Kendala Gizi Remaja Selama Pandemi Berdampak Jangka Panjang
›
Kendala Gizi Remaja Selama...
Iklan
Kendala Gizi Remaja Selama Pandemi Berdampak Jangka Panjang
Dampak pandemi bagi remaja, khususnya remaja putri, bisa menurunkan kualitas kesehatannya. Secara jangka panjang, hal itu berdampak serius pada generasi mendatang. Ini disoroti dalam Hari Gizi Nasional ke-61.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beban gizi remaja putri Indonesia semakin berat di masa pandemi Covid-19. Sebagian besar dari mereka kurang bergerak serta kurang makan sayur dan buah. Suplemen tambah darah pun tidak lagi dikonsumsi secara rutin. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius karena dapat berdampak panjang, terutama ketika kelak mereka berkeluarga, hamil, dan melahirkan.
Survei daring yang dilakukan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) bersama dengan Kementerian Kesehatan selama masa pandemi menunjukkan, sebanyak 89 persen remaja putri tidak lagi mengonsumsi suplementasi tambah darah atau tablet tambah darah yang menjadi program rutin sekolah.
Sementara itu, sekitar 50 persen dari remaja juga mengurangi konsumsi makanannya selama masa pandemi, terutama konsumsi makanan yang mengandung protein hewani. Sekitar 50 persen remaja juga mengaku tidak melakukan aktivitas fisik. Mereka juga mengatakan hanya sedikit atau bahkan tidak pernah mengonsumsi sayur ataupun buah.
”Kondisi ini menggambarkan bahwa pandemi sebenarnya berdampak sangat merugikan pada perilaku remaja, terutama terkait asupan makanan dan kegiatan fisik,” ujar Kepala Unit Gizi Unicef Indonesia Jee Hyun Rah dalam konferensi pers terkait peringatan Hari Gizi Nasional 2021 yang diikuti secara virtual di Jakarta, Jumat (22/1/2021).
Hari Gizi Nasional (HGN) diperingati setiap 25 Januari. Pada HGN ke-61 kali ini, tema yang diangkat adalah ”Remaja Sehat, Bebas Anemia: Gizi Seimbang, Remaja Sehat, Indonesia Kuat”. Tema tersebut diharapkan bisa menjadi pengingat bagi masyarakat untuk lebih sadar tentang pentingnya kebutuhan gizi pada remaja.
Jee menuturkan, berbagai intervensi yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan gizi remaja juga terhenti akibat pandemi. Meski begitu, kondisi ini seharusnya dapat semakin menunjukkan komitmen seluruh komponen masyarakat, terutama pemerintah, untuk menjadikan gizi remaja sebagai bagian penting dari agenda pembangunan nasional.
Menstruasi yang terjadi setiap bulan juga semakin rentan menyebabkan anemia apabila tidak diimbangi dengan asupan yang adekuat.
”Koordinasi dari berbagai sektor juga perlu diperkuat. Tidak kalah penting adalah dalam upaya pemantauan. Sistem pemantauan, termasuk pencatatan, pelaporan, dan supervisi, pada program harus dipastikan tetap berjalan,” tuturnya.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Endang L Achadi menyampaikan, asupan gizi yang kurang pada remaja dapat berisiko tinggi menyebabkan anemia. Ini terutama jika remaja kurang mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi, asam folat, vitamin B12, dan vitamin A. Menstruasi yang terjadi setiap bulan juga semakin rentan menyebabkan anemia apabila tidak diimbangi dengan asupan yang adekuat. Karena itu, konsumsi tablet tambah darah setidaknya seminggu sekali menjadi penting.
Remaja putri dikatakan mengalami anemia apabila jumlah hemoglobin (Hb) di sel darah merah kurang dari 12 gram per desiliter (g/dL). Biasanya, gejala yang dialami adalah mudah lemas, letih, dan lesu, serta sering pusing dan napas cenderung pendek. Gejala ini terjadi karena kekurangan pasokan oksigen dalam darah.
”Di Indonesia, sebagian besar anemia terjadi akibat kekurangan zat besi. Ini karena masyarakat kurang mengonsumsi pangan hewani, seperti daging, ikan, dan unggas. Akibatnya, zat besi yang dibutuhkan untuk membetuk hemoglobin menjadi sangat minim,” ucap Endang.
Menurut dia, kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius. Pasalnya, anemia yang berkepanjangan pada remaja putri bisa menimbulkan konsekuensi kesehatan yang serius di masa depan.
Remaja putri yang mengalami anemia dua kali lipat berisiko mengalami anemia ketika hamil. Padahal, anemia pada ibu hamil dapat menyebabkan terjadinya pendarahan ketika melahirkan. Risiko kematian pada ibu dan bayi pun akan meningkat.
Selain itu, ibu hamil yang mengalami anemia juga berisiko menyebabkan bayi lahir prematur. Bayi yang dilahirkan juga rentan memiliki berat badan lahir rendah serta panjang badan lahir rendah. Hal itu kemudian bisa meningkatkan risiko berbagai penyakit pada bayi, bahkan meningkatkan risiko kematian.
Bayi yang lahir dari ibu anemia juga berisiko mengalami stunting (tengkes). Itu kemudian akan mengakibatkan anak tersebut memiliki kecerdasan yang menurun serta mengalami berbagai penyakit tidak menular, seperti hipertensi, diabetes, jantung, dan stroke.
”Dampaknya tidak hanya kepada anak, ibu dengan anemia bisa memberikan dampak kesehatan sampai tiga generasi, yakni sampai ke cucunya. Itulah mengapa intervensi harus dilakukan sejak dini, mulai dari remaja,” tutur Endang.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi anemia pada usia 15-24 tahun 32 persen. Sementara prevalensi anemia pada ibu hamil usia 15-24 tahun mencapai 84,6 persen. Padahal, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka anemia sebesar 10 persen dari populasi sudah tergolong tinggi.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kartini Rustandi menyampaikan, pemerintah saat ini berupaya memastikan pelayanan kesehatan bagi ibu hamil tetap berjalan dengan baik. Meskipun sejumlah posyandu serta puskesmas tidak melayani tatap muka karena pandemi, layanan masih bisa diberikan secara daring.
”Konsultasi di puskesmas juga sudah berjalan lebih baik dari awal pandemi. Tentu itu dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Pemeriksaan selama masa kehamilan juga tetap berjalan agar kondisi ibu hamil tetap terpantau,” tuturnya.