Terdampak Pandemi, Harga Sapi Potong di Boyolali Turun
›
Terdampak Pandemi, Harga Sapi ...
Iklan
Terdampak Pandemi, Harga Sapi Potong di Boyolali Turun
Jika biasanya membeli sapi seharga Rp 17 juta, dalam 3-4 bulan, akan dijual dengan harga berkisar Rp 21 juta-Rp 22 juta. Namun, setelah masa pandemi, harga jual hanya Rp 20 juta.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA/NINO CITRA ANUGERAH
·4 menit baca
BOYOLALI, KOMPAS — Kenaikan harga daging di Jabodetabek tidak berdampak pada keuntungan para peternak di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, sebagai salah satu daerah penghasil sapi potong terbanyak di provinsi itu. Harga sapi potong bahkan cenderung turun selama pandemi Covid-19, yang membuat peternak lebih memilih sapi perahan.
Bakri (55), peternak asal Desa Winong, Kecamatan Boyolali, Sabtu (23/1/2021), mengatakan, pandemi Covid-19 benar-benar berdampak pada usaha penggemukan sapi. Ia mencontohkan, jika biasanya membeli sapi Rp 17 juta, dalam 3-4 bulan, akan dijual dengan harga Rp 21 juta-Rp 22 juta. Namun, setelah masa pandemi, harga jual hanya Rp 20 juta.
”Yang saya dengar, penyebabnya karena memang permintaannya. Misalnya, biasanya dikirim 20-30 ekor sekali kirim, sekarang hanya 10 ekor. Berkurang, sekitar 50 persen. Sebelumnya, sapi jantan yang baru lahir harganya tinggi, sekarang biasa saja. Peternak sekarang cenderung memilih sapi untuk diperah,” kata Bakri.
Hadi (67), peternak asal Desa Jurug, Kecamatan Mojosongo, Boyolali, juga mengatakan, pandemi berdampak pada harga jual sapi potong. Ia juga tak memahami keterkaitan dengan kenaikan harga daging sapi di Jabodetabek. Kalaupun nantinya akan semakin berpengaruh, ia terpikirkan untuk menjual di pasar lokal saja.
Ketua Asosiasi Peternak Sapi Indonesia (Aspin) Boyolali Suparno mengatakan, tingginya harga sapi impor dari Australia dapat menguntungkan peternak sapi lokal. Ia berharap, pemerintah berkomitmen mendorong konsumsi sapi lokal. Keberpihakan pemerintah terhadap sapi lokal dinanti kalangan peternak.
”Harapannya memang ada keberpihakan terhadap peternak lokal. Dengan kondisi sekarang, sebenarnya sapi lokal diuntungkan. Apabila nantinya tetap mengimpor, itu pasti akan berpengaruh ke peternak lokal,” kata Suparno.
Tak dirasakan peternak
Suparno menambahkan, harga sapi potong lokal sebenarnya mulai naik atau membaik, sejak akhir tahun 2020. Dari semula harganya berkisar Rp 20 juta per ekor bisa menjadi Rp 23 juta per ekornya. Sementara jika dihitung per kilogram, harganya naik dari Rp 43.000 per kilogram jadi Rp 47.000 per kilogram.
Namun, Suparno menyatakan, kenaikan harga sapi lokal itu tidak juga dirasakan kalangan peternak. Hal ini disebabkan rendahnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli ini diduga akibat adanya pandemi Covid-19. Penurunan daya beli diperkirakan 40-50 persen dibandingkan kondisi normal tanpa adanya pandemi.
”Di satu sisi, harga sapi lokal memang mengalami kenaikan. Tetapi, di sisi lain, daya belinya tidak terlalu banyak. Jadi memang kenaikan harga tidak dirasakan peternak,” kata Suparno.
Suparno mengatakan, rendahnya daya beli masyarakat dapat dilihat dari berkurangnya hewan yang dipotong dari satu rumah pemotongan hewan (RPH). Ia mencontohkan, di Boyolali, jumlah sapi yang dipotong dari satu RPH bisa berkurang 50 persen apabila dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi. Misalnya, satu RPH yang biasa memotong sekitar 50 ekor sapi per hari, saat ini, hanya memotong 25 ekor sapi per hari.
Di satu sisi, harga sapi lokal memang mengalami kenaikan. Tetapi, di sisi lain, daya belinya tidak terlalu banyak.
Di Jateng aman
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jateng Lalu M Syafriadi menuturkan, ketersediaan daging sapi di Jateng 398.000 ton. Penghitungan itu jika merujuk pada populasi sapi usia potong di provinsi tersebut, yakni 1,7 juta ekor. Pada angka tersebut, kebutuhan daging sapi di Jateng dinilai aman.
Di tingkat peternak, di Jateng, harga sapi per ekor yang siap penggemukan menurun. ”Biasanya, harga rata-rata sapi dengan berat sekitar 300 kg, pada tujuh bulan sebelum Idul Adha Rp 16 juta, nanti kemudian akan laku Rp 20 juta setelah dipelihara. Namun, bulan-bulan ini menurun berkisar Rp 1 juta-Rp 2 juta. Sementara daging sapi konsumsi relatif stabil berkisar Rp 110.000-120.000 per kg,” kata Lalu.
Terkait data sapi yang dikirim ke luar kota, seperti ke Jakarta, Lalu mengakui tidak memiliki data rinci. Hal tersebut dikarenakan ada prosedur yang tak berjalan, yakni tidak dilaporkannya surat kesehatan hewan di dua pos lalu lintas ternak (PLLT), di Brebes dan Cilacap atau perbatasan Jawa Barat. Itu, di antaranya, karena pengiriman lewat Tol Trans-Jawa.
”Kami sudah bersurat ke Kementerian Pertanian, dalam hal ini Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, agar difasilitasi kerja sama dengan pengelola jalan tol, misalnya ada satu titik untuk pos lalu lintas ternak. Ini bukan hanya terkait pendataan, tetapi juga untuk pengawasan sebagai antisipasi adanya penyakit menular pada hewan,” ujar Lalu.