Ketika suatu wilayah penangkapan sudah tergolong ”full” dan ”overexploited”, pemakaian alat tangkap aktif seharusnya ekstra hati-hati. Ini harus diperhatikan pemerintah sebelum melegalkan kembali cantrang.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah untuk melegalkan kembali penggunaan alat tangkap cantrang dan sejenisnya dinilai sebagai langkah mundur yang akan semakin merugikan nelayan kecil tradisional serta mengancam keberlanjutan sumber daya ikan. Pemerintah pun berjanji memperketat pembatasan dan pengawasan penggunaan kapal cantrang.
Legalisasi penggunaan cantrang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas yang terbit 18 November 2020 lalu.
Lewat permen itu, beberapa alat penangkapan ikan kembali dilegalkan, antara lain pukat hela dasar (trawls) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets). Kapal cantrang diizinkan beroperasi di zona ekonomi eksklusif Indonesia di WPP 711 (Laut Natuna Utara) dan WPP 712 (Laut Jawa).
Sebelumnya, penggunaan cantrang, dogol, dan pukat hela dasar udang dilarang beroperasi di seluruh WPP lewat Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di WPP RI. Permen itu diubah setelah Edhy Prabowo menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dan disahkan setelah ia tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, Jumat (22/1/2021), menilai kebijakan itu sebagai langkah mundur yang bisa mengancam keberlanjutan sumber daya ikan serta menimbulkan gejolak di tingkat nelayan karena persaingan yang tidak adil.
Mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan, tingkat pemanfaatan di WPP 711 dan WPP 712 sebenarnya sudah di level pemanfaatan berlebih (overexploited).
”Ketika suatu wilayah penangkapan sudah tergolong full dan overexploited, maka pemakaian alat tangkap aktif seharusnya ekstra hati-hati. Ini harus diperhatikan pemerintah sebelum mengimplementasikan Permen No 59/2020,” kata Abdul dalam acara sosialisasi dan diskusi Permen No 59/2020 yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta secara virtual.
Ketika suatu wilayah penangkapan sudah tergolong full dan over exploited, maka pemakaian alat tangkap aktif seharusnya ekstra hati-hati.
Di sisi lain, pada kenyataannya, pengoperasian kapal cantrang di lapangan kerap melanggar batas-batas wilayah dan memicu konflik dengan nelayan kecil. Kapal cantrang di Laut Natuna Utara, misalnya, masih kerap masuk ke jalur II, yaitu wilayah perairan dengan jarak 4-12 mil laut.
Permen No 59/2020 mengatur, di WPP 712 (Laut Jawa), jalur penangkapan bagi kapal di bawah 10-30 gros ton (GT) adalah di jalur II (4-12 mil laut). Bagi kapal di atas 30 GT, penggunaan alat tangkap cantrang hanya boleh di jalur III (di atas 12 mil laut). Khusus WPP 711 (Laut Natuna), kapal bercantrang hanya boleh beroperasi di jalur III. Adapun jalur I (0-4 mil laut) harus steril sepenuhnya dari kapal cantrang karena diperuntukkan untuk kapal nelayan kecil dan tradisional.
”Sekalipun pemerintah menyatakan kapal cantrang hanya bisa beroperasi di jalur III, fakta yang disampaikan teman-teman aliansi nelayan di Natuna justru sebaliknya. Ini akhirnya memicu konflik sosial, selain konflik ekonomi juga karena adanya perebutan sumber daya ikan,” kata Abdul.
Jangan buru-buru
Abdul meminta pemerintah tidak terburu-buru mengimplementasikan permen terbaru itu dan menerbitkan izin bagi kapal cantrang untuk beroperasi di WPP 711 dan 712. Sosialisasi dengan nelayan kecil dan tradisional, yang saat ini ramai memprotes terbitnya Permen No 59/2020, juga harus diintensifkan sebelum pemerintah mengeluarkan izin.
”Alangkah baiknya pemerintah menahan dulu penerbitan perizinan sampai bisa dicapai titik temu (dengan nelayan). Kalau tidak, jika pilihannya tetap menolak cantrang, dengan hati lapang, pemerintah juga harus menerimanya sebagai keputusan demi keadilan dalam pengelolaan perikanan,” ujarnya.
Alangkah baiknya pemerintah menahan dulu penerbitan perizinan sampai bisa dicapai titik temu (dengan nelayan).
Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Farid Ridwanuddin khawatir, pada penerapannya kelak, pembatasan jalur penangkapan untuk kapal cantrang bisa semakin mempersempit ruang gerak atau ruang tangkap nelayan kecil dan tradisional.
Dengan pengaturan jalur itu, nelayan kecil dan tradisional akan ”ditempatkan” di jalur I (0-4 mil laut) agar tidak bentrok dengan kapal besar bercantrang yang diizinkan beroperasi di jalur II dan jalur III. Padahal, banyak nelayan tradisional yang sebenarnya bisa melaut sampai jarak 20 mil laut, khususnya di daerah Laut Jawa.
”Pada jarak 0-4 mil laut, nelayan kecil harus bertarung dengan setumpuk persoalan seperti proyek reklamasi, proyek tambang, dan pembuangan limbah industri. Ini bisa mempersempit ruang nelayan, yang awalnya bisa lebih dari 12 mil, menjadi hanya 0-4 mil,” katanya.
Menyikapi hal itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini mengatakan, selama ini, karena tidak ada aturan yang jelas, pemerintah sulit turun tangan ketika ada konflik antara nelayan kecil dan kapal besar bercantrang. Dengan Permen No 59/2020, berbagai jenis konflik bisa dihindari karena penerapan cantrang akan diatur batas jalurnya.
Ia menjamin tidak akan ada penambahan kapal cantrang baru di luar yang sudah didata pemerintah. Kapal non-cantrang dilarang dimodifikasi menjadi kapal cantrang. Alat tangkap pun harus sesuai dengan standar nasional (SNI) yang tidak merusak lingkungan.
Tidak akan ada penambahan kapal cantrang baru di luar yang sudah didata pemerintah. Kapal non-cantrang dilarang dimodifikasi menjadi kapal cantrang.
Pemerintah juga akan menerapkan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lebih besar untuk perusahaan yang menggunakan cantrang. Untuk memastikan tidak ada pelanggaran, setiap kapal cantrang yang diberi izin bahkan akan dipantau oleh pengawas (observer on board) yang khusus ditempatkan oleh pemerintah pusat.
”Saya akan pastikan, jalur 0-12 mil laut di WPP 711 (Natuna) steril dari cantrang. Kalau ada, akan kami tangkap, kami adili sesuai peraturan. Nelayan kecil harus tetap kita lindungi,” kata Zaini.
Ia membantah anggapan ruang gerak nelayan kecil akan terbatas. Meski Permen No 59/2020 melarang kapal besar masuk ke wilayah 0-4 mil laut, kapal kecil dan tradisional diizinkan beroperasi hingga di atas 4 mil laut.
”Jadi, meski jalur 0-4 mil diperuntukkan untuk nelayan kecil, bukan berarti mereka tidak boleh keluar melebihi 4 mil. Silakan saja, sepanjang mampu, tetapi kapal besar tidak boleh turun ke bawah 4 mil,” kata Zaini.
Zaini menambahkan, pemerintah akan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) untuk memantau pergerakan tiap kapal cantrang yang diberikan izin oleh pusat. Semua kapal izin pusat harus dilengkapi GPS agar bisa dipantau secara real time.