Keserakahan orang untuk menghancurkan alam, menambang secara membabi buta, jelas akan menghancurkan ekologi dan akan menjadi bencana masa depan.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
”Kalimantan dengan kekayaannya memang menjadi incaran banyak orang. Jangan sampai kekayaan dikeruk demi keuntungan sekelompok orang, tetapi berdampak buruk bagi masyarakat setempat.” — Menko PMK Muhadjir Effendy (”Kompas”, 22 Januari 2021).
Foto utama harian Kompas, 19 Januari 2021, punya pesan kuat. Kamera fotografer Antara memotret rombongan Presiden Joko Widodo menembus genangan air di Desa Pekauman Ulu, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Banjir besar melanda Kalimantan Selatan.
Presiden Jokowi mengatakan, banjir besar di Kalimantan Selatan tak pernah terjadi dalam 50 tahun terakhir. Menurut catatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, banjir besar pernah terjadi tahun 1928. Hampir 100 tahun, kini terjadi kembali.
Momen serupa dalam konteks berbeda pernah juga terekam kamera. Dalam Kompas edisi 23 September 2015 terpampang foto Presiden Jokowi meninjau pemadaman kebakaran hutan di Gunung Damar, Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kala itu, Presiden Jokowi didampingi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar melihat pemadaman hutan.
Perbedaan kedua foto itu ekstrem. Di Januari 2021, banjir melanda bumi Kalimantan. Adapun foto di September 2015, menggambarkan kebakaran hutan dan produksi asap yang membuat sesak masyarakat. Asap dan banjir.
Bencana—apakah banjir atau kebakaran hutan—selalu in between. Pernah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi lagi. Problem yang dihadapi adalah bencana selalu menarik diwacanakan, ramai dipolemikkan, dan di akhir kesimpulan menunggu kajian, sampai bencana terjadi lagi. Seorang intelektual membisikkan kepada saya: miskin dalam gagasan, tetapi kaya dalam kepentingan. Paradoks Indonesia.
Ada yang menyebut penyebab banjir di Kalimantan Selatan adalah akibat melemahnya daya dukung lingkungan karena deforestasi. Namun, analisis itu dibantah pejabat berwenang. Dikutip Bisnis.com: Menteri LHK: Banjir Kalsel bukan karena penebangan hutan tetapi anomali cuaca dan curah hujan yang tinggi.
Saat berkunjung ke Banjarbaru, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, jangan sampai bumi Kalimantan yang kaya sumber daya alam dan keanekaragaman hayati dikeruk habis tanpa memperhatikan lingkungan.
”Kalimantan dengan kekayaannya jadi incaran banyak orang. Jangan sampai kekayaan dikeruk demi keuntungan sekelompok orang, tetapi berdampak buruk bagi masyarakat setempat,” kata Muhadjir di Kompas, 22 Januari 2021.
Catatan Walhi Kalimantan Selatan, bumi Kalimantan Selatan seluas 3,7 juta hektar sudah darurat ruang dan darurat bencana ekologis karena dibebani perizinan tambang (37 persen) dan kelapa sawit (17 persen).
Pro kontra terjadi. Ada yang menyebut penyebab banjir adalah curah hujan tinggi akibat perubahan iklim. Sikap defensif dan penyangkalan mengenai deforestasi yang terjadi di bumi Kalimantan tidak menolong keadaan. Benar observasi Muhadjir, ”Jika daya tahan lingkungan sudah baik, meskipun ada musibah, tidak akan separah saat ini.”
Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, sejak 1 Januari 2021 hingga 21 Januari 2021 terjadi 185 bencana. Bencana hidrometeorologis mendominasi bencana hingga minggu keempat Januari 2021. Awal Januari, bangsa ini dikepung bencana.
Bencana banjir di Kalimantan seharusnya menjadi alarm bagaimana pembangunan harus dijalankan, terlebih setelah pemerintah dan DPR mengesahkan UU Cipta Kerja yang ramah terhadap investasi. Langkah menarik investasi sah saja sepanjang kelestarian lingkungan tetap harus jadi pertimbangan utama.
Menarik apa yang dikatakan Paus Fransiskus dalam Ensiklik 24 Mei 2015 berjudul Laudato Si.
Paus Fransiskus mengatakan, ramalan mengenai malapetaka tak boleh dianggap sebagai cibiran atau ironi. Kita mungkin akan meninggalkan banyak puing, padang gurun, dan sampah untuk generasi mendatang. Tingkat konsumsi limbah dan kerusakan lingkungan telah melampaui kapasitas planet sedemikian rupa sehingga gaya hidup kita yang tidak berkelanjutan hanya dapat menyebabkan bencana yang sebenarnya sudah terjadi di berbagai belahan dunia.
Merawat ekosistem, mengandalkan pandangan yang jauh ke depan. Sebab, jika kita hanya mencari keuntungan secara cepat dan mudah, tidak akan ada yang peduli dengan pelestarian alam. Tetapi, biaya kerusakan yang disebabkan kelalaian ekologis jauh lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang diterima. Kita menjadi saksi bisu atas ketidakadilan yang mengerikan bagi generasi mendatang.
Pandangan jauh ke depan, bukan sekadar masa jabatan politik seorang presiden, seorang gubernur, atau seorang bupati. Paham kedaulatan rakyat (demokrasi) saatnya diimbangi dengan paham kedaulatan lingkungan (eco cracy). Istilah yang dipopulerkan Kepala BNPB, saat itu Pangdam Siliwangi, Doni Monardo saat diskusi program penyelamatan Sungai Citarum Bandung.
Kehancuran lingkungan akibat kerakusan manusia telah menjadi keprihatinan dunia. Mahatma Gandhi pernah berucap, dunia ini cukup untuk semua orang, tetapi tidak akan cukup untuk satu orang yang serakah.
Keserakahan orang untuk menghancurkan alam, menambang secara membabi buta, jelas akan menghancurkan ekologi dan akan menjadi bencana masa depan. Kerakusan orang membuat perut bumi diaduk-aduk, hulu sungai dibabat. Bumi menjadi lautan sampah plastik.
Saatnya, kerakusan dan eksploitasi alam secara berlebihan dihentikan.