Vaksinasi Covid-19 dan Tanggung Jawab Saya
Sejarah penemuan-penemuan penting di dunia mengajarkan bahwa tak ada penemuan yang bersifat final, tetapi terus-menerus diperbarui seturut dampak penemuan dan perkembangan sains.
Di masa pandemi Covid-19, perjumpaan secara fisik, komunikasi empat mata, dengan sesama atau komunitas terdekat menjadi dambaan banyak orang. Betapa pun kita berterima kasih atas penemuan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan pertemuan, rapat, koordinasi, seminar, sekolah dan berkantor di rumah dan seterusnya, namun perjumpaan di ruang nyata tetap tak tergantikan sebab pada hakikatnya manusia makhluk sosial.
Dalam banyak hal, Covid-19 menjadikan relasi fisik antarsesama berjarak. Memakai masker, yang artinya tak bisa melihat wajah utuh, senyum, dan cemberut sahabat. Bernapas pun tak selepas dulu lagi, masker menjadi tembok kecil melepas napas. Disusul jaga jarak fisik dan sosial, entah berskala luas atau terbatas. Tak bebas lagi menyentuh pundak kawan atau bersalaman dengan genggaman erat.
Perjumpaan secara fisik yang berlangsung di ruang virtual tak menampilkan interaksi atau komunikasi yang bersifat multidimensional. Penyandang low hearing seperti saya sangat merasakan ”pemiskinan” dimensi komunikasi melalui ruang-ruang virtual. Gerak mulut, tekanan suara, pancaran mata, dan bahasa tubuh lainnya yang membuat pesan-pesan lebih mudah tertangkap.
Ruang virtual memiliki keterbatasan tersendiri dalam menampilkan komunikasi multidimensional seseorang dalam interaksi maupun komunikasi. Pentingnya kehadiran dan perjumpaan fisik dalam kehidupan manusia bagi orang dengan berpendengaran kurang dapat dijadikan representasi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Tak kurang Yuval Noah Harari mengatakan bahwa perpindahan ruang kelas fisik ke ruang kelas virtual melalui aplikasi, misalnya Zoom, membuatnya tak dapat membaca atmosfer dalam kelas. Ketika ia melemparkan lelucon atau candaan, ia tak tahu apakah mahasiswa-mahasiswanya tersenyum atau tertawa.
Ketika menjelaskan sesuatu, ia juga tak bisa membaca apakah mereka tertarik, mengerti, atau merasa jenuh. Ketika selesai mengajar, ia mendapati dirinya merasa letih karena harus mengeluarkan energi lebih besar untuk membaca tanda atau isyarat sekecil apa pun tentang situasi dalam kelas virtual. Memang ada keuntungan kelas virtual, tetapi juga banyak kelemahannya.
Vaksin Covid-19
Penolakan terhadap vaksin Covid-19 tak hanya terjadi di Tanah Air, tetapi juga di negara-negara lain seperti Rusia, Jerman, Perancis, Amerika Serikat, Australia, dan seterusnya dengan kebijakan berbeda-beda. Di Indonesia, penolakan akan dikenai sanksi pidana maupun denda atas dasar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Darurat Kesehatan, sebagaimana dinyatakan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej.
Australia tidak mewajibkan warganya untuk menjalani vaksinasi, tetapi pemerintah membatasi sejumlah hak-hak mereka yang menolak vaksinasi, di antaranya naik pesawat dan menggunakan transportasi publik lainnya serta pembatasan berada di ruang publik. Beberapa negara mulai memikirkan tentang syarat vaksinasi yang melengkapi paspor entah sebagai wisatawan, studi, atau kunjungan-kunjungan lainnya.
Australia tidak mewajibkan warganya untuk menjalani vaksinasi, tetapi pemerintah membatasi sejumlah hak-hak mereka yang menolak vaksinasi.
Para pakar etika juga menyumbang pertimbangan-pertimbangan etis, di antaranya bahwa vaksinasi merupakan kewajiban untuk menciptakan herd immunity. Penolakan terhadap vaksinasi mengancam keselamatan orang-orang lain, memperpanjang masa pandemi, dan menghambat pemulihan.
Jika kebijakan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) merupakan keputusan yang diambil negara mestinya wajib dipatuhi bagi semua warga negara demi pencegahan penularan Covid-19, begitu pula vaksinasi juga menjadi keharusan. Tetapi juga ada pakar yang menyatakan, berdasarkan pengalaman sejarah pandemi dan temuan fakta kasus-kasus bahwa vaksinasi tak menjamin lenyapnya Covid-19.
Organisasi-organisasi disabilitas di seluruh dunia juga menyuarakan hak atas kesetaraan akses pada vaksin selain mengkaji dampak vaksinasi Covid-19 terhadap penyandang disabilitas tertentu. Sementara itu, media massa mancanegara maupun domestik juga ramai mengangkat isu efek samping vaksinasi Covid-19 pada merek vaksin tertentu terhadap penerimanya.
Pemerintah secara resmi telah mengumumkan siapa saja yang tak boleh menerima vaksin Sinovac. Memanglah, usia penemuan berbagai vaksin Covid-19 masih relatif muda dan sebagaimana halnya setiap penemuan, obat-obatan maupun teknologi membutuhkan rentang waktu tertentu untuk lebih mengetahui berbagai dampaknya.
Bagaimanapun, penemuan vaksin Covid-19 patut disyukuri sebagai bentuk kemajuan berbasis sains. Sejatinya, vaksin merupakan virus yang telah dilemahkan yang disuntikkan ke dalam tubuh manusia agar mampu menghadapi virus. Ketika vaksin dimasukkan ke tubuh manusia, maka tubuh mempelajari virus tersebut untuk menaklukkannya. Dengan demikian, kekebalan tubuh manusia terhadap virus meningkat dan tercipta herd immunity.
Mengembangkan etika tanggung jawab
Dalam pandemi Covid-19, upaya menjaga jarak fisik dalam berbagai wujudnya, disertai pemakaian masker, pembatasan sosial termasuk tak membesuk sahabat yang sakit atau melayat saudara yang meninggal dunia merupakan bentuk tanggung jawab untuk melindungi diri dari paparan Covid-19 sekaligus melindungi orang lain. Dengan berjarak secara fisik dan sosial, kita menyelamatkan kehidupan bersama.
Pentingnya vaksinasi untuk membangun herd immunity menuntut kesadaran setiap warga negara. Vaksinasi bukan semata urusan pemerintah, badan-badan kesehatan sedunia dan para saintis, melainkan juga urusan setiap warga. Pandemi hanya bisa diatasi dengan melakukan aksi solidaritas glbaik dalam komunitas lokal, nasional, bahkan global.
Yuval Noah Harari mengingatkan tentang pentingnya menempatkan solidaritas global dalam kebijakan pemulihan dunia dari pandemi Covid-19. Tak ada negara yang mampu menyelamatkan dirinya sendiri dari pandemi tanpa bekerja sama dengan negara lainnya.
Tak ada pemerintah yang dapat memulihkan negaranya dari pandemi Covid-19 dengan mendiskriminasikan komunitas atau kelompok tertentu. Hanya dengan saling membantu antarnegara melalui ketersediaan vaksin, pemulihan dunia dapat tercapai. Tembok-tembok pemisah harus diruntuhkan, kebencian harus disingkirkan dan solidaritas harus dikembangkan seluas-luasnya.
Pandemi Covid-19 menggarisbawahi kembali tentang pentingnya kesetaraan setiap insan, komunitas, maupun negara khususnya dalam mengakses vaksin. Diskriminasi dan kebencian hanya akan menggiring kepada kegagalan dan dunia menghadapi ancaman pandemi tahap berikutnya dengan mutasi virus yang membuatnya menjadi lebih ganas dan berbahaya. Pemulihan dunia dari pandemi mensyaratkan kemampuan manusia mengembangkan kapasitas khas kemanusiaannya, seperti solidaritas, empati, kasih sayang, dan tanggung jawab.
Pandemi Covid-19 menggarisbawahi kembali tentang pentingnya kesetaraan setiap insan, komunitas maupun negara, khususnya dalam mengakses vaksin.
Dalam konteks demikian, saya melihat etika tanggung jawab Emmanuel Levinas dapat memberi kerangka etis tentang peran penting setiap orang untuk ambil bagian dalam membentuk herd immunity. Kehadiran vaksin Covid-19 sudah lama ditunggu-tunggu dan pemulihan dunia dari pandemi sudah pula lama dinanti-nanti.
Setiap orang rindu mengembalikan dunia seperti semula, dalam arti tak perlu lagi kerja atau belajar dari rumah melalui ruang-ruang virtual, bisa melakukan aktivitas di ruang nyata, berjabat tangan erat-erat, cipika-cipiki dengan sahabat-sahabat terkasih.
Bagi Levinas, karena manusia adalah makhluk sosial, tanggung jawab atas kehadiran orang lain, yang disebutnya ”wajah orang lain”, merupakan bagian dari subyektivitas seseorang. Tanggung jawab bukanlah perintah dari luar subyek, melainkan sebagai hal terberi (given) yang melekat pada eksistensi individu.
Saya tak bisa mengelak sebab tanggung jawab merupakan fakta terberi eksistensial. Dengan demikian, tanggung jawab merupakan cara saya memanusiakan diri. Aku ada bukan untuk diriku sendiri, melainkan untuk orang-orang lain. Itu sebab, tanggung jawab tidak bersifat resiprositas, tetapi mendasari eksistensi. Justru dengan bertanggung jawab, seseorang memanusiakan dirinya.
Tanggung jawab yang dimaksud Levinas juga bukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan diri sendiri, misalnya sebagai guru. Guru mengajar untuk memenuhi tugas-tugasnya dan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tanggung jawab sedemikian, menurut Levinas, justru memanfaatkan orang lain untuk kebutuhan diri sendiri. Etika tanggung jawab yang dimaksud oleh Levinas melekat pada struktur subyektivitas individu sebagai makhluk sosial yang senantiasa terarah kepada wajah orang lain. Saya eksis karena saya subyek yang bertanggung jawab.
Saya tak menyangkal bahwa penemuan-penemuan vaksin Covid-19 bukan tanpa efek samping, terlebih lansia dan penyandang disabilitas tertentu. Sejarah penemuan-penemuan penting di dunia mengajarkan bahwa tak ada penemuan yang bersifat final, tetapi terus-menerus diperbarui seturut dampak penemuan dan perkembangan sains.
Dalam kerangka etika tanggung jawab, pemerintah-pemerintah di seluruh dunia wajib melakukan evaluasi secara terbuka tentang efek samping vaksinasi demi pemulihan dunia dari pandemi sehingga kehidupan menjadi lebih bermartabat dari sebelumnya.
(Rainy MP Hutabarat
Pegiat Anti Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan)