Masyarakat Dilibatkan dalam Kegiatan Ekonomi untuk Tekan Kesenjangan
›
Masyarakat Dilibatkan dalam...
Iklan
Masyarakat Dilibatkan dalam Kegiatan Ekonomi untuk Tekan Kesenjangan
Masyarakat dilibatkan dalam kegiatan ekonomi, termasuk ekonomi syariah, untuk mempersempit kesenjangan di masa pandemi Covid-19.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prinsip-prinsip dalam ekonomi syariah dapat mengatasi kesenjangan yang kian lebar akibat pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, masyarakat diajak semakin terlibat dalam ekosistem ekonomi dan keuangan syariah.
Menurut Wakil Presiden Ma’ruf Amin, pandemi Covid-19 meningkatkan kemiskinan dan melebarkan kesenjangan. ”Tak ada jalan lain selain melibatkan sebanyak-banyaknya masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Saya menggarisbawahi pentingnya memanfaatkan peluang ekonomi dan keuangan syariah,” katanya dalam Musyarawah Masyarakat Ekonomi Syariah, Sabtu (23/1/2021).
Dia memaparkan, ekonomi syariah bersifat inklusif karena berprinsip dapat melibatkan seluruh masyarakat. Ekonomi syariah juga mewadahi kelompok yang sumber dayanya berlebih dan memberikan akses kepada yang belum berkecukupan.
Ekonomi syariah bersifat inklusif karena berprinsip dapat melibatkan seluruh masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin per Maret 2020 sebanyak 26,42 juta orang. Jumlah ini bertambah 1,28 juta orang dari Maret 2019. Persentase penduduk miskin naik 0,37 persen menjadi 9,78 persen. Adapun ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur dengan rasio gini sebesar 0,381.
Wapres menyebutkan, Indonesia memiliki sistem ekonomi ganda, yakni yang bersifat konvensional dan syariah. Keduanya tidak boleh dibenturkan, tetapi mesti disinergikan agar dapat sejalan demi menunjang kesejahteraan masyarakat, terutama di tengah pandemi Covid-19.
Terkait keterlibatan masyarakat, Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah sekaligus Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyoroti porsi aset keuangan syariah dibandingkan dengan aset sektor keuangan di Indonesia, yakni 9,9 persen. Sementara, indeks literasi dan inklusi keuangan syariah masing-masing 8,93 persen dan 9,1 persen.
Padahal, Wimboh mengharapkan porsi aset keuangan syariah dapat mencapai 20 persen terhadap total aset keuangan di Indonesia. ”Salah satunya karena produk keuangan syariah cenderung ’datang belakangan’ setelah produk syariah. Semestinya keduanya hadir berbarengan sehingga masyarakat memiliki pilihan syariah,” tuturnya.
Produk keuangan syariah tersebut juga berkaitan dengan kehadiran ragam layanan teknologi finansial terkait. Menurut dia, sejumlah birokrasi perlu ditinjau agar produk layanan teknologi finansial syariah dapat muncul berbarengan dengan yang bersifat konvensional.
Pengamat ekonomi syariah IPB University, Irfan Syauqi Beik, menilai, ragam produk keuangan syariah yang ada saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ia mencontohkan pinjaman yang bersifat konsumtif seperti untuk pembelian rumah dan kendaraan bermotor, pinjaman modal kerja, serta layanan digital perbankan untuk transaksi secara dalam jaringan.
Khusus untuk pembiayaan proyek besar yang nilainya triliunan rupiah, jasa keuangan syariah belum bisa memfasilitasi. Menurut Irfan, kapasitas dan efisiensi perbankan syariah perlu ditingkatkan. Selain itu, penguatan ekosistem keuangan dan ekonomi syariah juga membutuhkan edukasi dan literasi masyarakat.
”Masyarakat perlu mendapatkan literasi mengenai produk-produk keuangan syariah, termasuk hingga ke sisi sistem akadnya,” ujarnya saat dihubungi, Sabtu.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, per November 2020, total aset keuangan syariah Indonesia (tidak termasuk saham syariah) mencapai Rp 1.770,32 triliun. Nilai tersebut lebih tinggi 20,58 persen Jika dibandingkan dengan per Desember 2019.
Kapasitas dan efisiensi perbankan syariah perlu ditingkatkan.