Cedera tidak menghalangi pasangan senior Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan untuk berlaga. Semangat pantang menyerah dan sikap optimistis mengantar mereka menyesuaikan taktik di lapangan dan memetik kemenangan.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
BANGKOK, RABU — Ketika semangat dan optimisme sudah tertanam dalam hati dan benak, tak ada yang tak mungkin dicapai. Faktor itu mengantarkan ganda putra kawakan, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, pada kemenangan dalam babak pertama turnamen bulu tangkis Toyota Thailand Terbuka dalam kondisi cedera betis kiri yang dialami Ahsan.
Kemenangan tersebut didapat ketika Hendra/Ahsan berhadapan dengan pasangan Inggris, Marcus Ellis/Chris Langridge, di Impact Arena, Bangkok, Rabu (20/1/2021). Mereka menang, 23-21, 21-15.
Hendra/Ahsan mendominasi pertemuan dengan pasangan peringkat ke-22 dunia itu, selalu menang dalam empat laga sebelumnya. Namun, untuk tampil hingga memenangi pertandingan dengan kondisi cedera pada salah satu di antara mereka, bukan perkara mudah.
Tekad besar untuk bertanding harus ada pada hati atlet. ”Saya tidak pernah berniat untuk tidak bermain. Selama masih bisa menahan rasa sakit, saya coba terus,” ujar Ahsan mengungkapkan semangatnya meskipun beberapa kali meringis menahan sakit saat bermain.
Selain pola pikir positif, Ahsan mengatakan, pemain yang cedera harus berterus terang kepada partner tentang kondisinya. Dengan komunikasi terbuka, antisipasi untuk menentukan pola permainan bisa ditentukan sedari awal.
Ahsan melakukan itu sejak merasa sakit pada betis kirinya, pada gim kedua perempat final Yonex Thailand Terbuka, pekan lalu. Hendra/Ahsan dikalahkan Choi Solgyu/Seo Seung-jae (Korea Selatan) pada laga itu.
Di lapangan, hasil komunikasi itu diperlihatkan dengan mengubah taktik. Ahsan yang biasanya berperan sebagai ”mesin” serangan dengan smes dari belakang lapangan, kali ini lebih banyak menjadi pengatur serangan di depan net. Dia bertukar peran dengan Hendra.
”Bermain dalam nomor ganda harus saling mendukung, apa pun kondisinya. Yang fit harus siap bekerja lebih keras karena yang cedera tidak boleh terlalu banyak bergerak. Saat ada yang cedera, yang penting kami berusaha dulu, tidak usah berpikir hasil,” kata Hendra.
Kerja sama itu membuahkan hasil meskipun Hendra/Ahsan mengawali laga dengan tertinggal 0-8, lalu 2-11 pada jeda gim pertama. Ganda putra peringkat kedua dunia itu mulai menyamakan skor pada 16-16.
”Pada awal, Hendra/Ahsan bermain dengan pola lambat yang membuat kami mudah mengontrol permainan. Namun, setelah interval, mereka tampil dengan pola yang menyulitkan kami. Saya salut kepada mereka,” komentar Ellis.
Saya tidak pernah berniat untuk tidak bermain. Selama masih bisa menahan rasa sakit, saya coba terus.
Komentator Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) pada siaran langsung laga tersebut, salah satunya mantan pebulu tangkis Inggris, Gillian Clark, memuji kekompakan Hendra/Ahsan. ”Mereka pasangan yang selalu saling mendukung dalam kondisi apa pun, tanpa pernah mengeluh,” ujar Clark, yang juga membahas momen serupa pada All England 2019.
Pada turnamen bulu tangkis prestisius itu, Hendra/Ahsan menjadi juara dengan kekuatan timpang. Hendra cedera betis kanan, hingga berjalan pincang, pada semifinal dan final. Kekompakan dan saling dukung mengantarkan mereka pada gelar juara All England untuk kedua kalinya, setelah 2014.
Bukti bahwa semangat dan pola pikir positif bisa mengatasi semua kendala juga diperlihatkan pemain India, Prannoy HS. Dia mengalahkan tunggal putra Indonesia yang menjadi unggulan keenam, Jonatan Christie, 18-21, 21-16, 23-21. Prannoy menang setelah tertinggal 14-18 pada gim ketiga.
Kemenangan tersebut lebih berarti karena Prannoy bermain dengan rasa sakit di dada dan cedera bahu kiri setelah terjatuh menjelang akhir gim ketiga. Rasa sakit di dada itu dirasakan akibat batuk berkepanjangan ketika dia terinfeksi Covid-19 pada November 2020. Otot di dadanya pun menegang.
”Saya tak berlatih dalam lima hari terakhir karena dada terasa sangat sakit. Jadi, saya tak punya ekspektasi apa pun pada pertandingan hari ini karena saat bernapas pun dada masih terasa sakit,” tutur Prannoy, yang selalu kalah dari Jonatan dalam tiga pertemuan terakhir.
Unggulan tersingkir
Saat tiga ganda putra muda—Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin, Pramudya Kusumawardana/Yeremia Erich Yoche Yacob Rambitan, Muhammad Shohibul Fikri/Bagas Maulana—melangkah ke babak kedua, pemain senior yang ditempatkan sebagai unggulan tersingkir pada babak pertama. Di antara mereka adalah Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, unggulan kelima ganda putra.
Kesempatan bertanding kembali setelah sepuluh bulan tanpa turnamen gagal dimanfaatkan Fajar/Rian. Pekan lalu, pada turnamen Yonex Thailand Terbuka, mereka disingkirkan Leo/Daniel pada babak kedua. Sepekan kemudian, hasil mereka malah lebih buruk. Fajar/Rian ditundukkan pasangan Inggris, Ben Lane/Sean Vendy, 18-21, 19-21.
Fajar/Rian sebenarnya menjadi salah satu andalan ganda putra Indonesia untuk membawa gelar juara di tengah absennya rekan mereka, Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon, serta pemain-pemain China dan Jepang. Mereka tak hadir di Thailand karena terkait kasus positif Covid-19.
Namun, peraih medali perak Asian Games Jakarta Palembang 2018 tersebut gagal memenuhi harapan. Alih-alih bermain lebih baik dibandingkan pada pekan lalu, Fajar/Rian justru tampil di bawah kemampuan terbaik mereka.
Banyak kesalahan yang membuahkan poin gratis bagi lawan, terutama saat Rian memegang servis. Fajar pun sering kali menyia-nyiakan peluang memperoleh poin depan net meskipun seharusnya bisa diperoleh dengan mudah. Konsentrasi mereka pun buyar ketika lawan berulang kali memperlambat kesempatan menerima servis.
”Kami tak bisa keluar dari tekanan lawan dan diri sendiri, jadi tak bisa bertanding dengan rileks. Keyakinan diri pun turun. Semoga, setelah ini, kami bisa bangkit,” ujar Rian.
Kekalahan juga dialami finalis Yonex Thailand Terbuka, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti. Unggulan kedua itu disingkirkan pasangan Perancis yang mereka singkirikan pada semifinal, pekan lalu, yakni Thom Gicquel/Delphine Delrue, dengan 21-14, 9-21, 13-21.