Varian Baru SARS-CoV-2 Terbukti Picu Infeksi Ulang
›
Varian Baru SARS-CoV-2...
Iklan
Varian Baru SARS-CoV-2 Terbukti Picu Infeksi Ulang
Mutasi virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19 bermunculan di sejumlah negara. Studi terbaru membuktikan, varian baru virus tersebut lebih bisa menyiasati kekebalan tubuh sehingga dikhawatirkan memengaruhi efektivitas vaksin.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
Varian baru SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 yang diidentifikasi di Afrika Selatan dan Brasil terbukti dapat menyiasati kekebalan tubuh dan terbukti bisa memicu infeksi ulang. Temuan tersebut memicu kekhawatiran tentang keefektifan vaksin.
"Dua varian yang saat ini dikhawatirkan menyiasati vaksin adalah mutasi virus dari Afrika Selatan dan Brasil," kata peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, di Jakarta, Jumat (22/1/2021).
Menurut Riza, mutasi yang dikhawatirkan bisa lolos dari antibodi dan menyiasati vaksin itu yakni S E484K dan S K417T. Kedua jenis mutasi ini ditemukan pada varian B.1.135 di Afrika Selatan dan B.1.1.28.1 di Brasil.
Dua varian yang saat ini dikhawatirkan menyiasati vaksin adalah mutasi virus dari Afrika Selatan dan Brasil.
Mutasi ini juga telah terbukti bisa memicu terjadinya infeksi ulang pada orang yang pernah terinfeksi oleh SARS-CoV-2 sebelumnya. Riset Felipe Naveca dari Instituto Leônidas e Maria Deane, Brasil dan tim yang diunggah di virological.org menyebutkan, garis keturunan SARS-CoV-2 B.1.1.28 telah berkembang di Brasil sejak Februari 2020.
Akan tetapi, sub-garis keturunan P.1 atau disebut B.1.1.28.1 menyebabkan terjadinya infeksi ulang di negara bagian Amazonas, Brasil. Sebelumnya, pasien terinfeksi virus dengan garis keturunan B.1.
Disebutkan, seorang perempuan berusia 29 tahun yang tinggal di Kota Manaus, Amazonas, mengalami dua episode klinis infeksi Covid-19 dengan jeda sembilan bulan. Dalam episode pertama infeksi pada 16 Maret 2020, pasien mengalami demam dan mialgia atau nyeri otot dalam jangka panjang, batuk, sakit tenggorokan, mual, dan sakit punggung.
Pada 19 Desember 2020, pasien mengikuti perayaan Tahun Baru dengan sepuluh orang lainnya yang ternyata positif Covid019. Pasien perempuan ini kemudian menunjukkan gejala Covid-19 episode kedua pada 27 Desember 2020, yaitu demam, batuk, sakit tenggorokan, diare, anosmia, ageusia, sakit kepala, dan pilek, dan dari pemeriksaan molekuler terbukti positif Covid-19.
Analisis genomik menunjukkan ada dua garis keturunan SARS-CoV-2 yang berbeda di setiap episode Covid-19. Infeksi pertama memiliki garis keturunan B.1 pada infeksi primer dan garis keturunan P.1 di infeksi ulang.
Studi terpisah oleh tim yang dipimpin ahli virologi Penny Moore dari Universitas Witwatersrand di Johannesburg, Afrika Selatan yang diunggah di biorxiv.org membuktikan ada beberapa infeksi ulang dengan varian 501Y.V2 yang ditemukan pada mutasi di Afrika Selatan.
Hal ini menunjukkan semakin banyak varian baru yang muncul di tempat-tempat yang terpukul oleh gelombang Covid-19 sebelumnya, dan mampu menghindari respons imun terhadap versi virus sebelumnya.
Saat ini para peneliti Afrika Selatan menguji varian 501Y.V2 dengan serum dari orang-orang yang berpartisipasi dalam uji coba vaksin Covid-19, dan riset serupa sedang dilakukan di laboratorium di berbagai negara terkait varian-varian baru yang muncul.
Penelitian Zijun Wang dari Laboratory of Molecular Immunology dari The Rockefeller University di biorxiv.org pada 19 Januari 2021 menunjukkan, setiap infeksi baru memberi kesempatan virus untuk bermutasi saat membuat salinan dirinya sendiri.
“Beberapa data yang saya lihat dalam 48 jam terakhir benar-benar membuat saya takut,” kata Daniel Altmann, ahli imunologi di Imperial College London, yang khawatir bahwa beberapa hasil dapat menandakan vaksin Covid-19 yang kurang efektif, seperti ditulis Nature.com.
Lebih menular
Selain mutasi dari Afrika Selatan dan Brasil yang berpotensi menyiasati antibodi dan vaksin, saat ini dunia menghadapi mutasi baru dari Inggris yang jauh lebih menular dan bisa memicu kolapsnya layanan kesehatan.
Riza mengatakan, varian baru dari Inggris B.1.1.7 memiliki kecepatan penularan 1,7 kali atau 70 persen lebih cepat dibanding varian D614G, yang sebelumnya dianggap lebih menular. "Varian ini dilaporkan di 54 negara di dunia. Belum dilaporkan di Indonesia, seperti varian dari Afrika Selatan dan Brasil" katanya.
Menurut Riza, belum ditemukannya varian-varian baru di Indonesia bukan berarti belum ada. Kunci dari penemuan varian-varian baru ini adalah survei genomik yang sistematis dan luas. Selain itu, yang harus jadi perhatian adalah varian baru juga bisa muncul di Indonesia sendiri karena besarnya kasus penularan di komunitas.