Pemberhentian Dua Adik Sultan HB X Berkait Konflik Internal Keraton
›
Pemberhentian Dua Adik Sultan ...
Iklan
Pemberhentian Dua Adik Sultan HB X Berkait Konflik Internal Keraton
Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X memberhentikan dua adiknya dari jabatan struktural di keraton. Pemberhentian itu dinilai berkait dengan konflik internal setelah munculnya sabda raja tahun 2015.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X memberhentikan dua adiknya dari jabatan struktural di keraton. Pemberhentian itu dinilai berkait dengan konflik internal Keraton Yogyakarta yang terjadi setelah Sultan HB X mengeluarkan sabda raja pada 2015. Namun, konflik itu dinilai tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi masyarakat Yogyakarta.
Dua adik Sultan HB X yang diberhentikan adalah Gusti Bendara Pangeran Haryo (GPBH) Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat. GBPH Prabukusumo diberhentikan dari jabatan sebagai Penggedhe Kawedanan Hageng Punakawan Nityabudaya dan posisinya digantikan putri kelima Sultan HB X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara.
Sementara GBPH Yudhaningrat diberhentikan dari jabatan Penggedhe Kawedanan Hageng Punakawan Parwabudaya dan posisinya digantikan putri pertama Sultan HB X, GKR Mangkubumi. Pemberhentian itu ditetapkan Sultan HB X melalui dhawuh dalem atau perintah raja yang ditandatangani pada 2 Desember 2020. Namun, pemberhentian tersebut baru diketahui publik beberapa hari lalu setelah foto dokumen dhawuh dalem itu tersebar luas.
Saat diwawancarai pada Kamis (21/1/2021), Sultan HB X membenarkan pemberhentian GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat. Menurut Sultan, keduanya diberhentikan karena selama lima tahun terakhir tidak aktif melaksanakan tugasnya di Keraton Yogyakarta.
”Nek gelem aktif, yo, rapopo (kalau mau aktif, ya, enggak apa-apa). Masak ming (cuma) gaji buta. Lima tahun ora (tidak) bertanggung jawab,” ujar Sultan HB X yang juga menjabat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sultan menyebut, sebagai penggedhe atau pejabat di Keraton Yogyakarta, GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat mendapat gaji atau honor dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak beberapa tahun lalu, para abdi dalem dan pejabat di Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman memang mendapatkan honor dari dana keistimewaan DIY yang bersumber dari APBN.
Sultan juga menuturkan, pemberhentian GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat bukan karena keduanya berbeda pendapat dengan dirinya soal sabda raja yang dikeluarkan pada 2015. Apalagi, Sultan menyebut, beberapa kerabat Keraton Yogyakarta yang tak setuju dengan dirinya juga tak diberhentikan karena mereka masih menjalankan tugas.
”Enggak ada hubungannya. Wong nyatanya yang ndak setuju sama saya, kalau tetap melaksanakan tugas, juga ndak saya berhentikan,” kata Sultan.
Pada 30 April 2015, Sultan HB X mengeluarkan sabda raja yang berisi pergantian gelarnya sebagai raja Keraton Yogyakarta. Sebelumnya, gelar lengkap Sultan HB X adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa Ing Ngayogyakarto Hadiningrat.
Sementara itu, setelah sabda raja, gelar tersebut diubah menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalaga Langgenging Bawono Langgeng Langgenging Tata Panatagama.
Setelah sabda raja itu, Sultan kembali mengeluarkan dhawuh raja pada 5 Mei 2015 yang berisi perubahan gelar putri pertamanya yang sebelumnya bernama GKR Pembayun. Melalui dhawuh raja itu, Sultan mengganti gelar GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram.
Sejumlah pihak berpendapat, penggantian gelar itu menjadi pertanda bahwa GKR Pembayun telah diangkat sebagai putri mahkota dan dipersiapkan untuk menjadi raja berikutnya. Hal itu kemudian menimbulkan pro dan kontra karena raja Keraton Yogyakarta selalu dijabat oleh laki-laki, sementara Sultan HB X tidak memiliki anak laki-laki.
Wong nyatanya yang ndak setuju sama saya, kalau tetap melaksanakan tugas, juga ndak saya berhentikan.
Langgar ”paugeran”
Menanggapi pemberhentian itu, GBPH Prabukusumo mengatakan, selama beberapa tahun terakhir, dirinya dan GBPH Yudhaningrat memang tidak aktif di Keraton Yogyakarta. Namun, Prabukusumo menuturkan, keputusan untuk tidak aktif itu diambil karena ia dan GBPH Yudhaningrat tidak setuju dengan sabda raja yang dikeluarkan Sultan HB X.
Prabukusumo juga menyebut, sabda raja yang dikeluarkan Sultan HB X pada 2015 itu melanggar paugeran atau aturan adat. ”Memang sudah enam tahun kula mboten purun (saya tidak mau) aktif di Keraton sejak adanya sabda-sabda yang melanggar paugeran,” ujarnya.
Selain itu, Prabukusumo menilai, dhawuh dalem tentang pemberhentian dirinya dan GBPH Yudhaningrat tidak sah. Sebab, dalam dhawuh dalem itu, Sultan memakai gelar Sultan Hamengku Bawono X, bukan Sultan Hamengku Buwono X. ”Keraton Yogyakarta tidak mengenal nama Bawono. Artinya, surat ini batal demi hukum,” ucapnya.
GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat merupakan putra almarhum Sultan HB IX dan Kanjeng Ratu Ayu Hastungkara. Sementara itu, Sultan HB X merupakan putra Sultan HB IX dan Kanjeng Ratu Ayu Widyaningrum. Oleh karena itu, GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat merupakan adik tiri Sultan HB X.
Pemberhentian kedua pejabat keraton Yogyakarta itu tak bisa dilepaskan dari konflik internal Keraton Yogyakarta yang muncul setelah sabda raja tahun 2015.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Bayu Dardias, menilai, pemberhentian kedua pejabat keraton Yogyakarta itu tak bisa dilepaskan dari konflik internal Keraton Yogyakarta yang muncul setelah sabda raja tahun 2015. ”Ini efek dari konflik sejak 2015. Jadi, ini kelanjutan saja dari konflik itu,” ujar Bayu yang menyelesaikan disertasi tentang raja-raja Nusantara di Australian National University, Canberra, Australia.
Bayu mengatakan, konflik Sultan HB X dengan sejumlah adiknya yang berujung pada pemberhentian itu merupakan konflik internal Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, dia menilai konflik internal tersebut tak akan berpengaruh signifikan terhadap kondisi masyarakat di Yogyakarta. ”Menurut saya, enggak berpengaruh signifikan, apalagi di masyarakat. Ini, kan, urusan internal,” ujarnya.