaku untuk bangunan 8 lantai ke atas. Kalau di bandung, berlaku untuk bangunan 4 lantai ke atas. Namun, sepengetahuan kami, sejauh ini baru sekitar 40 persen pemerintah kota/kabupaten yang sudah menerapkan ini,” kata Iswandi.
Baca juga : Bekal Ilmu Tahan Gempa bagi Tukang di Sulteng
Tahap berikutnya, menurut Iswandi, harus dipastikan apa yang sudah direncanakan agar diimplementasikan secara konsisten di lapangan. Misalnya, pemasangan tulangan dan sambungan haruslah sesuai dengan gambar.
”Selain pengawas internal yang memang selalu ada dalam setiap organisasi suatu proyek, pemerintah daerah seharusnya ikut bertanggung jawab melakukan pemantauan secara berkala,” katanya.
Prinsip ini seharusnya juga diterapkan untuk bangunan hunian masyarakat. Ketentuan dan pedoman bangunan rumah sederhana tahan gempa yang dikeluarkan pemerintah, menurut Iswandi, sudah ada. Namun, implementasinya belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Apalagi, kebanyakan bangunan rumah rakyat dibangun hanya menggunakan tukang, bahkan juga kerap tidak memiliki IMB.
”Untuk bangunan rakyat, perlu adanya pelatihan dan sertifikasi tukang. Sering kali, karena hanya didasarkan kebiasaan, tukang-tukang yang ada masih abai dengan prinsip bangunan tahan gempa,” katanya.
Mudrik Rahmawan mengatakan, sebagai pelajaran ke depan, setiap kejadian gempa yang menimbulkan kerusakan, seperti di Majene kali ini, seharusnya ada investigasi. Ini terutama bangunan-bangunan publik yang berpotensi menimbulkan korban jiwa, seperti rumah sakit ataupun sekolah.
”Jika memang ada ketentuan dalam perencanaan dan pembangunannya yang dilanggar, seharusnya ada sanksi. Di negara lain, seperti di China, pelanggaran ini dikategorikan dalam korupsi,” katanya.
Tanpa adanya perubahan dalam implementasi konstruksi bangunan, kehancuran saat gempa yang bisa menelan korban jiwa bakal terus terjadi di Indonesia. Selain pendekatan hukum dengan penegakan sanksi yang tegas, menjadi sangat penting lagi adalah melakukan edukasi di masyarakat bahwa bangunan tahan gempa sebagai kebutuhan untuk beradaptasi di negeri cincin api ini.
Baca juga : Rumah Harus Dibangun Tahan Gempa