Habis-habisan Menyelamatkan Keluarga Setelah Positif Virus Korona
›
Habis-habisan Menyelamatkan...
Iklan
Habis-habisan Menyelamatkan Keluarga Setelah Positif Virus Korona
Kabar positif Covid-19 keluarganya membuat Ibnu kalang kabut. Setelah berupaya keras, neneknya tak terselamatkan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bagi sebagian orang, laju penambahan kasus positif Covid-19 masih dianggap sebagai angka-angka semata. Bahkan, jumlah kematian yang terus bertambah pun belum membangunkan kesadaran mereka. Barangkali, mereka baru menyadari bahaya virus korona baru atau SARS- CoV-2 penyebab Covid-19 setelah menyasar orang-orang terdekatnya.
Pada saat itulah, banyak keluarga dilanda kepanikan mencari ruang perawatan. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dalam analisis data Covid-19 Indonesia per 17 Januari menyebutkan, tingkat kematian sebesar 2,86 persen atau di atas rata-rata dunia 2,14 persen.
Pasien positif berusia 60 tahun ke atas paling berisiko dengan tingkat kematian mencapai 11,95 persen. Disusul pasien berusia 46-59 tahun dengan risiko kematian 4,07 persen.
Ibnu (22), warga Bekasi Timur, Jawa Barat, tak menyangka tiga dari tujuh anggota keluarganya bakal terpapar Covid-19 pada awal Januari 2021. Tak sampai sepekan neneknya berpulang karena telat ke rumah sakit dan harus mengantre untuk mendapatkan ruang perawatan.
”Tadinya gue merasa Covid-19 begini saja sampai orang terdekat (nenek) meninggal. Terpapar Covid-19 itu ibarat main rolet Rusia. Tingkat kematiannya 3 persen, tapi siapa yang bisa jamin kalau terpapar tidak bakalan masuk ke 3 persen itu,” ujar Ibnu, Sabtu (23/1/2020).
Neneknya meninggal pada 9 Januari dengan diagnosis akhir komplikasi, henti jantung, dan positif Covid-19. Awalnya nenek mengeluhkan sakit perut dan kurang sehat. Tekanan darahnya 150/90 meskipun sudah mengonsumsi obat-obatan.
Ibnu menuturkan, dokter menduga nenek terpapar virus karena sulit bernapas sehingga memberikan surat pengantar untuk tes usap. Sayangnya nenek enggan ikut tes usap dan memilih di rumah saja.
Di rumah kondisi nenek memburuk. Semakin sulit bernapas dan tidak mampu berbicara karena tersengal-sengal. Obat dari resep dokter pun sudah tidak efektif.
Namun, keluarga masih berkeras tidak mau membawa ke rumah sakit karena narasi banyak rumah sakit meng-Covid-kan pasien. Ketika kondisi semakin memburuk, barulah bersedia dibawa ke rumah sakit.
”Kami ke RS Siloam ditolak karena IGD penuh. Di RSUD dr Chasbullah Abdulmadjid pasien berjejer di luar IGD mengantre. Sempat pesimis sebelum dapat ruangan RS Primaya,” katanya.
Di tempat itu neneknya langsung ditangani tim medis. Hasilnya, ia dalam kondisi pneumonia berat, kardiomegali atau pembesaran jantung, kista dan batu ginjal. Tim medis segera memasang ventilator untuk perawatan di IGD karena ICU penuh.
Kondisi neneknya sempat membaik meskipun belum sampai kondisi ideal. Tim medis menyarankan Actemra atau obat radang sendi untuk meredakan sakit dengan harga Rp 13 juta.
Ibnu mengatakan, hasil tes laboratorium menunjukkan nenek tidak cocok dengan obat radang sendi itu. Demikian pula tidak memungkinkan donor plasma konvalesen karena pasien dalam kondisi tidak ideal.
Akhirnya tim medis menyarankan suntik imunoglobulin dengan biaya pengobatannya mencapai Rp 300 juta. ”Kami sudah sepakat jual rumah untuk perawatan, tetapi nenek meninggal. Situasi yang berat. Sudah tanya sana-sini, tapi rumah sakit penuh dan antrean masih banyak,” ujarnya.
Penuhnya layanan rumah sakit saat ini akibat kegagalan mengendalikan penularan sehingga kasus membesar. Tanpa pembenahan tes, lacak, dan isolasi orang yang tertular, maka rumah sakit terus kebanjiran pasien.
”Mesin birokrasi Kementerian Kesehatan yang mandek diharapkan bergerak cepat, dipandu strategi nasional yang jelas dan menjangkau hingga kecamatan, berdasar pemantauan dan evaluasi real time,” kata Yurdhina Meilissa dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives, saat menyampaikan memo kebijakan kepada Menteri Kesehatan dalam diskusi daring, Jumat (22/1) di Jakarta.
Memo kebijakan yang disusun bersama LaporCovid19 dan PUSKAPA ini menyoroti darurat kesehatan akibat kolapsnya layanan kesehatan. Menurut kajian tiga lembaga ini, fasilitas kesehatan, terutama di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, saat ini kolaps karena tidak mampu menampung pasien.