Proses dan peristiwa politik di Amerika Serikat belakangan ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk menemukan jalan demokrasinya sendiri.
Oleh
ARYA BUDI
·6 menit baca
Joe Biden telah resmi menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-46 pada 20 Januari 2021. Namun, peristiwa penyerbuan Capitol Hill oleh simpatisan Donald Trump yang terjadi sebelum pelantikan Biden menyisakan catatan refleksi untuk kita. Kata tanya paling penting yang perlu kita ajukan atas kerusuhan massa simpatisan Trump di Capitol Hill adalah ”mengapa”.
Ada tiga konteks yang menjadi urgensi pertanyaan ini. Mengapa terjadi: 1) di sebuah negara dengan usia demokrasi ratusan tahun; 2) di negara yang menjadi mercusuar bagi banyak negara demokrasi baru mereplikasi cara kerja demokrasi bahkan sistem pemerintahannya; dan 3) di negara di mana pemungutan suara dalam pemilihan umum yang damai baru saja selesai dilaksanakan dan sudah menjadi tradisi.
Baik karena insting maupun informasi atas peristiwa tersebut, banyak orang secara menemukan jalan pintas pada jawaban tunggal: Donald Trump. Sebagai sebuah perseteruan politik yang berlangsung cepat, Donald Trump dan terutama kata-kata agitatifnya di dalam platform media sosial adalah benar sebagai jawaban instan atas peristiwa tersebut.
Tapi, jika kita susun dengan hati-hati puzzle dari lanskap politik Amerika Serikat, maka ada dua perspektif penting yang sangat berguna untuk menjelaskan pertanyaan tersebut, yaitu partai dan partisanship.
Di dalam perspektif institutionalist, karakteristik termasuk juga patogen dari lembaga politik menjadi penentu bekerjanya demokrasi di sebuah negara. Dalam hal ini, partai politik di Amerika Serikat adalah jawaban dari sumber malapetaka di Washington DC pada Rabu, 7 Januari 2021.
Merujuk pada istilah yang digunakan oleh Katz dan Kolodny (1994), partai politik di Amerika Serikat selayak kapal kosong (empty vessel). Hal ini kembali merujuk pertanyaan pada 2016, kenapa orang seperti Donald Trump bisa menjadi presiden di Amerika Serikat.
Sistem konvensi dan mekanisme seleksi kandidat (candidate selection) oleh dua partai besar di Amerika Serikat, Demokrat dan Republik, memungkinkan bagi siapa pun dengan pendanaan besar dan popularitas masuk di dalam bursa pemilihan presiden. Dengan kata lain, Donald Trump adalah produk dari karakteristik dan cara kerja partai. Dan Partai Republik membiarkan orang seperti Donald Trump masuk ke dalam bursa pencalonan hingga pada akhirnya membangkitkan sentimen rasial menjadi demikian eksplisit dan terpilih.
Tidak heran jika pada pendudukan Capitol banyak beredar foto bendera merah bergaris silang diagonal dengan bintang milik Ku Klux Klan, kelompok supremasi kulit putih, yang pada perang sipil pada abad ke-19 melakukan pembantaian dan pembunuhan warga kulit hitam terutama sejak penghapusan perbudakan oleh Abraham Lincoln.
Adagium kapal kosong bagi dua partai besar di Amerika Serikat juga menjadi argumen penting dalam buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, buku yang sempat heboh di Indonesia tahun lalu karena dianggap pesan politik yang disampaikan Gubernur Jakarta.
Dengan argumen kapal kosong inilah, orang seperti Donald Trump bisa jadi akan kembali muncul sebagai presiden di Amerika Serikat, atau bahkan orang yang sama akan bisa kembali maju dalam bursa capres 2024 jika Partai Republik tak mengubah mekanisme seleksi kandidat. Dan ekses politiknya seperti yang terjadi di Capitol mungkin saja bukan yang terakhir.
Pertanyaannya, apakah jika partai politik memperbaiki diri dan menghasilkan presiden berkualitas, ”pelanggaran demokrasi” baik dalam bentuk pendudukan gedung dewan maupun ekses destruktif lainnya akan berakhir di Amerika Serikat? Perspektif behaviorist mempunyai jawaban antisipatif: partisanship.
Dalam perspektif ini, politik Amerika tidak bisa dilepaskan dari partisanship (kualitas keberpihakan). Studi-studi sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua hingga sekarang konsisten menemukan partisanship yang tinggi dan sangat berpengaruh pada opini pubik dan perilaku politik warga. Hal tersebut menandai tingkat kedekatan seseorang terhadap partai politik dan ideologinya, Partai Demokrat yang liberal atau Partai Republik yang cenderung konservartif.
Partisanship atau partisan identification atau sering disingkat Party ID bahkan telah menjadi ”agama” bagi mayoritas warga Amerika Serikat. Istilah yang dipromosikan oleh para akademisi politik di University of Michigan pada era 1950-an dan 1960-an dan terus dikonfirmasi oleh temuan studi-studi selanjutnya hingga sekarang.
Tingginya partisanship warga Amerika Serikat terekam bahkan hingga 80-90 persen di banyak survei menjelang pemilihan umum November 2020. Orang biasa menafsirkan, jika ada 10 orang Amerika, maka delapan atau sembilan orang di antaranya mempunyai kedekatan dengan salah satu partai.
Sebagai perbandingan, hasil survei dan studi di Indonesia menunjukkan hanya ada 10-20 persen (bahkan beberapa survei terkahir di bawah 10 persen) orang yang merasa dekat dengan partai. Selayaknya kelembagaan partai, warga Amerika Serikat juga bagaikan kapal kosong karena rendahnya political sophistication dan bahkan political knowledge.
Pengetahuan politik mengukur sejauh mana warga memahami struktur pemerintahan, cara kerjanya, dan juga kebijakan publik. Studi yang diawali oleh Philips C Converse era 1960 hingga publikasi ilmiah terakhir perihal pengetahuan politik warga Amerika Serikat menunjukkan rendahnya pengetahuan politik publik.
Di era 1960-an, Converse (1964) merekam hanya ada 17 persen warga yang masuk kategori well informed citizens (warga negara yang memiliki pengetahuan memadai). Lalu beberapa dekade selanjutnya, Christopher H Achen dan Larry M Bartels dalam Democracy for Realists: Why Elections Do Not Produce Responsive Government (2016) bahkan berani menyatakan bahwa tesis Converse tersebut bisa didukung secara ilmiah lebih dari setengah abad kemudian.
Singkat kata, perilaku politik warga Amerika Serikat tidak banyak digiring oleh informasi dan pengetahuan politik, tapi oleh partisanship. Bagaikan kapal kosong, partisanship sangat mudah dikendalikan oleh elite partai yang sialnya saat ini Partai Republik dikendalikan oleh Donald Trump. Partisanship menjadi ”kacamata” untuk menilai dan menafsirkan kebijakan publik dan keputusan politik.
Keputusan politik atau kebijakan publik yang sama akan dinilai dan diterima secara berbeda, termasuk hasil pemilu. Layaknya penceramah di Indonesia yang didengarkan dan diikuti para jamaahnya, elite messaging dan cues baik dalam bentuk verbal maupun tulisan bagaikan panduan moral bagi banyak partisan di Amerika Serikat.
Karena rendahnya sopistikasi politik (pengetahuan dan ketertarikan politik) warga, partisanship yang arahnya ditentukan oleh elit partai berpengaruh seperti Donald Trump di Partai Republik, sudah lama menjadi mekanisme information shortcut untuk menentukan sikap dan tindakan banyak warga Amerika Serikat. Apalagi jika elite tersebut memegang kendali eksekutif tertinggi dan mempunyai otoritas penting atas banyak perangkat dan properti koersif negara.
Berdasarkan argumen kapal kosong baik bagi institusi partai dan maupun perilaku politik warga, maka partai dan elite di Amerika Serikat menjadi penting untuk ”menormalisasi” situasi politik pasca-pelantikan Joe Biden. Lebih penting lagi, proses dan peristiwa politik di Amerika Serikat belakangan ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk menemukan jalan demokrasinya sendiri.
(Arya Budi, Mahasiswa Doktoral Department of Political Science, University of Illinois; Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM)