Ratusan Berita Hoaks Dilaporkan Pascavaksinasi Covid-19 Perdana di Jabar
›
Ratusan Berita Hoaks...
Iklan
Ratusan Berita Hoaks Dilaporkan Pascavaksinasi Covid-19 Perdana di Jabar
Bertebarnya berita hoaks kebanyakan terjadi setelah vaksinasi perdana pertengahan Januari 2021. Hampir seluruh informasi bohong ini berisi dampak negatif vaksin terhadap tubuh pengguna.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Program vaksinasi di Jawa Barat rentan berita bohong atau hoaks. Selama bulan Januari, Jabar Saber Hoaks menerima 182 aduan terkait hoaks vaksinasi yang beredar di media sosial dan aplikasi percakapan.
Padahal, program vaksinasi ini menjadi salah satu upaya dalam penanganan pandemi Covid-19 di Jabar yang kian meningkat. Provinsi ini menempati peringkat kedua jumlah kasus Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia. Berdasarkan informasi Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Kamis (21/1/2021) pukul 19.00, sebanyak 117.570 kasus atau 12,5 persen kasus Covid-19 di Indonesia berasal dari Jabar.
Kepala Seksi Kemitraan Komunikasi Dinas Komunikasi dan Informatika Jabar Dwi Yudhi memaparkan, laporan hoaks terkait vaksin semakin marak pascavaksinasi awal dilakukan pada pertengahan Januari 2021. Penyebaran berita bohong ini dilakukan melalui media sosial dan aplikasi percakapan.
Dwi, yang juga Koordinator Jabar Saber Hoaks (JSH), memaparkan, perubahan tren isu hoaks juga berganti pasca-penyuntikan awal. Sebelum penyuntikan, hoaks yang beredar didominasi permasalahan status halal vaksin. Namun, setelah penyuntikan, berita bohong terkait cip di dalam vaksin hingga isu dampak vaksin yang mengganggu kesehatan mulai merebak.
Salah satunya informasi terkait santri yang pingsan usai disuntik vaksin Covid-19. Senior Fact Checker JSH Alfianto Yustinova menjelaskan, video tersebut telah ada sejak tahun 2018 saat santri tersebut disuntik vaksin difteri.
”Hoaks seperti itu sering ditemukan. Di antara laporan tersebut, 51 di antaranya sudah diklarifikasi. Setelah penyuntikan awal, aduan hoaks terkait vaksinasi Covid-19 semakin meningkat,” ujarnya.
Karena itu, Dwi berharap masyarakat mampu mengkritisi informasi yang diperoleh. Warga pun diminta melaporkan berita bohong tersebut dan mengonfirmasikan ke JSH atau mencari informasi di media massa yang kredibel. Jika dibiarkan, berita-berita bohong yang berseliweran bisa memicu kebingungan di masyarakat.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, Santi Indra Astuti, menyatakan, masyarakat sulit membedakan informasi jika banyak berita yang beredar. Hal tersebut menjadi hambatan besar dalam mengatasi pandemi.
”Publik dibingungkan dengan banjir hoaks terkait vaksinasi Covid-19 sehingga mereka bisa mengambil keputusan yang keliru. Bahkan, hoaks ya beredar mampu memengaruhi masyarakat untuk menolak vaksin,” ujarnya.
Namun, upaya untuk melacak dan menghambat laju persebaran hoaks di media sosial dan aplikasi percakapan sulit dihindari. Umumnya, kata Santi, dalam sebuah grup terdapat satu orang yang dituakan atau terhormat sehingga mampu menjadi opinion maker (pembuat opini).
”Karakter grup aplikasi percakapan itu unik. Selalu ada opinion maker dengan posisi terhormat. Hal tersebut justru rentan terpapar karena anggota grup lain tidak berani klarifikasi terhadap orang tersebut. Biasanya orang ini sepuh, senior, dianggap berilmu dan beragama,” ujarnya.
Apalagi, berita hoaks tersebut biasanya dikemas dengan narasi emosional dan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat. Selain itu, ada ajakan untuk disebar dan diviralkan. Hal ini berkaitan dengan psikologi publik saat berhadapan dengan ketidaktahuan dan kecemasan di tengah situasi pandemi.
”Karena itu, jika melihat berita dengan narasi dan judul provokatif, masyarakat harus berhati-hati. Apalagi, hoaks kerap menggunakan kalimat sensasional dengan maksud mengkreditkan salah satu pihak,” ujarnya.