Kamaljit dan Ketidaksetaraan Akses Pendidikan di Inggris
Covid-19 memaksa anak-anak belajar dari jarak jauh. Namun, akses sarana dan prasarana pendidikan anak-anak dari keluarga miskin sangat terbatas.
Terhentinya program belajar di sekolah akibat pandemi Covid-19, memaksa anak-anak di Inggris belajar dari jarak jauh. Tambahan kesulitan dirasakan anak-anak dari keluarga menengah dan miskin yang memiliki keterbatasan akses.
Kamaljit Sultana harus berjuang agar dirinya tidak tertinggal pelajaran selama beberapa waktu terakhir. Baginya, belajar dari rumah sekarang ini adalah perjuangan tersendiri karena keterbatasan akses. Sementara, orangtuanya tidak cukup memiliki kemampuan finansial untuk memberikannya.
”Di rumah, saya harus berbagi komputer dengan kakak laki-laki dan perempuan,” kata Kamaljit.
Pada saat pemerintah kota London memberlakukan kebijakan penguncian, Kamaljit benar-benar menghabiskan waktunya di rumah. Namun, tak seperti kebijakan tahun lalu yang ketat, Kamaljit pekan lalu bisa kembali ke sekolah meski kondisi masih sangat membahayakan dan banyak keluarga, terutama dari kelompok etnis kulit hitam, Asia, dan minoritas lainnya yang paling terdampak, menolak melepaskan anak-anak mereka keluar dari rumah.
Sayangnya, Kamaljit tidak memiliki pilihan lain. Situasi di rumah memaksa Kamaljit kembali ke sekolah. ”Tanpa bantuan guru, saya tersesat,” kata Kamaljit.
Dia dan keluarganya tinggal di kawasan Tower Hamlets di London timur. Wilayah itu banyak dihuni keluarga migran dan merupakan kawasan miskin di London.
Berdasarkan riset lembaga Trust for London yang dilakukan tahun 2017, ada 57 persen anak yang tinggal dan besar di lingkungan ini hidup dalam keluarga yang masuk dalam kategori miskin. Angka ini jauh lebih tinggi di atas angka rata-rata London yang ”hanya” mencapai 38 persen.
Baca juga: Pandemi Ungkap Kesenjangan yang Semakin Lebar
Pemerintah Inggris berharap proses belajar-mengajar bisa kembali berjalan normal ketika program vaksinasi sudah melingkupi separuh atau lebih populasi Inggris. Menteri Pendidikan Gavin Williamson mengatakan, pemerintah berencana untuk membuka kembali proses belajar tatap muka jelang Paskah, pada April.
Kondisi itu membuat Kamaljit dan keluarganya harus menunggu setidaknya empat bulan lagi sebelum proses pendidikan jarak jauh (PJJ) benar-benar berakhir. Dengan catatan, vaksinasi berjalan lancar.
Paling menderita
Situasi yang dialami Kamaljit hanyalah sebagian kecil dari situasi anak-anak dari keluarga miskin di Inggris yang tidak memiliki akses untuk memudahkan mereka melakukan PJJ.
Menurut angka resmi, lebih dari 4 juta anak di Inggris atau hampir sepertiga dari populasi anak di Inggris hidup dalam kemiskinan.
James Turner, Kepala Eksekutif Sutton Trust, semacam lembaga amal pendidikan, menyatakan, anak-anak dari keluarga miskin merupakan yang paling menderita di masa pandemi ini. Mereka, katanya, tidak memiliki perangkat apa pun untuk membantu mereka belajar.
”Kalaupun tersedia gawai pintar, terkadang mereka harus berbagi dengan dua atau bahkan tiga saudara kandung,” kata Turner.
Baca juga: Inggris Terisolasi akibat Kemunculan Varian Baru Virus Korona
Data Child Poverty Action Group menyebut, 40 persen keluarga berpenghasilan rendah kehilangan setidaknya satu sumber daya penting untuk proses belajar jarak jauh, seperti laptop, perangkat, atau bahkan koneksi internet.
Kate Anstey dari Child Poverty Action Group mengatakan, banyak orangtua harus bangun pagi dan menuliskan lembar kerja bagi anak-anaknya karena mereka tidak memiliki printer atau mesin cetak. Beberapa orangtua bangun pagi dan menulis lembar kerja dengan tangan karena mereka tidak memiliki printer.
Laurence Guinness, Kepala Eksekutif Childhood Trust, menuturkan, masalah yang dihadapi oleh kelompok keluarga miskin tidak hanya masalah akses terhadap proses PJJ. Bahkan, akses untuk tempat tinggal yang layak pun kelompok masyarakat miskin kesulitan.
Guinness menuturkan, pendamping dari lembaganya pernah memiliki pengalaman mendampingi sebuah keluarga dengan enam orang tinggal di satu ruangan. ”Keluarga itu tidak memiliki meja, tidak ada kursi. Jika mereka ingin duduk, mereka harus duduk di tempat tidur atau lantai,” tuturnya.
Dalam kondisi terpaksa, mereka tidak jarang menggunakan toilet duduk sebagai meja.
Temuan di lapangan, banyak anak dan keluarga yang tinggal di rumah yang tidak memiliki pemanas, alat yang sangat bermanfaat ketika musim dingin. Akibatnya, mereka tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Untuk membuat tubuh hangat, mereka harus bergerak.
Baca juga: Sebagian Warga Eropa Bakal Lalui Natal dalam Pembatasan Gerak yang Ketat
Cerita dari keluarga yang lain, tutur Guinness, mereka memutuskan hanya memiliki satu bola lampu di rumah. Alasannya adalah takut tidak bisa membayar tagihan.
”Untuk anak-anak seperti itu, penutupan sekolah menghalangi mereka dari pelarian dari kenyataan pahit dalam hidup mereka,” kata Guinness.
Tidak setara
Pandemi telah menyoroti dan mempertegas ketidaksetaraan yang dalam. Pemerintahan Inggris, yang kini dipimpin Partai Konservatif, dipaksa untuk menyediakan makanan sekolah gratis setelah kampanye oleh pesepak bola Manchester United, Marcus Rashford.
Unicef, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak, bahkan memberikan hibah untuk mendistribusikan makanan kepada anak-anak di London, pertama kalinya badan ini melakukan kegiatan seperti ini di Inggris.
Untuk membantu proses PJJ berlangsung lebih baik, bulan lalu Pemerintah Inggris berjanji untuk mendistribusikan 1 juta laptop kepada keluarga miskin. Bahkan, pemerintah berjanji menambah 300.000 laptop lagi. Namun, telah terjadi penundaan dalam pengiriman perangkat.
Baca juga: Inggris Dahului AS-Uni Eropa, Mulai Gelar Vaksinasi Covid-19 Pekan Depan
Badan-badan amal Inggris mengkhawatirkan dampak jangka panjang penutupan sekolah. Tentu saja dampak terhadap anak-anak yang mungkin lebih rentan terhadap aktivitas geng, kejahatan, dan secara pendidikan sudah tertinggal dari teman-teman seusianya.
Menurut Turner, kebijakan penguncian terakhir telah membalikkan kemajuan yang dicapai selama sepuluh tahun terakhir untuk mempersempit kesenjangan akses pendidikan.
”Kesenjangan akan terus melebar. Hilangnya pembelajaran selama beberapa bulan berdampak pada kehidupan anak-anak ini selamanya,” kata Turner.
Dia memuji program nasional untuk mengatasi ketertinggalan satu-satu atau dalam kelompok kecil dan mengatakan itu harus dilanjutkan.
Namun, Guinness pesimistis. Guinness khawatir hal itu akan terlambat bagi puluhan ribu anak yang mungkin harus melepaskan diri dari pendidikan dan tidak mampu untuk mengatasi ketertinggalan. (AFP)