Pemilik warung tegal alias warteg kehilangan pelanggan di tengah pembatasan kegiatan publik demi menghambat pagebluk. Bantuan dibutuhkan agar warteg bisa tetap hidup.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
·4 menit baca
Jumat (22/1/2021) siang, Warteg Anisa di Palmerah, Jakarta, tak begitu ramai. Hanya ada tiga pelanggan di situ. Biasanya kantin yang terletak di dekat perkantoran itu ramai. Apalagi selepas shalat Jumat akan datang banyak pekerja kantoran untuk santap siang.
Di sela-sela melayani pelanggan, Anisa (38), pemilik warteg, mengatakan pemasukannya belum juga membaik selama 10 bulan pandemi Covi-19. Salah satunya karena pembatasan aktivitas warga untuk menekan laju penularan virus. ”Masih ada karyawan yang makan meskipun tidak banyak. Anak-anak indekos juga tidak banyak ke sini. Pemasukan berkurang sampai 50 persen,” ucap Anisa.
Pemasukannya sejak awal pandemi berkurang 80 persen, sekarang masih sepi. Tabungan hampir habis untuk operasional. (Sumarsih)
Situasi itu membuatnya kesulitan melunasi sewa tempat seluas 3x4 meter persegi sebesar Rp 1.500.000 per bulan. Karena itu, ia mengajukan pinjaman ke bank untuk bayar sewa tempat.
”Saya biasanya bayar untuk setahun, tetapi uangnya belum terkumpul. Bingung bayarnya bagaimana, sementara ada kebutuhan sehari-hari. Mau tidak mau pinjam ke bank karena belum dapat bantuan dari pemerintah,” katanya.
Ia pun bersiasat supaya tak melulu buntung. Salah satunya dengan mengurangi porsi masakan supaya tak mubazir ketimbang menaikan harga lauk-pauk. Contohnya, mengurangi jumlah sayur atau lauk dari biasanya 1 kilogram menjadi 0,5 kilogram saja.
Pembatasan aktivitas masyarakat bahkan membuat Ahmad Khozin (52) menutup wartegnya di Karawaci, Kota Tangerang, karena sepi pelanggan. Ia membuka warteg baru di Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Omzet warteg yang terletak di kompleks ruko itu cukup untuk biaya kebutuhan hidup sehari-hari, kontrakan, listri, air, serta gaji karyawan.
”Omzet naik turun karena buka tutup wilayah. Penurunan sekitar 30 persen. Sekarang gali lubang tutup lubang untuk tutup biaya sewa. Pemasukan masih ada lebihnya, tetapi sulit untuk menabung,” ucapnya.
Khozin mengurus Kartu Prakerja untuk mencukupi biaya sewa warteg barunya. Dari situ ia mendapatkan Rp 600.000 setiap bulan sebanyak empat kali untuk menambah biaya sewa Rp 28.000.000 per tahun.
Kesulitan serupa dialami Sumarsih (48). Menurunnya pendapatan rutin akibat pembeli yang berkurang menyebabkan ia mengambil pilihan sulit dengan tetap menjalankan wartegnya di Matraman, Jakarta Timur, dan menutup wartegnya di Kuningan, Jakarta Selatan. Tabungannya pun berkurang untuk menutup biaya sewa tempat per dua tahun sebesar Rp 33.000.000.
”Pemasukannya sejak awal pandemi berkurang 80 persen, sekarang masih sepi. Tabungan hampir habis untuk operasional,” ujarnya.
Rojikin (37) juga menutup empat dari 10 wartegnya di Kabupaten Tangerang supaya biaya operasional tercukupi. Dalam kurun 10 bulan, omzetnya belum membaik, berkisar 50 persen dari biasanya.
”Pemasukan turun karena di sini kebanyakan karyawan kerja dalam sif. Pengojek daring juga berkurang. Kebanyakan warga yang lewat dan warga sekitar,” katanya.
Biaya sewa warteg dalam setahun Rp 25.000.000. Biaya itu sangat berat di tengah berkurangnya omzet tanpa ada keringanan sewa dari pemilik. Penggunaan tabungan menjadi pilihan realistis karena belum tersentuh bantuan. Setidaknya sudah setengah tabungannya habis untuk biaya operasional.
”Pekerjaan rumah saya adalah bagaimana cara memperpanjang kontrak karena keahlian saya cuma dagang. Tidak ada yang lain,” kata Rojikin.
Menurut Rojikin, pendapatannya selama pandemi berkurangnya sampai 80 persen dari normal. Tabungannya pun hampir habis untuk operasional. Para pemilik warteg banyak menyampaikan belum tersentuh bantuan usaha dari pemerintah pusat dan daerah. Sejauh ini pun belum ada pendataan dari pemerintah maupun pihak lain untuk penyaluran bantuan.
Perlu bantuan
Imbas pandemi Covid-19 yang belum kunjung tertangani dengan baik membuat banyak warteg kesulitan membayar biaya sewa. Menurut Komunitas Warteg Nusantara, jumlah warteg mencapai ribuan di Jabodetabek dan sebagian besar kini mengalami kesulitan untuk bertahan.
Ketua Komunitas Warteg Nusantara Mukroni mengatakan, omzet warteg makin turun, sedangkan biaya sewa tetap seperti situasi normal. Mau tidak mau sebagian pemilik menutup usaha supaya tidak terus merugi. ”Pemerintah perlu memberi stimulus permodalan supaya bisa perpanjang kontrak dan modal operasional,” kata Mukroni.
Sebagian pemilik warteg berupaya memperpanjang nafas hidup wartegnya dengan mengajukan pinjaman ke bank. Akan tetapi, ada kendala restrukturisasi kredit. ”Pemilik warteg (ada yang) kena kredit macet sehingga tidak boleh pinjam. Padahal, mereka butuh modal pinjaman,” ujarnya.
Wahyoo, usaha rintisan warung makan, juga mencatat banyak mitranya terseok-seok selama pandemi. Pemasukan tak kunjung membaik, sedangkan operasional harus terus berjalan.
Peter Shearer, Founder & CEO Wahyoo Group, menuturkan, pelanggan punya beragam sebab tidak datang ke warteg. Selain pembatasan aktivitas, pelanggan takut risiko paparan Covid-19. ”Pelanggan tidak bisa datang sehingga kami dorong mitra warung makan bisa jualan daring. Berikan perlengkapan untuk kebiasaan baru, seperti bilik pembatas dan tempat cuci tangan,” katanya.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah kini tengah menggali informasi ribuan warteg akan tutup. Data berdasarkan nama dan alamat penting untuk penyaluran bantuan. Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM Bidang Hubungan Antar Lembaga Luhur Pradjarto menyampaikan bahwa usaha kecil dan menengah, khususnya warteg atau warung, sebisa mungkin tidak tutup imbas pandemi.
”Kementerian siap mendukung dan memfasilitasi melalui berbagai program,” ujarnya.
Upaya itu, antara lain, dengan memberikan insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi kredit, perluasan pembiayaan, digitalisasi, dan bantuan tunai sejak pandemi. Di sisi lain, mereka juga mendorong adaptasi kebiasaan baru dengan penerapan protokol kesehatan, literasi digital, pendampingan dan pelatihan, serta standardisasi produk.