Beda Pandangan, Desain Kelembagaan Penyelenggara Pemilu Dievaluasi
Hingga kini, sejumlah isu krusial dalam RUU Pemilu akan dievaluasi mendalam, salah satunya desain kelembagaan penyelenggara pemilu. Untuk itu, naskah revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih diharmonisasi.
JAKARTA, KOMPAS — Naskah revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum masih diharmonisasi di Badan Legsilasi DPR. Sejumlah isu krusial akan dievaluasi mendalam, salah satunya desain kelembagaan penyelenggara pemilu.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (22/1/2021), mengatakan, pihaknya masih melakukan harmonisasi atas revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Setelah itu, naskah revisi akan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai inisiatif DPR.
”Kalau sudah diputuskan, nanti (naskah revisi UU Pemilu) dikirim ke presiden. Kalau sudah ada surat presiden dan DIM (daftar inventarisasi masalah) pemerintah, baru akan dibahas bersama,” ujar Willy.
Baca Juga: Badan Legislasi DPR Segera Harmonisasi RUU Pemilu
Sebelumnya, Selasa (19/1), Baleg DPR telah menggelar rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah ahli pemilu terkait revisi UU Pemilu. Ahli yang dimintai pendapat oleh Baleg DPR adalah Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Ramlan Surbakti, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, serta mantan Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini.
Kalau sudah diputuskan, nanti (naskah revisi UU Pemilu) dikirim ke presiden. Kalau sudah ada surat presiden dan DIM (daftar inventarisasi masalah) pemerintah, baru akan dibahas bersama.
Willy menjelaskan, beberapa hal krusial dievaluasi, di antaranya skema penerapan pemilu secara elektronik (e-election). Skema itu tentu diikuti dengan sejumlah komponen besar, yakni rekapitulasi elektronik (e-rekap) dan pemilihan elektronik (e-voting).
Selain itu, kewenangan tiga lembaga penyelenggara pemilu yang ada saat ini, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), juga dievaluasi secara komprehensif. Hal ini guna menghindari adanya rivalitas antarlembaga.
Menurut Willy, ada beberapa lembaga yang memiliki kewenangan dominan. Pertama, peran Bawaslu di dalam draf revisi UU Pemilu, misalnya, cukup dominan, sementara ada upaya untuk membentuk peradilan khusus pemilu.
Ia melihat, selama ini Bawaslu ”ugal-ugalan” dalam membuat keputusan, seperti pembatalan peserta pemilu dan pembatalan kandidat, padahal kandidat tersebut sudah memenangi pemilu.
”Nah, hal-hal seperti itu kami tidak ingin terjadi lagi. Kami berkaca pada pengalaman yang lalu, tidak mungkin pengawas pemilu memiliki peran ajudikasi. Maka, kemudian assessment (penilaian) terhadap keberadaan dari Bawaslu itu sangat penting,” ujarnya.
Kedua, posisi DKPP juga harus kembali ke fungsi semula. Kewenangan lembaga tersebut sebagai peradilan etik akan dievaluasi.
Willy bahkan menyebut, kemungkinan besar Bawaslu dan DKPP akan dijadikan lembaga ad hoc. Sebab, jika mereka dilembagakan secara permanen sampai ke bawah, itu akan keluar biaya yang sangat besar.
”Nah, fungsi kelembagaan ini yang sedang kami assessment betul agar tidak terjebak dalam proses birokratisme,” katanya.
Fungsi kelembagaan ini yang sedang kami assessment betul agar tidak terjebak dalam proses birokratisme.
Berbeda pendapat
Soal pengaturan kelembagaan penyelenggara pemilu, para ahli masih berbeda pendapat tentang cara terbaik untuk mengatur ketiga lembaga pemilu yang ada saat ini.
Namun, para ahli sepakat revisi UU Pemilu perlu untuk fokus pada penataan kelembagaan pemilu sehingga tidak terjadi tumpang tindih ataupun persoalan saling unjuk kewenangan sebagaimana sekarang terjadi dengan kasus pemberhentian anggota dan pimpinan KPU.
Mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pusat yang juga Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso mengatakan, desain kelembagaan penyelenggara pemilu merupakan satu dari tiga persoalan yang harus diatasi. Dua persoalan lainnya ialah tentang keadilan pemilu (electoral justice) dan penanganan pelanggaran administrasi.
Topo mengatakan, dengan desain kelembagaan tiga penyelenggara pemilu saat ini, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP, sejumlah persoalan muncul. Anggota KPU RI ataupun KPU kabupaten/kota saat ini dinilai sering terganggu pekerjaaannya akibat kerap dilaporkan atau digugat dalam pelanggaran administrasi, sengketa pemilu, kode etik, dan perselisihan hasil pemilu.
Kedua, titik berat pelaporan itu ada pada KPU. Sebab, lembaga penyelenggara itu yang paling sering dilaporkan. Anggota KPU, baik pusat maupun daerah, rawan menjadi terlapor dalam pelanggaran administrasi dan pelanggaran kode etik jika memiliki sikap serta pendapat yang berbeda dengan keputusan penyelenggara pemilu lainnya.
Ketiga, ketidakpuasan peserta pemilu kerap dibawa ke DKPP menjadi pelanggaran kode etik. Akibatnya, KPU pusat ataupun daerah terkuras waktu dan pikirannya karena diperiksa dalam dugaan pelanggaran kode etik.
”Dengan adanya desain tiga lembaga penyelenggara pemilu seperti saat ini, kebijakan mereka rentan saling menafikan, mencampuri, dan mengganggu, karena seolah ada unjuk kewenangan di antara mereka. Sementara itu, di seluruh dunia, yang disebut penyelenggara pemilu itu ialah lembaga yang menjalankan pemilu secara teknis sebagaimana kewenangan yang saat ini dimiliki oleh KPU,” papar Topo.
Kasus pemberhentian Ketua KPU Arief Budiman sebelumnya oleh DKPP menjadi puncak dari persoalan desain penyelenggara pemilu. Sebelumnya, Maret 2020, DKPP juga memberhentikan anggota KPU, Evi Novida Ginting. Namun, Agustus 2020, posisi Evi dipulihkan setelah ada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan keputusan presiden yang membatalkan keputusan pemberhentiannya pascaputusan PTUN.
Untuk mengatasi persoalan ini, Topo menilai DKPP perlu diubah menjadi panitia ad hoc. DKPP hanya dibentuk jika ada laporan pelanggaran kode etik. Oleh karena itu, DKPP disarankan tidak lagi menjadi lembaga yang permanen dan menjadi salah satu unsur penyelenggara pemilu. Anggota panitia ad hoc itu ialah tokoh masyarakat, akademisi, dan mantan penyelenggara pemilu. DKPP berperan memproses dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi dugaan pelanggaran kode etik.
”Kalaupun DKPP dipertahankan sebagai lembaga permanen, harus ada penataan ulang,” ujarnya.
Bawaslu dievaluasi
Untuk kewenangan Bawaslu, menurut Topo, seharusnya dievaluasi karena terlalu banyak. Selain sebagai pengawas, Bawaslu juga menjadi ajudikator atau pemutus sengketa administratif pemilu. Bawaslu juga mengawasi pelaksanaan keputusan lembaga-lembaga lainnya, seperti Mahkamah Agung (MA), DKPP, dan PTUN.
Topo mendukung Bawaslu dipertahankan, tetapi kewenangannya dibatasi hanya sebagai pengawas. Adapun sebagai ajudikator, RUU Pemilu sebaiknya mengatur peradilan khusus pemilu di bawah MA.
Jadi, tidak seperti sekarang di mana DKPP menjadi lembaga sendiri dan disebut sebagai penyelenggara pemilu.
Adapun Ramlan Surbakti mengatakan, DKPP sebaiknya menjadi bagian internal dari KPU yang diberi tugas mengawasi kode etik KPU. Oleh karena itu, DKPP bukan menjadi lembaga permanen yang berada di luar penyelenggara. ”Namun, sifatnya tetap mandiri,” kata Ramlan.
Baca Juga: Eksaminasi Pakar Kritik Putusan, DKPP Sebut Hal Itu Ranah Akademik
Ramlan menganalogikan posisi DKPP di internal KPU seperti Majelis Kehormatan Dewan (MKD) di DPR yang mandiri dan kuat. Perannya juga sama-sama mengawasi pelanggaran kode etik anggota. ”Jadi, tidak seperti sekarang di mana DKPP menjadi lembaga sendiri dan disebut sebagai penyelenggara pemilu,” katanya.
Terkait dengan peran pengawasan Bawaslu, menurut Ramlan, sebaiknya dikembalikan kepada masyarakat, pemantau pemilu, dan media. Dengan demikian, tidak perlu ada lembaga khusus seperti Bawaslu.
Bawaslu ke depannya perlu ditransformasi sebagai komisi penegak hukum pemilu yang secara khusus dapat menyidik dan menuntut pelanggaran atau pidana pemilu. Kasus pidana pemilu itu selanjutnya dibawa ke pengadilan negeri (PN) di bawah MA.