Transisi Menuju Bea Meterai Rp 10.000
Hingga memasuki minggu ketiga Januari 2021, bea meterai Rp 10.000 belum bisa diterapkan alias belum beredar.
Tanggal 1 Januari 2021 seharusnya menjadi hari diberlakukannya bea meterai baru bernominal Rp 10.000. Untuk menghabiskan stok meterai lama yang bernominal Rp 3.000 dan Rp 6.000, ditetapkan masa transisi selama satu tahun. Namun, proses pengadaan dan distribusi yang butuh waktu menyebabkan kebijakan bea meterai yang baru tidak langsung bisa diterapkan.
Pemberlakuan tarif tunggal meterai bernominal Rp 10.000 mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai yang disahkan oleh DPR pada akhir Oktober 2020 lalu. Regulasi ini mencabut UU sebelumnya tentang bea meterai Nomor 13 Tahun 1985.
Pengenaan bea meterai Rp 10.000 hanya untuk dokumen bernominal uang di atas Rp 5 juta. Dokumen bernominal di bawah Rp 5 juta tidak dikenakan ketentuan bea meterai. Peningkatan bea meterai ini menurut berita di laman resmi Kementerian Keuangan adalah untuk penyederhanaan dan kesetaraan antara dokumen kertas dan elektronik.
Baca juga: Materai dan Keotentikan Pembuktian
Bea meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditanda-tangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau dokumen yang selesai dibuat atau diserahkan kepada pihak lain bila dokumen tersebut hanya dibuat oleh satu pihak. Dokumen tersebut baik dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan. Bea meterai juga dikenakan untuk dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.
Perkembangan internet dan teknologi informasi telah mendorong pengenaan bea meterai terhadap dokumen elektronik. Ada tren peralihan dari penggunaan dokumen kertas ke dokumen elektronik. Transaksi elektronik yang terus berkembang menyebabkan suatu kontrak dapat dilakukan secara elektronik dalam jaringan internet.
Dalam UU Nomor 10/2020 dijelaskan bahwa besarnya tarif bea meterai dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat. Begitu pula dengan batas nilai nominal dokumen yang dikenai bea meterai.
Baca juga: Meterai Rp 10.000 Belum Siap, Meterai Lama Berlaku
Perubahan
Bentuk meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh pemerintah RI. Berdasarkan UU Nomor 13/1985, bea meterai semula besarnya Rp 1.000 yang dikenakan untuk surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1 juta. Terhadap dokumen yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 100.000 tetapi tidak lebih dari Rp 1 juta, bea meterai yang dikenakan sebesar Rp 500.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 mengubah tarif bea meterai menjadi Rp 3.000 dan Rp 6.000. Perubahan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa besar bea meterai yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat.
Bea meterai Rp 3.000 dikenakan pada dokumen yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000 sampai dengan Rp 1 juta. Sedangkan bea meterai Rp 6.000 untuk dokumen yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1 juta. Untuk dokumen yang bernominal sampai dengan Rp 250.000 tidak dikenakan bea meterai.
Dalam kurun 20 tahun, nominal bea meterai tidak mengalami perubahan. Sementara kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat sudah berubah. Tahun 2000, awal milenium baru, perekonomian nasional dilihat dari Produk Domestik Bruto (GDP) menurut Bank Dunia tercatat 165,02 miliar dollar Amerika Serikat. Pendapatan per kapita Indonesia pada saat itu sebesar 780,19 dollar AS.
Tahun 2019, GDP Indonesia naik menjadi 1.119 miliar dollar AS dengan pendapatan per kapita menjadi 4.135,57 dollar AS. Angka tersebut naik lima kali lipat dalam kurun hampir dua dekade.
Perubahan yang cukup signifikan ini yang mendasari revisi bea meterai. Selain itu, baik UU Nomor 13/1985 maupun PP Nomor 24/2000 di dalamnya belum mengatur pengenaan bea meterai untuk dokumen-dokumen digital atau elektronik. Sehingga, perlu aturan baru yang relevan dan mengakomodasi perubahan zaman. Terbuka peluang untuk pemerintah menggali sumber pendapatan yang baru.
Potensi Penerimaan Negara
Salah satu tujuan pengenaan bea meterai adalah mengoptimalkan penerimaan negara untuk membiayai pembangunan secara berkelanjutan. Benda meterai menjadi salah satu benda berharga yang memberi kontribusi pada penerimaan negara.
Di masa pembahasan RUU bea meterai yang baru pada pertengahan tahun 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan potensi penerimaan negara yang akan meningkat jika RUU tersebut dapat diundangkan. Peningkatannya diperkirakan akan mencapai Rp 3,8 triliun yang didapat dari bea berupa meterai tempel atau kertas meterai berdasarkan perhitungan nilai pada saat itu. Akan tetapi, angka tersebut belum menghitung potensi penerimaan dari dokumen-dokumen digital.
Di dalam struktur APBN, penerimaan dari bea meterai masuk dalam bagian penerimaan pajak lainnya. Porsi terbesar penerimaan pajak lainnya ini bersumber dari bea meterai. Dalam APBN 2021, target penerimaan negara dari bagian pajak lainnya meningkat cukup tinggi dibandingkan target APBN 2020, yaitu menjadi Rp 12,4 triliun dari sebelumnya Rp 7,49 triliun. Diperkirakan akan diperoleh tambahan penerimaan pada pos tersebut sebanyak hampir Rp 5 triliun atau naik 65,5 persen.
Target yang lebih dari 50 persen ini bisa dianggap tergolong ambisius. Hal ini mengingat realisasi penerimaan negara dari pajak lainnya hingga November 2020 hanya sebesar Rp 5,74 triliun atau 76,6 persen dari target yang ditetapkan. Hingga akhir 2020, penerimaan diperkirakan tidak akan mencapai 100 persen. Kondisi ini sama dengan tahun 2019, di mana penerimaan dari pajak lainnya hanya mencapai 89,3 persen dari target.
Target penerimaan dari pajak lainnya yang ditetapkan dalam APBN 2021 dua kali lipat dari realisasi tahun 2020. Hal ini yang bisa disebut ambisius di tengah perekonomian yang belum membaik.
Meski demikian, kebijakan pemerintah ini bisa pula dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara akibat sektor perpajakan yang tergerus karena pandemi Covid-19. Penerimaan pajak hingga akhir November 2020 hanya mencapai Rp 1.108,83 triliun atau 78,95 persen dari target yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 sebesar Rp 1.404,51 triliun.
Tahun depan, penerimaan negara dari sektor pajak masih akan tertekan karena kegiatan usaha dan bisnis yang belum sepenuhnya pulih. Hingga memasuki minggu ketiga Januari 2021, bea meterai Rp 10.000 belum bisa diterapkan alias belum beredar.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang menerbitkan meterai masih dalam proses menyelesaikan desain, pencetakan hingga akhirnya meterai tempel Rp 10.000 bisa didistribusikan ke masyarakat.
Karena meterai Rp 10.000 belum ada, maka masyarakat tetap menggunakan meterai tempel yang lama dengan ketentuan paling sedikit Rp 9.000 sampai dengan akhir tahun 2021. Sekaligus untuk menghabiskan stok meterai bernominal Rp 3.000 dan Rp 6.000 yang masih ada. Waktu setahun menjadi masa transisi atau peralihan dari meterai yang lama ke yang baru.
(LITBANG KOMPAS)