Hasil riset terbaru menunjukkan perubahan iklim bisa berakibat serius pada operasi penerbangan. Ini karena bandara-bandara di pesisir bisa tergenang akibat kenaikan muka air laut. Bandara Juanda masuk dalam daftar.
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
Kenaikan permukaan laut yang dipicu oleh peningkatan suhu global, akan menempatkan 100 bandar udara di bawah permukaan laut rata-rata pada tahun 2100. Ini didapatkan dari hasil studi ilmuwan dari Universitas Newcastle dengan memodelkan risiko gangguan pada rute penerbangan sebagai akibat dari peningkatan risiko banjir dari kenaikan permukaan laut.
Dalam daftar, Bandar Udara Internasional Juanda di Sidoarjo di Jawa Timur, masuk dalam bandara yang berisiko pada tahun 2100 untuk skenario kenaikan permukaan laut itu.
Pada temuan yang diterbitkan dalam jurnal Climate Risk Management, Richard Dawson dan Aaron Yesudian dari Fakultas Teknik Universitas Newcastle menganalisis lokasi lebih dari 14.000 bandara di seluruh dunia dan keterpaparannya terhadap kenaikan permukaan laut dan badai (storm surges) saat ini dan di masa mendatang. Para peneliti juga mempelajari konektivitas dan lalu lintas pesawat di bandara sebelum Covid-19, dan tingkat perlindungan banjir mereka saat ini.
Kenaikan permukaan laut menimbulkan risiko serius bagi pergerakan penumpang dan barang global, dengan biaya kerusakan dan gangguan yang cukup besar. (Richard Dawson)
Tim peneliti menemukan bahwa 269 bandara berisiko terkena banjir pesisir pada saat ini. Kenaikan suhu 2 derajat celcius - terkait Kesepakatan Paris - akan menyebabkan 100 bandara berada di bawah permukaan laut rata-rata dan 364 bandara berisiko banjir. Jika kenaikan suhu rata-rata global melebihi ini, sebanyak 572 bandara akan berisiko pada tahun 2100, yang menyebabkan gangguan besar tanpa adaptasi yang sesuai.
Tim peneliti mengembangkan peringkat bandara global yang berisiko akibat kenaikan permukaan laut, yang mempertimbangkan kemungkinan banjir dari permukaan laut yang ekstrim, tingkat perlindungan banjir, dan dampak gangguan penerbangan. Bandara berisiko di Eropa, Amerika Utara, dan Oseania, dengan bandara di Asia Timur dan Tenggara serta Pasifik mendominasi daftar 20 teratas untuk bandara berisiko tertinggi.
Bandara Suvarnabhumi di Bangkok (BKK) dan Shanghai Pudong (PVG) menduduki puncak daftar serta London City Airport di Inggris dengan risiko tertinggi.
”Bandara pesisir ini sangat penting bagi jaringan maskapai penerbangan global, dan pada tahun 2100 antara 10 dan 20 persen dari semua rute akan menghadapi risiko gangguan. Oleh karena itu, kenaikan permukaan laut menimbulkan risiko serius bagi pergerakan penumpang dan barang global, dengan biaya kerusakan dan gangguan yang cukup besar,” katanya dalam laman Universitas Newcastle, Inggris, 21 Januari 2021.
”Selain itu, beberapa bandara, misalnya di pulau-pulau dataran rendah, memainkan peran penting dalam menyediakan jalur kehidupan ekonomi, sosial dan medis,” imbuhnya.
Pilihan adaptasi untuk bandara pesisir termasuk peningkatan perlindungan banjir, peningkatan lahan dan relokasi. Namun, biaya adaptasi di beberapa lokasi terkait laju kenaikan permukaan laut, sumber daya ekonomi yang terbatas, atau ketersediaan ruang relokasi alternatif akan membuat beberapa bandara tidak dapat beroperasi.
Dalam jurnal Climate Risk Management yang bisa diakses daring, disebutkan bandara yang dianalisa itu berada di Zona Pesisir Ketinggian Rendah (LECZ). Definisi LECZ adalah daerah di sepanjang pantai yang kurang dari 10 m di atas permukaan laut. Ini sering digunakan sebagai geografi yang tepat untuk menginformasikan studi kerentanan pantai.
Sejumlah bandara dekat pantai tetapi di luar LECZ, yaitu Mombasa International, berada di ketinggian 61 meter. Ada pula bandara di ketinggian rendah, seperti Bandara Bar Yehuda di Israel, yang juga dikecualikan.
Dari kumpulan data lengkap, 1.238 bandara diidentifikasi di LECZ. AS memiliki paling banyak bandara (199) dan rute (3436) di LECZ, sementara China memiliki rute paling berisiko kedua (2.333) dari 30 bandara. Namun, Australia (72), Indonesia (43), Polinesia Perancis (39), Bahama (34), dan negara lain memiliki lebih banyak bandara yang berisiko dibandingkan China meskipun mereka mengoperasikan lebih sedikit penerbangan.