Tata Kelola Penanganan Pandemi
Moral ekonomi baru membutuhkan perubahan struktur hubungan industrialnya. Ini bisa terjadi melalui skema pajak, kontrak sektoral, akses pengembangan modal, proses produks,i dan sebagainya.
Meskipun beberapa vaksin telah ditemukan dan mulai digunakan, dunia masih jauh dari kepastian untuk mengatasi berbagai perubahan sosial ekonomi dengan setiap negara akan mengambil bentuk yang berbeda. Laporan Bank Dunia ”Global Economic Prospect” (Januari 2021) memprediksi bahwa setelah kontraksi 2020 sebesar 4,3 persen, ekonomi dunia dapat tumbuh sekitar 5,3 persen.
Namun, Bank Dunia mengingatkan bahwa angka itu bisa lebih buruk bergantung pada kontrol pandemi di belahan dunia yang berbeda, respons negara-negara dalam mengatasi krisis ekonomi, dan kekompakan internasional dalam mengatasi krisis.
Dengan kontraksi yang sudah terjadi dan penanganan masalah pandemi yang belum selesai, dapat diprediksi sedang akan terjadi perubahan penting dalam kegiatan ekonomi. Banyak dikemukakan oleh para analis tentang beberapa perubahan pokok ke depan, yaitu perubahan fokus investasi pada beberapa sektor, seperti agroindustri untuk mengatasi terdisrupsinya rantai pasok pangan, pengembangan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence), sektor kesehatan, dan perdagangan digital.
Namun, persoalan besar ekonomi yang sering diangkat baru permukaannya saja. Analisis persoalan berada pada perspektif ”pertumbuhan ekonomi” agar dapat terjadi penyerapan tenaga kerja dan rantai produksi berputar kembali. Persoalan ekonomi pascapandemi karena pandemi bukan hanya menjaga rantai pasok dan investasi (industri dan UMKM). Pemikiran tentang penyelamatan ekonomi juga hanya bukan penguasaan digital oleh pelaku ekonomi meskipun pandemi mempercepat peran digitalisasi ke berbagai sektor.
Beberapa persoalan mendasar ingin diangkat pada tulisan ini. Meskipun mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa pemerintah di mana pun masih pada tahap upaya survival, sebagian dari persoalan yang diangkat di sini juga dalam rangka survival ekonomi. Dunia sedang berubah mencari jalan baru, seperti ungkapan Shakespeare, ”all things are ready, if our mind be so”.
Persoalan pertama adalah perubahan perekonomian global. Beberapa analis di the Economist, Project Syndicate, atau World Economic Forum memperlihatkan disrupsi dari rantai nilai. Sebagai gambaran dari jaringan produksi global selama ini, misalnya, Apple dikonstruksikan dari produksi komponen di 43 negara.
Disrupsi rantai nilai juga tergambar pada 938 dari 1.000 perusahaan Fortune terdampak pada tingkat atau tier 1 dan 2-nya. Secara global, perusahaan besar merespons dengan dua acara, yaitu robotisasi dan rekonstruksi rantai nilai yang secara geografis paling aman. Poinnya adalah kita perlu mengetahui di mana letak Indonesia dalam situasi disrupsi ini. Apakah Indonesia siap merekonstruksi rantai nilai produksinya untuk barang-barang esensial, lalu apakah Indonesia siap menjadi rantai nilai baru di mata negara lain yang berharga dari sektor tertentu?
Kedua, persoalan ketimpangan. Virus Covid-19 mampu menginfeksi semua lapisan. Namun, sebagian kelompok ekonomi memiliki kemampuan melindungi diri dibandingkan dengan yang lain. Sebagian besar pencari nafkah bekerja dalam kondisi lebih terekspos karena tidak bisa bekerja dari rumah atau karena keterbatasan fasilitas/kondisi tempat kerja. Sektor UMKM terdiri atas lebih dari 60 juta usaha (sekitar 99) persen) perekonomian Indonesia.
Memberikan mereka modal atau memberdayakan kemampuan digital hanya sebagian dari penyelesaian. Faktor digital justru menjadi aspek penting terjadinya ketimpangan yang tajam. Keberhasilan produk bergantung pada forum penilaian digital. Konsumen cenderung akan memilih platform atau barang/jasa yang mempunyai rekam positif di arena digital.
Ke mana puluhan ribu lainnya akan mendapat pasar? Penguasaan pasar juga ditentukan oleh kepiawaian digital, termasuk mengonstruksikan maha data (big data). Seperti kita ketahui, perusahaan lokal dan internasional berbasis digital mengalami pelonjakan kapitalisasi yang luar biasa.
Ketiga, pendidikan keterampilan macam apa yang dibutuhkan karena perubahan struktur ekonomi di atas? Jika di waktu lalu persoalan ketimpangan dibahas dari perspektif sektor informal dan sektor formal”, ketimpangan saat ini dan ke depan tidak sama.
Pasar tenaga kerja akan dipenuhi berjuta pekerja yang bergantung pada yang penulis sebut sebagai ”kontrak keterlibatan” pada platform atau perusahaan tertentu. Pekerjaan mereka sangat tidak pasti. Tingkat penyerapan kerja di sektor industri pasti semakin mengecil, kecuali negara berhasil memperluas basis industri yang tidak mengandalkan robotik.
Dalam situasi ke depan, model keterampilan apa yang diperlukan untuk dikembangkan dunia pendidikan? Jadi, situasi saat ini lebih buruk daripada sebelum pandemi: bukan lagi mempersoalkan keterampilan yang sesuai yang dibutuhkan industri, bahkan negara dan dunia bisnis harus berpikir tentang basis industri apa yang perlu diperkuat.
Kita semata juga tidak bisa membangun UMKM tanpa gambaran tentang karakter persoalan spesifik masing-masing jenis, mana yang dianggap lebih strategis karena linkage-nya. Seperti juga ada bahaya membantu korporasi zombie, pada UMKM juga ada keragaman bagaimana mereka harus di dukung.
Bentuk dan Peran Negara
Akademisi, lembaga pembangunan internasional, dan kalangan pemerintahan telah menyadari bahwa mengatasi pandemi membutuhkan kerja sama berbagai pihak. Namun, imbauan ini belum membentuk kerangka baru (plural) tentang bentuk kerja sama yang dibutuhkan. Satu hal yang pasti adalah kecenderungan di banyak negara atas membesarkan peran dan wewenang negara.
Kecenderungan ini karena kebutuhan negara memimpin penanganan pandemi dan bantuan ekonomi. Pertanyaannya, apakah membesarnya peran negara ini dalam jangka panjang membawa perbaikan institusi publik?
Daron Acemoglu, ahli ekonomi politik, membuat empat kategori empat model negara yang muncul akibat pandemi (Project Syndicate, 5 Juni 2020). Bentuk pertama adalah negara ”business as usual” dengan kemampuan lemah untuk melakukan koreksi kelembagaan untuk melewati tantangan pandemi.
Negara model ini hanya mampu sebisanya mengatasi masalah kesehatan dan pandemi, lebih sebagai bantuan sosial ”kedermawanan”. Ada bahaya lebih besar bahwa terjadi pengeluaran anggaran dan pembuatan hutan yang tidak dengan perhitungan yang baik. Akibatnya, negara akan terkena beban utang yang menggerogoti daya tahan negara tersebut.
Model yang kedua adalah negara menjadi lebih menjadi pengontrol. Awalnya dengan justifikasi mengontrol pandemi. Mungkin meniru China. Akan tetapi, negara-negara ini berbeda dengan Cina yang sering dikatakan ”brutal tetapi efektif menghasilkan kesejahteraan (delivered)”.
China membangun model politik ekonominya selama puluhan tahun dengan model bangunan partai yang spesifik hingga terjadi transformasi kelembagaan dengan cepat. Negara-negara lain tidak mungkin meniru kemampuan delivery seperti China. Hingga ada risiko yang berkembang adalah negara pengontrol yang dikuasai beberapa kelompok kepentingan sempit.
Model ketiga adalah penguasaan perusahaan digital untuk memantau, mengidentifikasi, serta menyediakan kebutuhan kesehatan dan ekonomi masyarakat. Negara tidak mampu melakukan kontrol agar perusahaan semacam ini tidak memanipulasi kebutuhan masyarakat atau membatasi persaingan ekonomi. Beberapa perusahaan digital di dunia menjadi superraksasa setelah pandemi, mengendalikan mereka butuh kerangka baru untuk menempatkan mereka dalam skema pembangunan ekonomi negara.
Model keempat adalah yang paling ideal, yaitu negara memimpin penanganan pandemi dan ekonomi sambal memberi ruang terjadinya perubahan kelembagaan. Perubahan itu mengarah pada munculnya berbagai kompetensi baru dari organisasi publik sambil membangun akuntabilitasnya.
Pandemi menimbulkan tekanan pada institusi publik yang ada. Pandemi membuat muncul pemfokusan alokasi baru, pengelompokan masyarakat dengan kebutuhan mendesak, mobilisasi sumber daya yang berbeda untuk penanganan penyakit secara cepat, dan banyak hal lain.
Sebagai contoh adalah kemampuan pemerintah daerah dalam menggunakan dana kesehatan. Laporan Kompas (8 Januari) tentang penyerapan anggaran menyebutkan, hingga 30 November 2020, realisasi belanja kesehatan baru 55,6 persen dari pagu, jaring pengaman sosial 65 persen pagu, dan realisasi anggaran dukungan ekonomi hanya 18,7 persen.
Keseluruhan realisasi anggaran baru 48,8 persen atau Rp 35,37 triliun. Katadata mencatat, dana yang mengendap di daerah di pada November 2020 sebesar 218 triliun (Katadata, 21 Desember 2020). Persoalan yang menonjol adalah kebingungan pada mendefinisikan situasi baru, tumpang tindih peraturan, dan dibutuhkannya model pengorganisasian baru pada birokrasi daerah.
Poin pentingnya di sini adalah pandemi membutuhkan bentuk-bentuk akuntabilitas baru (Meuthia Ganie-Rochman, Kompas, 8 Agustus 2020). Di satu sisi kepemimpinan pemerintah pusat dibutuhkan, tetapi di tingkat pelaksana kelenturan baru dibutuhkan. Pemerintah pusat berperan sangat penting dalam mencari kerangka baru hubungan negara-korporasi untuk bersama-sama menghasilkan kegiatan ekonomi yang lebih inklusif.
Moral ekonomi baru membutuhkan perubahan struktur hubungan industrialnya. Ini bisa terjadi melalui skema pajak, kontrak sektoral, akses pengembangan modal, proses produksi, dan sebagainya. Pemerintah pusat perlu juga menetapkan ”jalan ketiga” yang menghilangkan hambatan tumpang tindih keruwetan birokrasi daerah. Daerah perlu mendapat ruang aman untuk bertindak lebih lentur. Akuntabilitas sebagian dari arahan pemerintah pusat, sebagian dari skema kontrol masyarakat. Bagaimana konstruksi kombinasinya bergantung pada kesiapan daerah.
(Meuthia Ganie-Rochman, Sosiolog Organisasi, Pengajar Universitas Indonesia)