Jakarta Dipenuhi Anak Muda, Kesempatan Adaptasi untuk Sukses Atasi Pandemi
›
Jakarta Dipenuhi Anak Muda,...
Iklan
Jakarta Dipenuhi Anak Muda, Kesempatan Adaptasi untuk Sukses Atasi Pandemi
Jakarta sebagai kota dan tempat tinggal memiliki peran penting memastikan generasi muda bisa melalui masa kritis dan membuka kesempatan mereka beradaptasi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Mayoritas penduduk di Ibu Kota berdasarkan sensus penduduk tahun 2020 adalah generasi muda. Pada masa pandemi ini keberadaan mereka bisa menjadi potensi untuk mengeluarkan Jakarta dari krisis atau malah menjadi bom waktu jika tidak dikelola dengan baik.
Data tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Pusat Statistik DKI Jakarta Buyung Airlangga, hari Jumat (22/1/2021). Sensus penduduk dilaksanakan secara daring pada periode Februari-Mei 2020 dan petugas BPS Jakarta melakukan kunjungan lapangan pada bulan September 2020. Total ada 10,56 juta penduduk yang terdata.
”Milenial atau penduduk yang lahir pada kurun 1981-1996 memiliki jumlah terbanyak, yaitu 26,78 persen,” papar Buyung.
Generasi langgas ini disusul oleh generasi Z (kelahiran 1997-2012) sebanyak 25,65 persen; generasi X (angkatan kelahiran 1965-1980) sebesar 23,64 persen; dan generasi pasca-Z yang lahir tahun 2013 ke atas atau yang oleh beberapa tulisan akademik dijuluki generasi alpha 11 persen.
”Dari jenis kelamin, laki-laki di Jakarta lebih banyak daripada perempuan, yaitu 50,51 persen. Apabila dihitung secara rasio, ini berarti untuk setiap 100 perempuan ada 102 laki-laki,” ujar Buyung.
Tahun 2021 masa kritis untuk menentukan apakah Milenial Jakarta, bahkan di Tanah Air bisa beradaptasi atau tidak dengan dampak pukulan pandemi. (Muhammad Faisal)
Pendiri Youth Lab, sebuah lembaga kajian aspirasi generasi muda, Muhammad Faisal, menjelaskan, generasi muda menghadapi dua disrupsi. Pertama oleh teknologi melalui revolusi industri 4.0 dan yang kedua adalah oleh pandemi. Setiap generasi ditentukan oleh peristiwa penting yang berdampak pada pembentukan watak dan perilaku anak-anak dan remaja yang tumbuh di masa itu.
Ia menerangkan, di Indonesia peristiwa signifikan dalam beberapa dekade terakhir adalah Reformasi 1998 dan kini pandemi Covid-19. ”Remaja adalah titik penting dalam pertumbuhan manusia karena di masa ini nilai-nilai yang ia tangkap dari sekitarnya mengkristal dan membentuk jati diri. Nilai-nilai ini akan menentukan pada pilihan hidupnya di masa depan,” ucapnya.
Momen-momen penting, seperti masuk sekolah, orientasi siswa atau mahasiswa baru, serta berkumpul langsung bersama sejawat tidak bisa dilakukan selama pandemi. Remaja menjadi terisolasi secara fisik walaupun mereka masih terhubung secara daring. Akan muncul kehausan terhadap pertemuan fisik bagi generasi ini.
Faisal menganalisis tren pandemi adalah membuat masyarakat kembali ke hal-hal mendasar, terutama yang humanis. Anak-anak dan remaja sekarang kemungkinan memiliki kecenderungan memilih menjadi tenaga kesehatan atau pakar lingkungan hidup ketika mereka tumbuh dewasa. Dugaan ini berbasis pengalaman pribadi remaja melihat orang-orang di sekitar mereka terkena Covid-19 atau berjuang menghadapi penyebaran virus korona jenis baru.
”Apabila remaja membentuk persepsi humanis, angkatan milenial dan gen Z awal justru menghadapi tantangan lebih berat di masa pandemi,” ujarnya.
Ia memaparkan, milenial dan gen Z dewasa muda tumbuh dalam lingkungan yang memberi mereka berbagai pilihan. Moto hidup kedua angkatan ini adalah motivasi menjadi diri sendiri dan mengerjakan sesuatu sesuai bakat dan minat masing-masing. Angkatan ini memiliki privilese yang tidak dibayangkan oleh generasi orangtua mereka, yaitu kebebasan menentukan cita-cita dan memilih pekerjaan atau karier sesuai kemauan sendiri.
Permasalahannya, berbagai pekerjaan yang menjadi diminati generasi langgas ini banyak yang gulung tikar di masa pandemi. Hal ini ditambah dengan revolusi industri 4.0 yang membuktikan bahwa otomasi sangat dibutuhkan semasa pandemi karena menjamin terciptanya jaga jarak fisik. Rektor Universitas Trilogi Jakarta Mudradjat Kuncoro mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis, mengambil keputusan, bernegosiasi, dan lekas beradaptasi pada perubahan menjadi sangat penting untuk dimiliki (Kompas.id, 18 Januari 2021).
”Tahun 2021 ini masa kritis untuk menentukan apakah milenial Jakarta, bahkan di Tanah Air, bisa beradaptasi atau tidak dengan dampak pukulan pandemi. Bisakah milenial memiliki mental tangguh yang tidak hanya bertumpu pada ideologi menjadi diri sendiri? Akan banyak sekali kebutuhan untuk berkompromi dengan situasi,” kata Faisal.
Peran kota
Jakarta sebagai kota dan tempat tinggal memiliki peran penting memastikan generasi muda bisa melalui masa kritis dan membuka kesempatan mereka beradaptasi. Harus ada jaminan ruang kolaborasi inklusif bagi generasi muda lintas suku bangsa, agama, pendidikan, dan latar belakang sosial-ekonomi.
Pada dasarnya anak muda Indonesia memiliki semangat bergotong royong yang mendarah daging. Salah satu contohnya ialah demam kopi yang lahir dari kerja sama anak muda barista, pemilik modal kafe, dan petani kopi. Keberadaan media sosial di Tanah Air tidak menjadikan orang individualis, sebaliknya membuat kian banyak komunitas bermunculan.
”Pemerintah bisa menyediakan ruang dialog dan kebutuhan aspirasi lainnya, seperti pinjaman modal lunak,” kata Faisal.
Dialog lintas generasi, terutama dengan generasi X maupun angkatan yang lebih tua, penting dilakukan. Mereka bisa mengajarkan etos kerja keras dan kiat untuk bisa berkarya maksimal meskipun di bidang kerja yang tidak sesuai dengan minat dan bakat. Kemampuan ini memberi kekuatan mental milenial ketika dihadapkan pada kenyataan pahit harus berkompromi dengan situasi pandemi.
Berkaca pada Italia yang mempunyai fenomena anak-anak muda pindah dari perkotaan ke perdesaan untuk menjadi petani dengan pendekatan baru, menurut Faisal, untuk generasi muda Ibu Kota juga perlu dipikirkan kesempatan serupa. Tidak persis sama dengan Italia, tetapi membuka kesempatan menciptakan atau mengembangkan hal-hal baru dengan dukungan pemerintah.