Meniti Tebing dan Jurang di Majene demi Kemanusiaan
›
Meniti Tebing dan Jurang di...
Iklan
Meniti Tebing dan Jurang di Majene demi Kemanusiaan
Sejumlah wilayah terisolasi pascagempa M 6,2 di Majene. Saat pemerintah belum hadir, sukarelawan bergerak, menembus wilayah terisolasi. Mereka menantang maut demi membantu warga dan menyampaikan amanah para donatur.
Oleh
Reny Sri Ayu
·6 menit baca
Hari masih gelap, Rabu (20/1/2021), saat Yayat bersama belasan rekannya meninggalkan pusat Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Mereka adalah mahasiswa sekaligus sukarelawan Fakultas Teknik Industri Universitas Muslim Indonesia (FTI UMI), Makassar, yang sehari pascagempa bermagnitudo 6,2 sudah berada di Majene untuk membantu penanggulangan bencana.
Pagi itu, tujuan mereka adalah Desa Kabiraan di Kecamatan Ulumanda. Kompas mengikuti perjalanan tim ini. Kabiraan adalah salah satu dari sejumlah desa yang terisolasi akibat gempa. Longsor di beberapa titik jalan membuat sejumlah desa di Majene sulit diakses. Tak hanya longsor, jaringan listrik dan komunikasi juga putus. Desa lain, seperti Tandi Allo, Ulumanda, dan Popenga, sampai kini masih terisolasi. Begitu juga beberapa desa di Kecamatan Malunda, tetangga Ulumanda.
Dari jalan poros Majene-Mamuju, Kabiraan sebenarnya hanya berjarak sekitar 10 kilometer. Letaknya di dataran tinggi dengan satu sisi jalan adalah tebing batu dan sisi lain adalah jurang. Di salah satu titik, bebatuan besar menutup badan jalan. Bebatuan ini bercampur tanah berlumpur dengan ketebalan 30 sentimeter hingga 1 meter. Gempa memicu longsor di jalur yang menjadi akses utama warga desa. Bagian tebing yang runtuh sekitar 200 meter.
Kendaraan roda empat harus diparkir agak jauh dari titik longsor. Perjalanan pun dilanjutkan dengan berjalan kaki. Ada pula yang mengendarai roda dua meski sama saja. Tepat di bagian tanah berlumpur, motor harus didorong. Beberapa bahkan harus diangkat di bagian depan atau belakang. Berjalan kaki pun sama sulitnya karena pijakan terbenam dalam tanah berlumpur.
Beratnya perjalanan itu masih ditambah lagi rasa waswas karena pecahan batu kecil dan tanah masih berjatuhan. Sejumlah bongkahan batu besar di tebing-tebing seperti menunggu waktu untuk tumbang. Di beberapa bagian lain, tampak retakan di tebing yang sambung menyambung.
Sementara itu, di dasar jurang, pemandangannya tak kurang bikin nyali ciut. Tampak sisa reruntuhan batuan dan tanah dari tebing serta jalan beton yang terbawa longsoran di kedalaman jurang itu. Berjalan di titik ini sungguh-sungguh seperti bertaruh nyawa.
Hari itu ada sukarelawan lain dari GMNI Majene yang juga bermaksud ke Kabiraan. Mereka pun membawa bantuan logistik. Semua berjalan dengan hati-hati dan mencari tanah yang agak keras untuk dipijak. Logistik dipikul di pundak.
Yayat, yang mengendarai roda dua, mendahului rombongan. Dia akan memberi tahu pemuda kampung untuk turun membantu mengambil logistik di mobil. Butuh waktu untuk memindahkan semua logistik dari ujung titik longsor hingga ke perkampungan.
Sukarelawan FTI UMI meninggalkan desa setelah semua logistik diserahkan. Perjalanan mereka lanjutkan menembus desa terpencil di Kecamatan Tappalang, Kabupaten Mamuju. Adapun sukarelawan GMNI membuka posko di Kabiraan. Mereka masih menunggu bantuan lain yang akan tiba.
”Jujur, menembus lokasi seperti Kabiraan dan beberapa desa lain bukan hanya soal kekuatan fisik, melainkan juga mental. Ini adalah wilayah terdekat dengan pusat gempa. Banyak yang mengungsi, tapi kami justru masuk. Di sepanjang jalan poros dari Majene saja, melihat laut di sebelah kiri dan tebing di kanan, kami sudah dihantui ancaman tsunami dan longsor jika terjadi gempa susulan,” kata Yayat.
Saat gempa pertama terjadi pada Kamis (14/1/2021), warga Kabiraan meninggalkan rumah. Ada yang turun ke dataran rendah, sebagian tetap di desa dan tidur di tenda-tenda yang dipasang di jalan atau halaman sekolah. Gempa pertama bermagnitudo 5,9 itu memicu longsor di jalan desa yang terletak antara jalan poros dan perkampungan. Namun, saat itu jalan masih bisa dilintasi kendaraan roda dua. Gempa M 6,2 berselang 10 jam kemudian, Jumat (15/1/2021) dini hari, membuat bebatuan besar akhirnya ambruk dan menutup seluruh badan jalan.
”Kami saat itu ketakutan dan bingung. Lampu padam dan kami tak bisa lagi berkomunikasi keluar. Beberapa warga mencoba berjalan melintasi bagian atas tebing yang longsor untuk bisa tembus ke sisi lain. Tapi, kondisinya sangat rawan karena batu terus berjatuhan. Kami memutuskan tinggal di desa untuk sementara waktu sembari menunggu pertolongan,” kata Jabaruddin (50), warga Kabiraan.
Namun, pertolongan yang ditunggu tak kunjung tiba, sementara persediaan logistik warga menipis. Saat itu, atas musyawarah bersama kepala desa, disepakati warga yang memiliki kios mengeluarkan dulu cadangan yang mereka punya. Begitu pun warga lain. Mereka menikmati bersama apa yang masih bisa disajikan.
”Saat malam, suasana sungguh mencekam karena tidak ada lampu. Kami hanya membakar kayu. Akhirnya, saya memutuskan untuk turun meninggalkan kampung. Saya harus mencari pertolongan untuk warga,” kata Paharuddin, Kepala Desa Kabiraan.
Berjalan kaki melintasi hutan dan ancaman longsor, Paharuddin ke posko induk di Kecamatan Malunda di mana logistik menumpuk. Sayangnya, upayanya meminta bantuan logistik untuk warga tak berhasil. Tak ada sama sekali bantuan yang dia peroleh.
Paharuddin lalu berusaha mencari orang-orang yang membawa bantuan. Namun, mereka lebih banyak menuju Mamuju. Hingga akhirnya dia bertemu rombongan sukarelawan mahasiswa FTI UMI yang dipimpin langsung dekannya, Zakir Sabara. Itulah pertama kali warga mendapat kunjungan dan bantuan dari luar. Dalam keadaan longsoran belum dibongkar, sukarelawan masuk ke Kabiraan.
Unggahan Zakir di media sosial kemudian diunggah ulang oleh banyak pihak. Pada Selasa (19/1/2021) atau hari kelima pascagempa, alat berat akhirnya dikerahkan. Namun, besarnya bongkahan batu membuat ekskavator tak bisa bekerja maksimal. Hanya sedikit batu yang bisa digeser. Selebihnya, timbunan tanah berlumpur masih menutup jalan.
Namun, kendaraan roda dua sudah bisa melintas walau harus didorong atau diangkat. Ini dengan catatan tak terjadi hujan. Jika hujan, bahkan berjalan kaki pun jadi mustahil. Tapi, warga mulai tenang karena sukarelawan sudah datang dan sebagian menemani mereka dengan mendirikan posko di desa.
Menerobos wilayah terisolasi pascagempa juga dilakukan pegiat literasi Ridwan Alimuddin. Pemilik Perpustakaan Nusa Pustaka ini bekerja sama dengan Rintara Jaya, lembaga yang bergerak dalam bidang kemaritiman.
Untuk menjangkau wilayah terisolasi atau lokasi pengungsian yang belum tersentuh bantuan, setiap hari mereka membagi tim dan melakukan survei. Tujuannya, selain memastikan berapa banyak keluarga yang akan diberi bantuan, juga melihat kebutuhan bayi dan perempuan.
”Setiap kali tim balik dari survei, semua temuan di lapangan dibahas. Mulai dari berapa banyak titik, keluarga, kebutuhan mendesak, hingga akses ke sana. Jadi, saat mengantar bantuan, kami sudah punya data, termasuk bagaimana ke lokasi. Biasanya kami membawa logistik menggunakan mobil dan berhenti di titik yang kendaraan tak bisa lagi melintas. Selanjutnya, logistik dibawa dengan berjalan kaki atau pakai motor,” kata Ridwan.
Bantuan yang dibawa sukarelawan sebagian adalah titipan para donatur. Ridwan, misalnya, bahkan menerima titipan para donatur dari Yogyakarta, Jakarta, Makassar, dan banyak daerah lain. Begitu pun sukarelawan FTI UMI.
”Awalnya kami bergerak sendiri, lalu banyak yang menitipkan bantuannya. Tentu saja amanah ini harus kami sampaikan kepada yang berhak walau itu harus menerobos jalan longsor dan berisiko. Tentu kami tetap memperhitungkan keselamatan diri. Dalam kondisi begini, semua warga adalah korban. Namun, kami berusaha mencari orang-orang yang belum tersentuh bantuan atau terisolasi,” kata Dekan FTI UMI Zakir Sabara.
Di tengah karut-marut distribusi logistik, kehadiran sukarelawan menumbuhkan asa para penyintas gempa di Sulbar. Mereka tidak hanya hadir di tengah warga, tapi juga mengelola dan mendistribusikan bantuan. Panggilan kemanusian dan amanah menguatkan mereka untuk menembus batas rasa takut.