Seiring semakin intensifnya kekerasan di Afghanistan, Amerika Serikat mulai mengkaji ulang kesepakatannya dengan Taliban.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
WASHINGTON DC, SABTU — Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan mengkaji ulang kesepakatan negaranya dengan kelompok Taliban, Afghanistan, Sabtu (23/1/2021). Fokus utama kajian pada apakah Taliban telah mengurangi serangannya di Afghanistan sesuai isi perjanjian itu.
Washington mengikat kesepakatan penting dengan Taliban di Doha, Qatar, pada 29 Februari 2020 untuk mulai menarik mundur pasukannya dari Afghanistan. Sebagai imbalan, ada jaminan keamanan dari Taliban dan berkomitmen untuk mengawali pembicaraan dalam dengan Pemerintah Afghanistan.
Namun, insiden kekerasan di seluruh wilayah Afghanistan telah meningkat. Padahal, di saat yang sama Taliban dan Pemerintah Afghanistan sedang terlibat dalam negosiasi damai sejak September 2020.
Pada Jumat lalu, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Emily Horne, menginformasikan bahwa penasihat keamanan nasional AS yang baru ditunjuk oleh Presiden Biden, Jake Sullivan, telah berbicara dengan penasihat keamanan nasional Afghanistan, Hamdullah Mohib, untuk ”memperjelas niat AS untuk mengkaji” kesepakatan mereka.
Secara khusus, Washington ingin melihat komitmen Taliban ”untuk memutus hubungan dengan kelompok teroris untuk mengurangi kekerasan di Afghanistan dan untuk terlibat dalam negosiasi yang berarti dengan Pemerintah Afghanistan serta pemangku kepentingan lainnya”.
Menurut Emily, Sullivan juga menggarisbawahi bahwa AS akan mendukung proses perdamaian dengan langkah diplomatik yang kuat di kawasan. Tujuannya adalah untuk membantu kedua belah pihak mencapai penyelesaian politik jangka panjang dan gencatan senjata permanen.
Sullivan juga membahas dukungan AS pada kemajuan perlindungan terhadap perempuan dan kelompok minoritas sebagai bagian dari proses perdamaian.
Saat dihubungi, Taliban menyatakan, mereka tetap ”berkomitmen pada kesepakatan dan menghormati komitmennya sendiri”. ”Kami berharap mereka juga tetap berkomitmen pada kesepakatan,” kata juru bicara Taliban, Mohammad Naeem, di Doha.
Berdasarkan kesepakatan antara Washington dan Taliban yang dicapai Februari 2020, pasukan AS bakal ditarik mundur dari Afghanistan pada Mei 2021 sebagai imbalan atas jaminan keamanan Taliban. Minggu lalu, jumlah pasukan AS di Afghanistan berkurang menjadi 2.500 personel, terendah sejak 2001.
Namun, tingkat kekerasan di Afghanistan justru meningkat sehingga memicu dunia internasional menyerukan percepatan gencatan senjata antara Afghanistan dan Taliban. Perwakilan kedua pihak bertemu awal bulan ini dalam putaran kedua pembicaraan damai membahas gencatan senjata dan pembagian kekuasaan.
Langkah Washington tersebut disambut lega oleh para pejabat di Kabul setelah berbulan-bulan mereka berspekulasi soal bagaimana pemerintahan AS yang baru akan mengalibrasi ulang kebijakannya soal Afghanistan.
Hamdullah menulis di Twitter untuk menyeru kedua pihak agar ”sepakat untuk mencapai gencatan senjata permanen dan adil serta perdamaian jangka panjang” di Afghanistan.
Sementara pejabat tinggi Afghanistan lainnya mengecam Taliban yang dinilai telah gagal memenuhi kesepakatan dengan AS pada Februari 2020. ”Sejauh ini kesepakatan yang dicapai tidak memberikan target yang diinginkan, yaitu mengakhiri kekerasan Taliban dan mewujudkan gencatan senjata yang diinginkan Afghanistan,” kata Sediq Sediqqi, Wakil Menteri Dalam Negeri dan mantan juru bicara Presiden Ashraf Ghani di Twitter. ”Taliban tidak memenuhi komitmennya.”
Serangan mematikan dan pembunuhan tokoh terkemuka telah meningkat dalam beberapa bulan, terutama di Kabul, di mana sejumlah wartawan, aktivis, hakim, dan politisi telah terbunuh dalam serangan terang-terangan di siang hari.
Afghanistan dan para pejabat AS menuduh Taliban bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, tetapi Taliban menyangkalnya.
Dalam sidang konfirmasinya di Senat AS, Selasa (19/1/2021), calon Menteri Luar Negeri AS yang baru, Antony Blinken, menyampaikan, ”Kami ingin mengakhiri apa yang disebut perang selamanya.” (AFP/REUTERS)