Vaksinasi mandiri Covid-19 yang diwacanakan pemerintah dikhawatirkan memicu ketidakadilan akses terhadap kesehatan warga. Pemerintah diminta lebih fokus mengatasi masalah vaksinasi yang sedang berjalan.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Vaksinasi mandiri Covid-19 yang diwacanakan pemerintah dinilai bisa memicu ketidaksetaraan dan ketidakadilan akses terhadap kesehatan dan keselamatan warga. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, vaksinasi harus diutamakan bagi kelompok rentan terpapar penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 ini.
Vaksinasi Covid-19 di sejumlah daerah, hingga Jumat (22/1/2021), belum mencapai target. Di Provinsi Papua, misalnya, pemberian vaksin Covid-19 bagi tenaga kesehatan telah berjalan empat hari. Namun, baru 273 orang dari 5.406 orang yang terdaftar yang telah menerima vaksin itu.
Selain itu, baru 50 persen dari 614 fasilitas kesehatan di Papua yang siap melakukan vaksinasi. Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Papua Aaron Rumainum, banyak tenaga kesehatan belum divaksinasi.
Di Kota Palembang, Sumatera Selatan, cakupan vaksinasi untuk tenaga kesehatan baru 11,23 persen. Menurut Pelaksana Tugas Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Palembang Mirza Susanty, sistem registrasi menghambat tenaga kesehatan mendaftarkan diri.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, pemerintah sebaiknya fokus menyelenggarakan program vaksinasi bagi kelompok prioritas, yakni tenaga kesehatan dan kelompok lain yang rentan terpapar.
”Banyak kendala penyuntikan 1,2 juta vaksin ke tenaga kesehatan. Sistem telekomunikasi sempat terganggu. Ada yang sulit mendaftar, dan yang sudah mendaftar juga tidak mendapat panggilan,” ujarnya.
Rekomendasi WHO
Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan menilai, rencana pemerintah membuka jalur vaksinasi mandiri menyalahi prinsip kesetaraan dan keadilan akses kesehatan. ”Dalam penanganan pandemi, pemberian vaksin harusnya mengikuti rekomendasi WHO,” kata Irma Hidayana dari LaporCovid19.
Dalam rekomendasi WHO, vaksinasi harus memprioritaskan kelompok rentan terpapar, seperti tenaga kesehatan, warga lanjut usia, dan warga yang tinggal di lokasi dengan tingkat penularan tinggi. ”Distribusi vaksin harus dengan dasar medis dan epidemiologi, bukan kemampuan finansial,” ujar Irma Hidayana.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, seusai rapat terbatas, Kamis (21/1), menyatakan, pemerintah menyiapkan regulasi vaksinasi mandiri. Regulasi itu akan mengatur pembelian vaksin Covid-19 oleh sektor industri tertentu dan diberikan kepada karyawan secara gratis. Sumber vaksin akan berbeda dari vaksin yang diberikan pemerintah secara gratis.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam acara Kompas100 CEO Forum,Kamis (21/1), menjelaskan, meski program vaksinasi mandiri bisa dilakukan, prinsip dasar pemberian vaksinasi harus dipatuhi, yakni vaksinasi harus jadi program sosial untuk mencapai kekebalan kelompok.
Distribusi vaksin harus dengan dasar medis dan epidemiologi, bukan kemampuan finansial.
Selain itu, vaksinasi harus merata agar tidak ada satu golongan tertentu yang mendapat akses vaksinasi lebih dulu. Prinsip lain, pemerintah memberikan vaksin kepada semua penduduk secara gratis. ”Tahap vaksinasi diawali tenaga kesehatan, petugas layanan publik, dan warga lansia. Akhir April-Mei masuk ke masyarakat umum,” katanya.
Bisa terinfeksi
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Daeng Mohammad Faqih mengingatkan, warga yang sudah menerima vaksin Covid-19 bisa terinfeksi virus SARS-CoV-2. Setelah menerima vaksin, bukan berarti kekebalan langsung terbentuk. Masih perlu beberapa hari lagi agar terbentuk antibodi.
Daeng Faqih, dalam diskusi daring yang diadakan Dewan Pers dan BBC Media Action, kemarin, menyebut, vaksin Covid-19 menghasilkan efek optimal setelah warga menerima vaksinasi kedua. Untuk vaksin Sinovac, kekebalan tubuh terbentuk setelah 14 hari dari pemberian vaksin kedua, dan optimal, 98 persen, setelah tiga bulan dari penyuntikan kedua.
Layanan kesehatan
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir menyampaikan, jika kasus Covid-19 melonjak, rumah sakit tidak akan mampu menampung pasien hingga pelayanan tak optimal. Akibatnya, angka kematian dan penularan di masyarakat akan tinggi.
Ada 2.979 rumah sakit yang disiapkan untuk merawat pasien Covid-19 serta 81.000 tempat tidur untuk tempat tidur isolasi dan ruang perawatan intensif.
”Untuk mengatasi kolapsnya layanan kesehatan, mesin birokrasi Kementerian Kesehatan diharapkan bergerak cepat, dipandu strategi nasional yang jelas dan menjangkau level kecamatan, serta menurut pemantauan dan evaluasi real time,” ujar Yurdhina Meilissa dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives saat menyampaikan memo kebijakan kepada Menteri Kesehatan.
Memo kebijakan itu menyoroti kolapsnya layanan kesehatan. Budi Gunadi mengakui ada masalah dalam tes, lacak, dan isolasi. ”Testing, tracing, dan treatment serta isolasi bagai menambal ban bocor. Tetapi, kita tidak disiplin. Cara ujinya salah,” ujarnya. (AIK/TAN/TRA/AIN/FLO/RAM)