Pemilu Lokal Memperkuat Partai
Desain pemilu nasional dan lokal salah satu upaya kelembagaan (institusional) untuk memperkuat sistem politik nasional yang harus dikombinasikan dengan upaya lainnya, seperti reformasi sistem pembiayaan politik.
Rancangan Undang-Undang Pemilu yang menggabungkan UU Pemilihan Anggota Legislatif, UU Pemilihan Presiden, dan UU Pemilihan Kepala Daerah kini sedang dibahas DPR.
Penggabungan ini membuat sejumlah isu krusial, tidak hanya mencakup isu-isu yang selama ini selalu diperdebatkan seperti ambang batas presiden, ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan, dan metode konversi suara menjadi kursi, tetapi mencakup juga soal keserentakan atau keterpisahan pelaksanaan antar-tiga jenis pemilu tersebut.
Keserentakan pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) tingkat nasional sudah final diputuskan Mahkamah Konstitusi. Kini, isu yang harus dibahas DPR adalah apakah akan membagi pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal. Lalu, pemilu mana saja yang penyelenggaraannya dimasukkan dalam pemilu nasional dan mana yang dimasukkan dalam pemilu lokal.
Desain sistem dan pelaksanaan pemilu seharusnya juga mempertimbangkan upaya memperkuat partai dan sistem kepartaian kita. Kelemahan mendasar dari sistem kepartaian saat ini adalah lemahnya hubungan antara masyarakat (pemilih/konstituen) dan partai. Salah satu indikasinya adalah rendahnya tingkat identifikasi partai (party id) sehingga hubungan pemilih dan partai tidak organik.
Data di Lembaga Survei Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir menunjukka bahwa party id hanya di kisaran kurang dari 15 persen.
Data di Lembaga Survei Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir menunjukkan bahwa party id hanya di kisaran kurang dari 15 persen. Artinya, kurang dari 15 persen pemilih merasa memiliki ikatan psikologis-ideologis dengan partai. Ini terjadi, antara lain, karena kehadiran partai di masyarakat sangat jarang, relatif hanya terjadi lima tahun sekali.
Kelemahan ini membuat partai dengan mudah meninggalkan pemilihnya. Fenomena partai berpindah dari oposisi (pemilu) menjadi anggota koalisi (pemerintahan), seperti Golkar (2004, 2009, dan 2014), PAN dan PPP (2014), serta Gerindra (2019), antara lain, dapat dijelaskan oleh lemahnya hubungan partai dan pemilih ini. Sebaliknya, pemilih pun dengan mudah berpindah dari satu partai ke partai lain dari pemilu ke pemilu.
Menurut survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada akhir 2017, perkiraan perpindahan pemilih dari satu partai ke partai lain ini (2019) rata-rata di kisaran 40 persen. Untuk Pemilu Legislatif 2014, menurut exit poll SMRC, perpindahan itu mencapai kisaran 50 persen.
Salah satu cara memperkuat hubungan partai dan pemilih adalah membuat partai lebih banyak hadir di masyarakat. Partai akan punya kemauan kuat untuk hadir kalau ada pemilu. Membagi pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal memungkinkan partai lebih sering menyapa dan hadir di masyarakat sehingga dapat membantu memperkuat hubungannya dengan pemilih atau konstituen.
Desain pemilu lokal
Pemilu lokal mencakup pemilu kepala daerah dan pemilu anggota legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Desain pemilu yang ada sekarang memisahkan pemilu legislatif lokal dan kepala daerah. Pemilu legislatif lokal dilekatkan pada pemilu nasional, sedangkan pemilu kepala daerah dilaksanakan tersendiri secara serentak (gabungan provinsi dan kabupaten/kota) dengan tiga gelombang: gelombang pertama 269, gelombang kedua 101, dan gelombang ketiga 171.
Desain pemilu seperti ini, dari sudut pandang kehadiran atau keterlibatan penuh partai politik, memiliki beberapa kelemahan. Pertama, partai (pengurus dan calon legislatif/caleg) hanya akan lebih besar keterlibatannya di pemilu nasional karena harus memastikan agar eksistensinya tetap ada, baik di tingkat nasional maupun provinsi dan kabupaten, sehingga partai lebih terasa kehadirannya selama lima tahunan.
Kedua, dengan pilpres yang dilaksanakan serentak dengan pileg, fokus perhatian akan lebih banyak ke pilpres, baik dari media maupun masyarakat. Partai dan para caleg banyak tersita perhatiannya pada upaya memenangkan calon presiden. Yang terlihat oleh masyarakat, partai sebagai tim pemenangan calon presiden.
Dalam pilkada model sekarang, peran partai yang paling jelas hanyalah sebagai penyeleksi kandidat kepala daerah untuk didukung dan diusung.
Perhatian terhadap caleg mungkin masih cukup kuat untuk para caleg tingkat pusat mengingat kaitannya yang erat dengan pemilihan presiden. Namun, besar kemungkinan perhatian terhadap pileg untuk provinsi dan kabupaten/kota menjadi jauh lebih kecil.
Ketiga, pelaksanaan pilkada serentak tidak memberikan insentif yang kuat kepada partai untuk secara penuh menggerakkan mesin partai ataupun para anggota legislatifnya di daerah. Dalam pilkada model sekarang, peran partai yang paling jelas hanyalah sebagai penyeleksi kandidat kepala daerah untuk didukung atau diusung.
Saat proses pemenangan calon kepala daerah, keharusan bagi partai untuk bergerak penuh tak ada, apalagi kalau calon kepala daerahnya bukan kader mereka. Tidak ada konsekuensi politik yang besar bagi partai kalau tidak bergerak dalam memenangkan calon kepala daerah. Sudah jamak diketahui, dalam pilkada yang bergerak terutama adalah tim sukses calon, bukan tim partai, meski secara formal ada.
Maka, desain pemilu lokal sebaiknya menggabungkan pemilihan kepala daerah (eksekutif) dengan pemilihan anggota legislatif daerah (DPRD). Dengan model ini, yang hadir di masyarakat dalam pemilu lokal bukan hanya tim sukses calon kepala daerah, tetapi juga tim partai, tim calon anggota legislatif, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Kehadiran partai akan lebih terasa oleh masyarakat.
Karena pemilu lokal itu ada dua tingkatan, yaitu provinsi dan kabupaten/kota, pertanyaan berikutnya adalah apakah pemilu lokal di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota dilaksanakan secara sekaligus? Apabila dilaksanakan semuanya sekaligus, pemilu lokal akan menjadi pemilu empat kotak. Belajar dari pelaksanaan pemilu nasional 2019, pemilu yang banyak kotaknya berpotensi menimbulkan kerumitan dan beban berat.
Alternatif yang dapat ditawarkan adalah membagi pemilu lokal menjadi dua bagian, yaitu pemilu provinsi (gubernur plus DPRD provinsi) dan pemilu kabupaten/kota (bupati/wali kota plus DPRD kabupaten/kota). Secara keseluruhan ada tiga pemilu dalam lima tahun yang semua berskala nasional.
Menurut sejumlah praktisi pemilu, perlu waktu minimal satu setengah tahun untuk persiapan pemilu nasional dan minimal satu tahun untuk persiapan pemilu lokal. Maka, dari sudut pembagian waktu ini, kita dapat melaksanakan pemilu nasional, misalnya 2024, kemudian diikuti pemilu provinsi dua tahun kemudian (2026), lalu pemilu kabupaten/kota tahun berikutnya (2027), dan kembali pemilu nasional dua tahun selanjutnya (2029). Waktu untuk persiapan pemilu tersedia cukup, dengan catatan UU pemilu tidak direvisi setiap lima tahun seperti sekarang.
Dengan desain pemilu seperti ini, setidaknya partai politik harus hadir di masyarakat tig kali dalam lima tahun.
Dengan desain pemilu seperti ini, setidaknya partai politik harus hadir di masyarakat tiga kali dalam lima tahun. Isu-isu yang dibicarakan partai tidak hanya isu-isu besar di tingkat nasional, tetapi dapat juga mencakup isu-isu di tingkat provinsi, serta di tingkat kabupaten/kota.
Semua tingkatan kepengurusan partai dari pusat hingga daerah akan dapat melakukan koordinasi lebih mudah untuk bersatu menghadapi pemilu nasional, kemudian pemilu provinsi, dan pemilu kabupaten/kota. Kerja politik dan isu pemilu yang dikelola partai dapat lebih terpadu dan terfokus.
Dari sudut pandang pemilih atau masyarakat, perhatian akan lebih terfokus. Saat pemilu nasional, perhatian tertuju pada pilpres dan pileg DPR; saat pemilu provinsi pada pemilihan gubernur dan pileg DPRD provinsi; dan ketika pemilu kabupaten/kota, perhatian pada pemilihan bupati/wali kota dan pileg DPRD kabupaten/kota. Tidak ada pemilu yang dianggap lebih penting dari pemilu lainnya. Semua berpotensi mendapatkan perhatian secara maksimal.
Baik partai maupun calon kepala daerah akan terasa dan terlihat kehadirannya di masyarakat. Karena jarak waktu antarpemilu tak terlalu jauh, tak ada kesempatan bagi partai untuk meninggalkan pemilihnya. Hubungan mau tak mau harus terus dipupuk.
Dalam waktu menengah dan panjang, pola ini dapat membantu membangun hubungan yang ajek antara partai dan pemilih/masyarakat. Lambat laun konstituensi partai ikut terbentuk sehingga hubungan partai-masyarakat menjadi lebih kuat.
Manfaat untuk sistem nasional
Desain pemilu nasional dan lokal di atas juga berpotensi memberikan penguatan sistem kepartaian dan pelaksanaan pemerintahan secara nasional. Kebutuhan partai untuk hadir lebih sering melalui pemilu akan menciptakan kebutuhan partai untuk melibatkan masyarakat lebih banyak.
Berdasarkan pengalaman The National Democratic Institute (NDI) dalam pengembangan partai di lebih dari 50 negara sejak 1983, upaya melibatkan masyarakat (outreach) ini mau tak mau akan mendorong partai dalam pengembangan transparansi dan demokrasi internal partai (Breth and Quibell, 2003).
Ini logis karena melibatkan masyarakat lebih banyak dalam kegiatan hanya akan dapat bertahan lama kalau ada transparansi dan ada ruang yang cukup (demokrasi internal) bagi partisipasi masyarakat di partai. Dalam jangka pendek, pelibatan masyarakat bisa saja melalui mobilisasi (misalnya dengan politik uang), tetapi itu akan sulit bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Selain itu, desain ini juga membuat pemilu seolah menjadi sekuensial berjenjang, dari pemilu nasional ke pemilu provinsi, lalu ke pemilu kabupaten/kota. Ketika pemilu provinsi berlangsung, para kandidat dapat mengambil inspirasi dan konteks dari program pemerintahan nasional dalam visi-misi mereka.
Kesinambungan program dari pusat ke daerah dan sebaliknya mendapat jalan politik untuk terakomodasi.
Ketika pemilu kabupaten/kota, para kandidat dapat menjadikan program dan konteks pemerintahan provinsi sebagai inspirasi bagi visi-misi mereka. Sebaliknya, saat pemilu nasional, permasalahan-permasalahan mendesak di provinsi dan kabupaten/kota dapat dikontekstualisasi untuk program pemerintahan nasional bagi para kandidat presiden ataupun anggota legislatif tingkat pusat. Kesinambungan program dari pusat ke daerah dan sebaliknya mendapat jalan politik untuk terakomodasi.
Dengan demikian, desain pemilu nasional dan lokal ini adalah salah satu upaya kelembagaan (institusional) untuk memperkuat sistem politik nasional. Tentu saja ia harus dikombinasikan dengan upaya lainnya, seperti reformasi sistem pembiayaan politik dan partai politik (political financing).
(Djayadi Hanan Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina;, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia)