Puisi itu tepat menggambarkan situasi dan rakyat AS yang terpecah belah selama empat tahun, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
"We did not feel prepared to be the heirs. Of such a terrifying hour. But within it we’ve found the power. To author a new chapter. To offer hope and laughter to ourselves"
Begitu bunyi sebait penggalan puisi bertajuk ”The Hill We Climb” karya Amanda Gorman (22), pemenang Penyair Muda Nasional Amerika Serikat tahun 2017. Ia membacakan sendiri puisinya selama enam menit di depan para tamu pada acara pelantikan pasangan Presiden AS Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris, Rabu (20/1/2021).
Gorman tampil anggun dan percaya diri ketika membacakan puisi yang sarat harapan, persatuan, dan kebersamaan itu. Puisi itu tepat menggambarkan situasi dan rakyat AS yang terpecah belah selama empat tahun di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Insiden penyerbuan Gedung Capitol di Washington DC, 6 Januari lalu, oleh para pendukung Trump pun ia singgung dalam puisinya. Kata-kata yang terkandung di dalam puisinya tak hanya mengena bagi rakyat AS, tetapi juga dunia.
Saya ingin menyuarakan persatuan, kolaborasi, dan kebersamaan. Ini babak baru di Amerika Serikat. Puisi ini tentang masa depan
”Saya ingin menyuarakan persatuan, kolaborasi, dan kebersamaan. Ini babak baru di Amerika Serikat. Puisi ini tentang masa depan,” cerita Gorman yang baru lulus dari Sosiologi, Universitas Harvard, tahun lalu, itu dalam program Newshour, BBC World Service’s.
Gorman menjadi penyair termuda, sampai sejauh ini, yang berkesempatan membacakan karyanya di inaugurasi presiden AS sejak John F Kennedy mengundang Robert Frost pada 20 Januari 1961. Sebelum Gorman, penyair Maya Angelou dan Elizabeth Alexander juga pernah mendapat kehormatan yang sama.
Beberapa penyanyi yang mengisi acara inaugurasi juga melantunkan lagu bermuatan keberagaman dan ajakan bersatu. Lady Gaga menyanyikan lagu kebangsaan AS "The Star-Spangled Banner", Jennifer Lopez menyanyikan "This Land is Your Land", dan Garth Brook dengan lagu "Amazing Grace".
Gaga dengan suaranya yang kuat dan tinggi membuat para pendengarnya sampai merinding. "Saya ingin kita menerima masa lalu kita, menyembuhkan diri kita saat ini, dan bersemangat bekerja sama dengan penuh kasih untuk masa depan," tulis Gaga di twitternya.
Suara Lopez membuat tenggorokan berasa tercekat dan sedih jika mengingat apa yang terjadi di negara demokrasi terbesar itu belakangan ini. Lopez menyelipkan cuplikan dari Ikrar Kesetiaan AS dalam bahasa Spanyol.
”Satu bangsa, di bawah Tuhan, tak terpisahkan, dengan kebebasan dan keadilan untuk semua!” teriaknya lantang.
Pesan para pengisi acara senada dengan pidato inaugurasi Biden yang menyuarakan persatuan. Seperti halnya George Washington ketika dilantik pada 30 April 1789. Sejak itu, persatuan menjadi tema bagi presiden-presiden baru yang akan memimpin bangsa di tengah krisis ekonomi dan sosial dan saat sedang galau khawatir akan masa depan AS.
Kalangan sejarawan AS mengingatkan pidato pertama Thomas Jefferson dan Abraham Lincoln pun senada dengan Biden yang berjanji akan memulihkan jiwa bangsa.
”Persatuan selalu menjadi inspirasi. Ketika sedang ada masalah dengan luar negeri, kita memakai kata ’kebebasan’, tetapi ketika sedang ada masalah domestik, kita memakai ’persatuan’,” kata ahli sejarah presiden, Douglas Brinkley.
Pesan-pesan kebersamaan menjadi terasa mendalam apalagi saat melihat halaman Gedung Capitol hanya terisi sedikit tamu undangan. Selain karena pembatasan fisik terkait Covid-19, juga karena alasan keamanan.
Biasanya ribuan orang tumpah di National Mall, depan Capitol. Saat pelantikan Barack Obama pada 2009, sedikitnya 450.000 orang hadir di sana. Sebagai pengganti manusia, Mall dipenuhi bendera kecil dan masyarakat diimbau menonton inaugurasi di rumah saja. Bendera-bendera kecil itu sekaligus untuk mengenang 400.000 warga AS yang tewas karena Covid-19.
Jalanan di sekitar Mall kosong. Area di sekitar Gedung Putih pun terasa seperti suasana perang karena puluhan tentara berjaga, barikade baja hitam mengelilingi, dan kendaraan militer menutup jalan.
”Meski kosong, sesungguhnya Mall penuh dengan harapan Amerika dan seluruh rakyatnya,” kata anggota DPR dari Demokrat, John Garamendi.
Seperti disuarakan Gorman melalui puisinya, "We’ve seen a force that would shatter our nation rather than share it, Would destroy our country if it meant delaying democracy. And this effort very nearly succeeded. But while democracy can be periodically delayed, It can never be permanently defeated." (REUTERS/AFP/AP/LUK)