Ketersediaan kebutuhan pangan pokok tidak dapat mencukupi jumlah manusia di masa depan. Dari kekayaan hayati yang tumbuh di Indonesia, sagu di Papua mempunyai potensi untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal.
Oleh
Martinus Danang
·4 menit baca
Sejak merdeka, Indonesia bercita-cita mencapai swasembada pangan. Pemenuhan pangan tanpa impor adalah kunci kemajuan negara dengan jumlah penduduk tinggi. Tumbuhan sagu ditawarkan sebagai alternatif untuk menjawab permasalahan kecukupan pangan berbasis lokal.
Sudah sejak lama Presiden Soekarno mengingatkan pentingnya kemandirian dan kedaulatan pangan Indonesia. Dalam pidatonya saat meresmikan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada 1952, presiden pertama tersebut mengungkapkan kegelisahannya menyadari tingginya nilai impor beras dibandingkan dengan biaya untuk pembangunan negeri.
Namun, impian Presiden Soekarno untuk menekan impor beras dan mengandalkan sumber pangan dalam negeri hingga kini masih menjadi angan-angan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2018, Indonesia melakukan impor 2,25 juta ton beras dengan nilai 1,03 miliar dollar AS, angka tertinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hingga 2019, impor beras masih terjadi.
Konsumsi beras yang cukup besar ini dihadapkan pada ancaman krisis pangan dalam jangka panjang. Ini disebabkan oleh semakin berkurangnya luas sawah dan ketidakseimbangan iklim. Ditambah dengan budaya menjadikan sebagai kebutuhan pokok, pemenuhan pangan semakin terancam.
Kondisi inilah yang membuat Ahmad Arif memberikan alternatif pemanfaatan sagu untuk menjawab permasalahan pangan berbasis lokal. Buku ini mengeksplorasi nilai sejarah dan manfaat tumbuhan sagu, bernama latin Metroxylon sp, yang cenderung terabaikan. Dalam spektrum yang lebih luas, Ahmad Arif juga melihat sagu tidak hanya sebagai makanan, tetapi juga dari kacamata budaya orang Papua.
Budaya sagu
Hasil kajian yang dikutip dalam buku ini menunjukkan, sebelum mengenal beras, yang berasal dari China, hampir 3.000 tahun lalu nenek moyang di Nusantara menggunakan tanaman sagu sebagai sumber pangan.
Pada masa itu, beberapa penjelajah yang datang ke Nusantara mencatat sagu banyak ditemukan di Nusantara bagian timur, mulai dari Maluku hingga Papua. Ini dilaporkan Rumphius dalam bukunya Herbarium Amboinense (1743) dan Alfred Russel Wallace dalam The Malay Archipelago (1869).
Bahkan, 500 ratus tahun sebelum mereka datang, penjelajah asal Italia, Marco Polo, menuliskan masyarakat lokal Sumatera telah memanfaatkan sagu. Hal ini senada dengan Prasasti Talang Tuo, peninggalan Sriwijaya, yang menyebutkan keberadaan Taman Sriksetra dengan tumbuhan pohon sagu, kelapa, pinang, bambu, dan aren.
Raffles dalam buku History of Jawa (1817) juga menyebutkan tanaman sagu tumbuh di Jawa, tetapi masyarakat sudah tidak bisa mengolahnya lagi. Namun, pernyataan Raffles ini dibantah Scheffer dan Holle dalam publikasi Tijschrift van het Indisch Landbrouw-Genootschap (1873) yang mengungkapkan sagu masih diolah di beberapa wilayah di Jawa. Ditambahkannya informasi bahwa di Jawa sagu memiliki nama-nama lokal, antara lain, ambalung di Banten; kersulu, rembulung, bolu atau toan di Jawa Tengah.
Catatan-catatan arkeologi dan paleobotani ini menunjukkan sagu pernah menjadi sumber pangan penting di Jawa dan Sumatera. Keberadaannya kemudian tergeser, terutama oleh beras yang menjadi makanan pokok.
Beberapa jajanan yang awalnya berbahan baku sagu kemudian diganti dengan tepung lain. Salah satunya kuliner pempek dari Sumatera Selatan, sejak tahun 1980-an menggunakan tepung terigu. Di Jepara, Jawa Tengah, juga dikenal makanan horog-horog yang dibuat dari sagu.
Tanaman asli
Sebuah kajian biologi molekuler menunjukkan bahwa sagu merupakan tanaman asli dari Indonesia. Sejak dahulu, tanaman ini tersebar hampir di seluruh Nusantara dan sebagian kawasan Asia Tenggara.
Dalam buku ini dikutip sebuah penelitian yang menyebutkan setidaknya terdapat 96 varietas tumbuhan sagu di Papua. Tidak mengherankan jika sagu menjadi sumber pangan pokok di sana. Bahkan, sagu dipakai dalam ritual dan upacara adat, seperti lamaran, kelahiran, kematian.
Beberapa suku di Papua juga menganggap sagu sebagai tumbuhan suci. Marga Mahuze menghormati sagu karena menyimbolkan persaudaraan sehingga tidak boleh sembarangan diperdagangkan. Ulat-ulat sagu pun juga dianggap sebagai menu terhormat dalam ritual adat. Bagi orang Asmat, ulat sagu dipercaya sebagai roh leluhur.
Tumbuhan sagu mampu beradaptasi dengan baik dan tidak dipengaruhi oleh musim dan perubahan iklim. Tanaman yang biasanya ditemukan di area rawa-rawa ini dapat dipanen di musim hujan ataupun musim kemarau.
Satu batang pohon sagu bisa menghasilkan sekitar 200 kilogram pati, lebih banyak dari konsumsi beras di Indonesia yang sebesar 132 kilogram per kapita per tahun. Sebagai gambaran, bagi orang Papua, hasil dari satu pohon sagu dapat memenuhi kebutuhan makan satu keluarga selama satu bulan.
Kandungan gizi dan nutrisi dari sagu juga tidak kalah dengan beras dan gandum. Sagu memiliki kandungan karbohidrat 84,7 gram per 100 gram, sementara beras 80 gram per 100 gram dan gandum 77,3 gram per 100 gram.
Dari sisi kandungan protein, sagu cukup rendah. Oleh karena itu, secara tradisional, orang Papua mengonsumsi papeda sebagai salah satu olahan dari sagu dipadukan dengan kuah ikan kuning atau ulat sagu, yang kaya protein.
Pemanfaatan pangan lokal
Kajian FAO pada Januari 2018 menekankan, ketersediaan kebutuhan pangan pokok tidak dapat mencukupi jumlah manusia di masa depan. Untuk itu FAO mewanti-wanti seluruh warga dunia untuk mencari alternatif cadangan pangan.
Peringatan ini selaras dengan ajakan Soekarno lebih dari enam puluh tahun lalu agar Indonesia memanfaatkan sumber pangan lokal untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari kekayaan hayati yang tumbuh di Indonesia, sagu di Papua mempunyai potensi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kini tinggal bagaimana Pemerintah Indonesia memanfaatkan keanekaragaman pangan lokal yang sudah tersedia untuk mewujudkan kedaulatan pangan. (LITBANG KOMPAS)