Masuknya RUU Masyarakat Hukum Adat dalam Prolegnas Prioritas 2021 kembali membawa angin segar bagi perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Ini agar tak hanya memberi harapan kosong bagi mereka.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masuknya kembali Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 agar tak menjadi harapan kosong bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat secara utuh. Ini membutuhkan keberpihakan politik agar tak terjadi lagi pengabaian akan keberadaan mereka yang sejak awal mendiami Tanah Air.
Deputi Urusan Politik dan Hukum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi menyampaikan, kelompok masyarakat adat telah berulang kali mengajukan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat sejak 2013. Namun, RUU ini tidak kunjung dibahas dan disahkan karena tidak adanya komitmen politik untuk melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.
”Pengesahan RUU Masyarakat Adat ini akan menjadi dasar dari peraturan perundang-undangan sektoral untuk mengakui hak-hak masyarakat adat,” ujarnya di Jakarta, Jumat (22/1/2021).
Pada laman DPR, 15 Januari 2021, dalam rapat kerja DPR bersama pemerintah dan DPD yang membahas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, hanya Fraksi Golkar yang menolak RUU Masyarakat Hukum Adat.
DPR dan pemerintah harus memastikan substansi dalam RUU Masyarakat Adat sesuai dengan aspirasi masyarakat adat.
Erasmus mengatakan, DPR dan pemerintah sudah memiliki dokumen RUU Masyarakat Adat dari pembahasan-pembahasan sebelumnya. Namun, isi dari RUU tersebut masih belum sesuai dengan usulan masyarakat. Dokumen RUU yang belum sempurna tersebut dinilainya malah berpotensi memberikan dampak negatif bagi masyarakat adat.
Salah satu ketentuan itu terkait dengan proses pengakuan hak-hak masyarakat adat yang masih sulit dan rumit. Agar setiap proses pengakuan dan segala hal yang menyangkut masyarakat adat lebih terarah, Erasmus menyarankan perlunya lembaga khusus, seperti Komisi Nasional Masyarakat Adat.
Adanya lembaga khusus ini penting mengingat proses pengakuan hak-hak masyarakat adat tersebut masih harus melalui Menteri Dalam Negeri dan adanya aturan yang tumpang tindih. Padahal, realisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat saat ini di tingkat daerah melalui bupati/wali kota juga masih banyak mengalami kendala dan berbelit.
Konflik
Selain itu, kata Erasmus, isu lain yang perlu ditegaskan kembali dalam RUU Masyarakat Adat ialah terkait dengan resolusi penyelesaian konflik antara masyarakat adat dan korporasi atau pihak lainnya. Sebab, sampai saat ini masih banyak terjadi kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak-haknya.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, terdapat 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat yang terjadi sepanjang tahun 2020. Sebagian besar kasus tersebut merupakan kasus yang telah dimulai pada tahun-tahun sebelumnya dan terus berlanjut karena tidak kunjung mendapatkan penyelesaian dari negara.
Selain itu, dari 40 kasus tersebut, sebanyak 39.069 orang masyarakat adat atau 18.372 keluarga juga telah mengalami kerugian ekonomi, sosial, ataupun moral. Kerugian tersebut merupakan dampak dari tindakan intimidatif, kekerasan, dan kriminalisasi. Adapun luas total wilayah adat tempat berlangsungnya 40 kasus tersebut mencapai 31.632,67 hektar.
Koordinator Eksekutif Perkumpulan Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) Indonesia Agung Wibowo menyatakan, DPR dan pemerintah harus memastikan substansi dalam RUU Masyarakat Adat sesuai dengan aspirasi masyarakat adat. Hal ini perlu ditegaskan karena materi muatan dalam RUU Masyarakat Adat cenderung masih bersifat ego sektoral. Seharusnya, masalah inilah yang justru perlu diselesaikan oleh RUU tersebut.
Agung menambahkan, DPR dan pemerintah harus membuat substansi yang berkaitan dengan pemulihan hak-hak masyarakat adat karena saat ini masih ada pengakuan bersyarat melalui peraturan daerah. Hak kolektif perempuan adat juga perlu diatur dalam bab sendiri dalam RUU Masyarakat Adat mengingat masifnya diskriminalisasi terhadap perempuan adat.