Kegagalan Tes, Lacak, dan Isolasi Picu Kolapsnya Rumah Sakit
›
Kegagalan Tes, Lacak, dan...
Iklan
Kegagalan Tes, Lacak, dan Isolasi Picu Kolapsnya Rumah Sakit
Strategi pemeriksaa, pelacakan, dan penanganan serta isolasi kasus Covid-19 mesti dibenahi. Hal itu bertujuan untuk segera dapat memutus rantai penularan penyakit tersebut.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Kolapsnya layanan rumah sakit saat ini disebabkan kegagalan mengendalikan penularan sehingga kasus Covid-19 di Indonesia membesar. Itu disebabkan kegagalan melakukan tes, lacak, dan mengisolasi orang yang tertular. Tanpa pembenahan di sektor hulu, rumah sakit terus kebanjiran pasien.
"Mesin birokrasi Kementerian Kesehatan yang mandek diharapkan bergerak cepat, dipandu strategi nasional yang jelas dan menjangkau hingga level kecamatan, berdasarkan pemantauan dan evaluasi real-time, " ujar Yurdhina Meilissa dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyampaikan memo kebijakan kepada Menteri Kesehatan Indonesia, dalam diskusi daring, Jumat (22/1/2021), di Jakarta.
Memo kebijakan yang disusun bersama LaporCovid19 dan PUSKAPA ini menyoroti darurat kesehatan akibat kolapsnya layanan kesehatan. Menurut kajian tiga lembaga ini, fasilitas kesehatan, terutama di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, saat ini kolaps karena tidak mampu menampung pasien.
Mesin birokrasi Kementerian Kesehatan diharapkan bergerak cepat, dipandu strategi nasional yang jelas dan menjangkau hingga level kecamatan, berdasarkan pemantauan dan evaluasi real-time.
Situasi ini ditandai dengan antrean di unit gawat darurat (UGD) karena unit perawatan intensif (ICU) dan ruang isolasi Covid-19 penuh. Laporan warga yang diterima LaporCovid19 menunjukkan ada pasien meninggal di perjalanan, di rumah, dan puskesmas, karena kesulitan mencari rumah sakit.
Dalam memo ini, mereka mengusulkan adanya penambahan segera layanan dan kapasitas rumah sakit. Namun, yang juga sangat penting adalah mengendalikan penularan. Selain pembatasan sosial lebih ketat, diusulkan pembenahan starategi dalam tes, lacak, dan isolasi.
Beberapa indikator lain semakin tak terkendalinya penularan Covid-19 di antaranya, memasuki Januari 2021, secara nasional, tingkat penularan Covid-19 di Indonesia memburuk. Hal itu ditandai dengan insiden mingguan tertinggi sejak Maret 2020, yaitu 23,7 per 100.000 penduduk, lebih tinggi dari minggu sebelumnya yang hanya 19,6 per 100.000 penduduk.
Angka rata-rata kasus aktif Covid-19 harian mencapai 11.701 per hari pada periode 14 sampai 20 Januari 2021.
Sebanyak 64.3 persen atau 604.274 kasus secara kumulatif per 20 Januari 2021 berada di pulau Jawa, di mana keenam provinsi di Jawa melaporkan insiden mingguan tertinggi sejak kasus pertama dilaporkan. Jakarta berada pada level tertinggi, diikuti Yogyakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.
Pandemi juga meluas di luar Jawa, di mana Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua Barat dan Bali berada di urutan atas, setelah DKI Jakarta, yang melaporkan angka kasus terbanyak per satu juta penduduk.
Irma Hidayana dari LaporCovid19 mengatakan, salah satu kegagalan utama pengendalian pandemi ini karena tes, lacak, dan isolasi pasien Covid-19 tidak berjalan dengan baik. Situasi ini diperparah dengan manajemen data yang tidak baik.
"Misalnya, data jumlah tes dan lacak tidak ada di tiap daerah, sehingga kita tidak tahu sesungguhnya berapa tingkat penularannya," katanya.
Tidak berjalannya tes, lacak, dan isolasi ini menyebabkan test positivity proportion atau rasio tes positif melonjak tajam dan mencapai puncaknya pada 17 Januari 2021 sebesar 32,83 persen. Hal ini mengindikasikan penyebaran wabah tidak terkendali dan terdeteksi.
Sementara itu, rasio lacak isolasi secara nasional per 20 Januari 2021 hanya berada pada angka 1,42. Padahal idealnya, dari 1 kasus dilakukan pelacakan terhadap 30 kontak yang berisiko.
Dari aspek jumlah tes, angka deteksi kasus minimum 1 per 1.000 populasi per minggu hanya dicapai 17 provinsi hingga Desember 2020. Namun, tidak satu pun provinsi itu memiliki positive rate 5 persen seperti yang disyaratkan WHO sebagai tanda bahwa surveilans yang komprehensif dilakukan.
Hal ini juga menunjukkan, untuk DKI Jakarta yang memiliki angka tes 8 kali lebih tinggi dari standar WHO, jumlah dan cakupan tes jauh dari memadai. Peningkatan angka tes di DKI Jakarta, menurut analisis mereka, dipicu oleh voluntary testing untuk memenuhi syarat perjalanan, bukan karena perbaikan penemuan dan pelacakan kasus.
Menurut Laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, penambahan kasus harian terus melaju, yaitu 13.632 orang pada Jumat (22/1), sehigga total menjadi 965.283. Sementara itu, korban jiwa bertambah 250 orang dan total telah mencapai 27.453 orang.
Salah strategi
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam diskusi daring oleh Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat pada Kamis (21/11) mengakui selama ini ada masalah dalam tes, lacak, dan isolasi.
"Testing, tracing, dan treatment ( 3T) serta isolasi bagaikan menambal ban bocor. Tapi kita kan tidak disiplin. Cara testing-nya kita salah," ujar Budi dalam diskusi daring yang diadakan Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat.
Menurut Budi, tes Covid-19 seharusnya menyasar pada orang-orang suspek, tetapi selama ini tes justru dilakukan terhadap orang yang ingin memeriksakan diri untuk perjalanan atau keperluan lainnya. Dia mencontohkan dirinya yang harus menjalani pengambilan swab setiap kali hendak bertemu Presiden Joko Widodo.
" Testing-nya banyak tapi kok naik terus? Habis (yang) di-tes orang kayak saya, tiap kali mau ke Presiden di tes, tadi malam, barusan saya di-swab. Sepekan saya bisa lima kali diswab kalau masuk istana. Apakah benar (testing) seperti itu?" katanya.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, seminggu terakhir, dilakukan tes terhadap 292.519 orang. Itu melampaui standar WHO untuk Indonesia yakni tes terhadap 267.000 orang per minggu.
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCPPEN) Airlangga Hartarto dalam temu media pada Kamis juga mengatakan, jumlah tes yang dilakukan di Indonesia sudah memenuhi standar WHO.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University Dicky Budiman mengatakan, acuan WHO mengenai jumlah tes 1 per 1.000 populasi per minggu itu merupakan ambang minimal dengan catatan test positivity rate (TPR) maksimal 5 persen.
"Kalau TPR kita 25 - 30 persen tesnya harus berlipat dari ambang minimal. Selain jumlahnya, yang sangat penting adalah cakupannya," katanya.
Menurut Dicky, tes harus dilakukan sebanyak mungkin untuk menemukan suspek sehingga dia tidak menularkan ke orang lain. Karena itu, kombinasi tes dan lacak menjadi sangat penting.