Sumut Krisis Daging Babi, Harga Tembus Rp 150.000 Per Kilogram
›
Sumut Krisis Daging Babi,...
Iklan
Sumut Krisis Daging Babi, Harga Tembus Rp 150.000 Per Kilogram
Sumatera Utara mengalami krisis daging babi setelah setahun wabah demam babi afrika. Populasi babi di Sumut anjlok dari 1,2 juta ekor menjadi kurang dari 200.000 ekor. Harga daging babi meroket hingga Rp 150.000 per kg.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sumatera Utara mengalami krisis daging babi setelah demam babi afrika (african swine fever/ASF) tidak ditangani secara maksimal setidaknya setahun terakhir. Populasi babi di Sumut anjlok dari 1,2 juta ekor dan kini diperkirakan di bawah 200.000 ekor. Harga daging babi pun meroket dari Rp 50.000 menjadi Rp 150.000 per kilogram.
”Krisis pangan ini akan terus berlanjut jika terus dibiarkan. Kebutuhan babi siap potong di Sumut 500 ekor per hari, kini suplainya hanya sekitar 200 ekor. Itu pun sudah dipasok dari luar daerah,” kata Ketua Asosiasi Peternak Babi Sumut Hendri Duin Sembiring, di Medan, Sabtu (23/1/2021).
Hendri mengatakan, pasokan babi dari sentra peternakan rakyat maupun peternakan skala besar di Sumut masih terus menurun sejak ASF mewabah pada September 2019. Hingga kini, penyakit itu belum bisa dikendalikan karena belum ditemukan vaksin ataupun obatnya.
Akibatnya, populasi ternak babi di Sumut pun terus menurun karena kematian massal yang terus terjadi selama satu tahun lebih. Peternak pun sudah beberapa kali memasukkan kembali ternak babi setelah kandang dikosongkan beberapa bulan dan dilakukan disinfeksi.
”Ada peternak yang beruntung bisa melakukan penggemukan, tetapi lebih banyak yang ternaknya mati lagi diserang ASF,” kata Hendri.
Menurut Hendri, hampir semua populasi di sentra peternakan menurun seperti di Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, dan Binjai. Sentra peternakan di dataran tinggi Danau Toba juga terserang wabah, yakni Simalungun, Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Samosir, dan Karo.
Krisis daging babi ini pun kini berdampak pada semua rantai ekonomi dari hulu hingga hilir. Di hulu, ekonomi para peternak kecil maupun besar terpuruk. Di hilir, pedagang daging dan sejumlah rumah makan pun harus tutup karena tidak adanya pasokan daging babi.
Hendri, yang juga merupakan pemilik Rumah Makan Tesalonika, mengatakan, sekarang ia hanya bisa mendapat pasokan 1-2 ekor babi dalam sehari. Sementara, kebutuhannya delapan ekor per hari. ”Rumah makan lain malah memilih tutup karena tidak ada pasokan daging babi,” kata Hendri.
Atas keadaan ini, sejumlah pengusaha pun mendatangkan 1.400 babi dari Kota Singkawang, Kalimantan Barat, sejak Desember lalu. Hal itu dilakukan untuk mengatasi krisis daging babi yang semakin dalam. ”Namun, pasokan itu sebenarnya masih jauh dari cukup karena kebutuhan di Sumut 500 ekor per hari,” kata Hendri.
Hendri mengingatkan, kekurangan pasokan daging babi bisa berakibat pada krisis pangan di Sumut. Karena itu, ia meminta pemerintah melakukan langkah jangka pendek dan jangka panjang untuk mengatasi persoalan ini. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sudah mengeluarkan pernyataan wabah atau deklarasi ASF di Sumut pada 12 Desember.
”Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pernyataan wabah seharusnya ditindaklanjuti dengan penanggulangan dan penyediaan anggaran yang memadai. Namun, hingga kini itu tidak terlihat,” kata Hendri.
Andri Siahaan (34), peternak di Kecamatan Sunggal, Deli Serdang, mengatakan, para peternak sebenarnya sangat bergairah dengan harga daging babi yang melambung tinggi. Namun, mereka masih waswas karena wabah ASF bisa menyerang sewaktu-waktu. ”Kalau sudah diserang, kematian ternak hampir 100 persen,” kata Andri.
Meski demikian, kata Andri, ia tetap mencoba keberuntungan dengan memelihara tiga ekor babi. Sebelum wabah ASF, ia biasa memelihara hingga 50 ekor. Ia pun cepat-cepat menjual ternaknya meskipun beratnya baru 40 kilogram, hanya setengah dari target panen, karena takut serangan ASF.
”Selain itu, harga di tingkat peternak pun sedang tinggi, mencapai Rp 80.000 per kilogram, naik dari biasanya Rp 20.000-Rp 30.000. Ini harga tertinggi daging babi yang pernah saya tahu,” katanya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap mengatakan, meroketnya harga daging babi di Sumut terjadi karena menurunnya populasi babi. Menurut perkiraan mereka, penurunan populasi ternak babi lebih dari 50 persen.
”Fokus kami sekarang menangani penyakitnya karena kelangkaan pasokan dan kenaikan harga ini memang disebabkan oleh wabah ASF,” kata Azhar.
Azhar mengatakan, upaya jangka pendek yang dilakukan pemerintah adalah memberikan izin memasukkan ternak babi ke Sumut dari daerah-daerah yang dinyatakan bebas ASF. Untuk jangka panjang, penanganan dilakukan dengan pengembangan vaksin oleh Kementan. Saat ini, vaksin ASF pun masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, termasuk di dalam negeri.