Serdadu Terakhir
Tidak terhitung banyak jumlah serdadu Republik yang tumbang oleh sergapan para pemberontak.
”Tembak!” teriak komandan kepada prajuritnya.
”Tembak” bisa dikatakan salah satu kata paling ajaib yang berhasil diciptakan bahasa manusia setelah lema dari langit: ”Kun”. Sebab, hanya dengan modal satu kata itu bentuk kehidupan dapat berubah dalam sekejap. Efeknya luar biasa bagi psikologi manusia. Tentu setelah kata sakti itu menunjukkan hasilnya: kehancuran. Kematian? Sudah pasti satu paket dengan pemusnahan. Di titik ini, aku mulai mengerti bahwa di sebuah bangsa yang sedang membangun demokrasi, agresi lebih diutamakan daripada argumentasi. Inilah pertarungan politik paling vulgar dalam sejarah umat manusia: peperangan!
Setelah pertempuran hebat itu, aku bersama serdadu yang tersisa terjebak di perkampungan. Pasukan pemberontakan yang datang secara tiba-tiba seperti setan, maksudnya begitu cepat saat menyerbu kemudian dengan lekas hilang ditelan lebat hutan, membuat serdadu Republik kalang kabut seperti laron berhamburan. Kelimpungan. Begitulah seterusnya jalannya pertempuran selama beberapa hari ini.
Tidak terhitung banyak jumlah serdadu Republik yang tumbang oleh sergapan para pemberontak. Selama perang itu pula, aku sibuk mencari orangtuaku. Sebelumnya, aku sudah menemukan kakak perempuanku yang sudah menjadi mayat beberapa hari lalu di semak-semak tanpa busana. Aku hanya pasrah. Meskipun pertempuran sedang berlangsung. Dalam hati aku berdoa: semoga peluru merobek perutku atau memecahkan kepalaku.
***
Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya. Pertikaian politik antar-elite di bangsa yang baru merdeka berujung pada kengerian dan kegilaan. Tahun 1950, Kali Banteng merupakan desa yang tenang. Sebuah desa yang dikepung hutan dari segala penjuru mata angin. Hiruk pikuk politik di Jakarta tak sampai terdengar ke daun telinga penduduk di pelosok desa. Bukan saja tidak mengerti, melainkan memang tidak peduli. Mengingat rasa lapar lebih cepat datangnya daripada mendapatkan uang. Itu sebabnya penduduk desa lebih suka bekerja daripada menanyakan untuk siapa Republik ini dimerdekakan? Di desa itulah keluargaku bermukim. Namun, saat sejumlah elite tokoh Republik membelot karena tidak puas dengan kepimpinan di pusat, semua menjadi kacau balau. Negara baru pun diproklamasikan. Desaku masuk dalam wilayah teritorial negara baru itu.
Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya. Pertikaian politik antar-elite di bangsa yang baru merdeka berujung pada kengerian dan kegilaan. Tahun 1950, Kali Banteng merupakan desa yang tenang. Sebuah desa yang dikepung hutan dari segala penjuru mata angin.
Padahal, waktu itu, aku baru saja menikmati pekerjaanku sebagai pengajar di salah satu sekolah swasta di Jakarta. Kekacauan politik memaksa diriku setiap hari tidak pernah absen membaca surat kabar. Sebab, dari situ dapat kuperoleh ceramah nasionalisme. Apologia para tokoh nasionalis, komunis, hingga agamais. Tentu itu alasan intelektualnya. Alasan terselubungnya ialah lantaran sudah dua bulan bapakku tak mengirim surat. Sejak negara baru dikumandangkan. Sebelum Republik menjawabnya dengan mengirim bala tentara. Naas, kabar terakhir yang kudengar pasukan Republik dapat dipukul mundur di Kota Laget oleh pasukan pemberontak.
Kecemasan dan keresahan menjadi satu. Tidak pikir panjang, tidak perlu membaca Sartre tentang tindakan yang otentik tanpa ada determinasi dari luar dirinya, aku mendaftarkan diri menjadi serdadu yang saat bersamaan Republik menyeru: wajib militer. Aku berbahagia saat ditugaskan untuk merebut kota Laget dari cengkeraman pemberontak. Beberapa orang menatapku dengan curiga setelah aku bejoget-joget menerima tugas negara memberantas pemberontak.
”Sinting. Mau mati, kok, bahagia,” ujar salah seorang anak muda yang juga mendaftar menjadi serdadu seusai digiring oleh aparat.
Setelah latihan militer ala kadarnya selama beberapa pekan, aku bergabung dengan ratusan serdadu untuk menyerbu pasukan pemberontak di desa-desa kota Laget. Kesempatan itu tidak kusia-siakan untuk terus menuju Desa Kali Banteng. Namun, di desa ini berbeda dengan desa lainnya. Hutan yang lebat menjadi penghalang pasukan Republik untuk menumpas pemberontak. Alih-alih memperoleh kemenangan gemilang justru sebaliknya kekalahan demi kekalahan yang diperoleh.
Di hari ke-77 tidak ada tukar peluru. Namun, kematian bagai bayangan yang mengikuti. Setiap hari ada saja yang mati. Kemarin, 15 prajurit gugur. Bukan karena peluru musuh, melainkan penyakit. Sang komandan dengan cepat mengambil keputusan untuk memburu pemberontak masuk hutan. Aku mengerti perintah itu dilakukan bukan atas dasar ingin cepat menumpas pemberontak. Tentu karena alasan penyakit menular yang mengepung Desa Kali Banteng.
Dengan demikian, kota Laget gagal direbut pasukan Republik. Layaknya benteng terakhir pasukan pemberontak gigih mempertahankannya. Korban pun berjatuhan. Ratusan orang meninggal bukan hanya karena peluru yang membabi-buta, melainkan juga karena kelaparan dan penyakit. Oleh karena itu, semua orang berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri.
Mayat pun bergelimpangan. Bau busuk menyeruak di mana-mana. Aku sendiri sudah putus asa mencari keberadaan kedua orangtuaku, apakah masih hidup atau sudah mati. Setiap orang yang masih hidup membawa bencana: penyakit menular. Ya, wabah melanda desa. Mayat-mayat yang membusuk ialah biang keroknya. Cepat atau lambat semua yang ada di sini akan mati. Semua wajah yang kutemui penuh dengan kecemasan seakan-akan sedang menatap malaikat pencabut nyawa. Namun, tidak denganku. Aku bahagia. Apa pun jenis kematian yang akan menyergap tubuhku nantinya. Persetan dengan kematian ala Heidegger. Apakah mati bunuh diri atau mati dicekik penyakit.
***
Sudah dua hari tidak ada yang dapat dimakan. Bahkan, untuk minum pun, tidak ada yang berani berbagi. Tidak ada pelukan di antara kami yang tersisa di sini. Kecuali hanya bertukar kata dan tatapan mata. Setiap orang dicurigai menyimpan penyakit menular pada tubuhnya. Terlebih bagi mereka yang sakit dan terluka. Maka, menjadi wajar jika banyak peluru habis untuk menembak kepalanya sendiri. Entah, jenis penyakit apa ini. Belum ada yang berani menamainya. Maklum tidak ada dokter. Yang ada hanya bunyi letupan senapan sebagai tanda lonceng kematian, bahwa ada baru saja yang mengirimkan dirinya sendiri ke surga. Tentu atas dalil membela negara.
Keadaan itulah yang memaksa sang komandan memerintahkan pasukannya untuk maju menerobos hutan. Menerobos penyakit. Semuanya pun bergerak meninggalkan desa. Akan tetapi, sesampainya di tengah hutan, bukan deru senapan yang ditemui, tapi mayat-mayat yang bergelimpangan. Tentu ini mayat para pemberontak. Di tengah keadaan seperti itu, kecemasan dan ketakutan memenuhi batok kepala kami yang tersisa.
”Apa yang harus kita lakukan Komandan,” tanya salah seorang serdadu.
”Kita akan terus menembus hutan ini untuk memastikan pemberontak telah kalah,” jawabnya tegas.
”Tidak Komandan. Pemberontak sudah kalah. Jika kita teruskan perjalanan ini, kita yang akan kalah. Tidakkah Komandan amati setiap hari ada saja serdadu yang meregang nyawa. Tentu bukan karena pertempuran, tapi karena wabah. Jika dipaksakan, kita tidak akan ada yang tersisa, bahkan sebelum keluar hutan,” sahutku.
”Siapa yang menjadi komandan di sini? Siapa yang boleh mengatur dalam pertempuran ini? Tugas serdadu untuk berperang, bukan membantah perintah komandan,” balasannya setengah berteriak menyembur wajahku. Dalam hati, aku menduga sang komandan telah dipengaruhi khotbah Machiavelli: lebih baik ditakuti daripada dicintai.
”Jika tidak ada musuh yang kita temui, peluru yang ada pada senapan kalian harus dialamatkan kepada kepala kalian sendiri. Tentu jika penyakit mulai menyerang kalian,” ujar sang komandan sebelum melanjutkan langkah kakinya.
***
”Doorrr.”
Lonceng kematian kesekian. Prajurit malang mana lagi yang mengirim nyawanya ke surga. Setiap yang mati dibiarkan begitu saja, kecuali hanya doa dalam hati. Sepertinya burung dan macan pun tidak tertarik untuk menyantapnya. Penyakit yang begitu mengerikan telah menghilangkan akal sehat manusia. Bagaimana tidak, rerintihan jerit prajurit karena demam, karena sesak napas, karena nyeri di dada ialah pemandangan yang paling sering dijumpai sebelum peluru mengakhiri deritanya. Penyakit menular yang begitu mengerikan hingga kematian bukanlah suatu hal yang sakral. Semuanya bergulir begitu tertib. Hari ini diserang penyakit, esok memilih mati daripada menahan derita yang luar biasa ganasnya.
Siang itu hujan turun dengan lebatnya. Aku menghentikan langkahku dan mulai bersandar di pohon. Kuhitung tinggal delapan serdadu yang tersisa. Semuanya berjarak satu sama lainnya. Selama perjalanan tidak ada percakapan. Kata-kata telah gugur di tenggorokan. Karena setiap kepala menyimpan curiga di antara satu dengan lainnya. Begitu pun sang komandan. Bahkan, jika ada prajuritnya yang hendak melapor, pistol sudah dilayangkan ke lawan bicaranya. ”Bicaralah, tak usah mendekat,” begitulah seruannya.
Baca juga : Monstera Hancuriata
”Lihatlah,” kata seorang prajurit yang berdiri di depanku sambil menunjukkan telunjuk jemarinya kearah sang komandan. Di atas gundukan tanah, sang komandan batalyon sedang menodongkan pistol tepat di kepalanya sendiri.
”Sampai jumpa prajurit. Sampai bertemu di surga.” Itulah kalimat perpisahan yang epik dari seorang pemimpin batalyon perang di hadapan prajuritnya.
Doorrr... Satu letupan peluru yang dilepaskan berhasil mengagetkan burung-burung yang sedang berteduh kemudian berhamburan terbang.
Satu demi satu bunyi senapan meletus mengikutinya. Prajurit gagah berani mengorbankan dirinya karena tak ingin penyakit membunuh kawan seperjuangannya. Hingga tiba gilirannya seorang teman yang berdiri di depanku. Namun, sebelum ia mengeluarkan peluru dari senapannya, ia berujar dengan terbata-bata seakan-akan ada tangan gaib yang sedang mencekik lehernya, ”Hai kau. Tak usah lanjutkan misi ini. Republik telah menang. Kita telah menang. Pulanglah. Sampaikan kepada Jenderal, bahwa semua pasukan telah mati bukan lantaran penyakit menular ini. Tetapi, karena wabah nasionalisme. Merdeka.” Prajurit gagah itu mati seketika setelah peluru menembus kepalanya.
Aku belum beranjak dari tempatku. Masih memikirkan ucapan prajurit tadi yang sangat jelas dan tegas. Bagaimanapun juga aku harus segera menyampaikan berita ini. Sebelum kuhancurkan kepalaku dengan senapanku sendiri. Tentu setelah menularkan penyakit kepada sang jenderal. Dan seluruh negeri akan binasa karena penyakit mengerikan ini. Aku pun tertawa terbahak-bahak puas. ”Merdekaaa,” teriakku.
Doorrr.***
Ade Mulyono lahir di Tegal. Tulisannya berupa fiksi dan nonfiksi dimuat di sejumlah media massa. Novel perdananya Lautan Cinta Tak Bertepi.