Ketiadaan aturan teknis membuat eksekusi pidana tambahan, seperti pemulihan lingkungan dalam kasus kerusakan atau pencemaran lingkungan, hingga kini masih belum jelas dan sulit dilakukan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pidana tambahan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup cukup sering dijatuhkan pengadilan kepada badan usaha. Namun, ketiadaan aturan teknis membuat eksekusi pidana tambahan ini masih belum jelas dan sulit dilakukan.
Sanksi pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana diatur dalam Pasal 119 Huruf c UU No 32/2009 (UUPPLH). Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan hakim apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha atau korporasi.
Berdasarkan kajian putusan-putusan lingkungan selama 2016-2019 yang dilakukan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (Leip), ditemukan sembilan perkara dengan terdakwa korporasi yang diputus bersalah berdasarkan UUPPLH. Dari sembilan perkara tersebut, enam di antaranya dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan tata tertib sesuai Pasal 119 Huruf c.
Jaksa memiliki asas dominus litis yang berarti tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain penuntut umum yang bersifat absolut dan monopoli.
Sementara dalam amar putusannya, para terdakwa dijatuhkan pidana tambahan di antaranya berupa pembersihan limbah padat dengan jumlah volume lebih dari 412 meter kubik, mengeluarkan limbah dari lokasi, ataupun pemulihan lahan yang rusak akibat kebakaran melalui pemberian kompos dengan biaya mencapai Rp 15 triliun.
Meski demikian, menurut peneliti senior Leip, Arsil, saat ini masih terdapat permasalahan ketidakseragaman model amar putusan dari pidana tambahan tersebut. Beberapa amar putusan cukup detail mengatur pidana tambahannya, sedangkan sebagian lainnya tidak menjelaskan kewajiban korporasi dalam memulihkan lingkungan.
”Permasalahan lain yang menarik dikaji karena ke depan mungkin akan semakin banyak perkara lingkungan dengan terdakwa korporasi ini, yaitu bagaimana sebenarnya parameter menentukan pidana tambahan ini selesai dilakukan. Sebab, pidana tambahan ini bersifat pemulihan dan setiap pidana harus jelas kapan berakhirnya,” ujarnya dalam diskusi daring, Kamis (21/1/2021).
Menurut Arsil, dalam putusan maupun UUPPLH tidak terlalu menjelaskan konsekuensi hukum jika pidana tambahan tidak dilaksanakan sepenuhnya atau sebagian oleh korporasi. Pada akhirnya, setiap permasalahan tersebut akan menyulitkan eksekusi atau pelaksanaan pemulihan lingkungan. Karena itu, Arsil memandang perlunya regulasi teknis untuk menjamin pidana tambahan benar-benar dilaksanakan.
Selain itu, kata Arsil, terdapat juga instrumen hukum lainnya untuk memastikan pidana tambahan dilaksanakan oleh terdakwa. Beberapa di antaranya yaitu menerapkan Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berupa pencabutan hak-hak tertentu dari terdakwa, perampasan barang, dan penutupan izin usaha korporasi tersebut.
Peneliti Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Marsya Mutmainah Handayani, mengatakan, meski alam atau lingkungan memungkinkan untuk memulihkan dirinya sendiri, tetapi jangka waktu yang dibutuhkan akan sangat lama. Dilakukannya kewajiban korporasi menjalankan pidana tambahan akan mempercepat pemulihan lingkungan yang rusak ini.
Marsya menilai, terdapat peluang pengembangan kebijakan pidana pemulihan untuk menjamin pidana tersebut benar-benar dilaksanakan oleh terdakwa. Salah satunya yaitu dengan berpedoman pada Pasal 99 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di mana pelaksanaan putusan dilakukan menurut tata cara putusan perdata tetapi pemulihan harus dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kewenangan eksekusi
Kepala Subdirektorat Penyidikan Pencemaran Lingkungan Hidup KLHK Anton Sardjanto mengatakan, kewenangan eksekusi putusan perkara pidana lingkungan hidup berada pada kejaksaan. Nantinya, biaya perbaikan pemulihan lingkungan tersebut diserahkan kepada kejaksaan negeri dan kemudian jaksa berkoordinasi dengan KLHK untuk melakukan eksekusi.
”Perintah pemulihan bisa berawal dari sanksi Ditjen Penegakan Hukum KLHK atau putusan pengadilan. Setelah mendapat perintah ini kemudian korporasi harus berkoordinasi dengan bagian Ditjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3. Dari situ nanti ada mekanisme mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga pemantauan pasca-pemulihan lahan terkontaminasi tersebut,” tuturnya.
Anton mengakui, selain kebijakan yang saling tumpah tindih, penegakan hukum lingkungan di Indonesia juga masih menemui tantangan lainnya. Tantangan itu di antaranya sulitnya membuktikan suatu kasus, kesulitan akses lokasi, mahalnya biaya pananganan kasus, terbatasnya ahli atau saksi di pengadilan, hingga lemahnya manajemen kasus dan eksekusi.
Asisten Khusus Jaksa Agung Narendra Jatna memandang bahwa kejaksaan kurang dapat mengambil sikap dalam tuntutan hingga penyidikan hukum lingkungan. Penyebabnya, aturan Pasal 95 Ayat 1 UUPPLH yang cukup rancu. Pasal tersebut menyatakan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat dilakukan secara terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri.
Menurut Narendra, pasal ini rancu karena kerja kejaksaan di bawah koordinasi menteri belum tentu memiliki kompetensi di bidang penegakan hukum. Padahal, jaksa memiliki asas dominus litis yang berarti tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain penuntut umum yang bersifat absolut dan monopoli.