Yaya Risbaya Menanam Kebaikan dalam Lagu Anak
Yaya Risbaya mengajari anak-anak membuat lirik lagu. Dia ingin anak-anak mendengarkan lagu sesuai dengan usianya.
Yaya Risbaya (34) setia mengalunkan nada kepedulian guna menumbuhkan nilai-nilai baik lewat irama perkusi hingga denting panci penggorengan. Pandemi belum mampu menyurutkan semangatnya menjaga itu semua.
Sayup-sayup lagu bernada ceria itu terdengar di sudut rumah kontrakan di kawasan Dago, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (24/12/2020). Belakangan, lagunya berjudul ”Hai Papua”. Isi liriknya serupa dengan judulnya.
”Hai Papua, aku dari Jawa. Kita itu sama, tidak ada beda. Hai Papua, kabarnya di sana banyak burung terbang, di hutan yang luas.”
Entah untuk berapa kali Baya tersenyum saat lagu itu ia putar kembali. Tiada bosan, ia mengatakan sangat menikmati setiap penggal lagu yang ia ciptakan bersama anak-anak yang belajar padanya.
”Ceritanya dari pengalaman anak-anak itu. Setelah itu, liriknya kami buat bersama. Anak-anak memiliki nilai toleransi yang tinggi. Mereka tidak melihat dari warna kulit, melainkan kebaikan yang dimiliki orang Papua, sama seperti mereka menganggap anak-anak yang lain,” ujarnya.
Sebagai musisi, nama Baya mulai banyak dikenal saat bergabung bersama kelompok musik Mr Sonjaya, tahun 2010. Tiga tahun lalu, ia bergabung dengan Syarikat Idola Remaja, kelompok musik dengan warna pop balada yang kini getol berkolaborasi dengan musisi senior Iwan Fals.
Di antara kiprahnya sebagai musisi profesional, ia sisihkan ilmunya memupuk nilai baik sesuai dengan keahliannya. Kiprahnya bersama lagu anak terjadi tahun 2017. Saat itu Baya menjadi salah satu fasilitator lokakarya menulis lirik lagu anak dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari sana, Baya menemukan cinta pada dunia anak.
Baya melihat anak-anak di zaman ini tidak mendapat keistimewaan seperti dia rasakan dulu saat menikmati sajian musik. Kini, lagu anak kerap bukan berasal dari dunianya. Pesan dan pengetahuan yang dekat dengan keseharian mereka kerap tidak disampaikan. Dunia anak yang erat dengan bermain dan bersenang-senang bersama pun rentan hilang.
”Kalau dulu, ada banyak lagu anak yang terkenal dan memang dinyanyikan anak-anak. Kalau sekarang, hampir tidak ada. Memang tidak ada aturan terkait lagu anak. Tetapi, menurut saya, anak-anak itu, ya, mendengarkan lagu anak,” tuturnya.
Di KPK, Baya melatih 10 anak di kelompoknya. Targetnya, anak-anak ini mampu menciptakan lagu dengan memasukkan nilai-nilai integritas seperti kejujuran, peduli, mandiri, disiplin, kerja keras, tanggung jawab, dan adil.
Satu lagu anak pun tercipta dari anak-anak ini berjudul ”Pergi Sekolah”. Liriknya sederhana, tentang kegiatan para anak belajar bersama sambil menghormati guru. Baya kian tersadar, lirik lagu yang diciptakan anak-anak lebih sederhana, riang, dan bersahabat.
”Lagu anak itu memang seharusnya menggambarkan anak-anak,” ujarnya.
Seusai menjadi fasilitator di KPK, Baya yang telanjur cinta lantas menggagas kelompok belajar Irama Anak Tanah Air di Bandung. Pesertanya adalah belasan anak dari Rumah Bintang, komunitas bermain dan berkreasi. Anak-anak itu diajak belajar membuat lirik lagu.
”Mereka saya minta menulis aktivitas keseharian, mulai dari yang kejadian menarik sampai apa impian mereka kelak. Nanti, setelah dikumpulkan, kami bersama-sama menyusun lirik dari awal, saya hanya sedikit memberi saran padanan kata dan pilihan nada,” ujarnya.
Bukan perkara mudah meminta anak-anak itu mulus berkreasi. Butuh waktu setahun untuk bisa merampungkan satu album yang terdiri atas 10 lagu. Album lagu anak pertamanya bersama Rumah Bintang berjudul Nyanyian Anak Bintang.
Kisahnya lengkap, mulai dari keseharian, impian, hingga toleransi terhadap sesama yang berasal dari lagu ”Hai Papua”. ”Semuanya muncul dari mendengarkan banyak celotehan mereka,” katanya.
Dari celotehan anak-anak ini, Baya melihat keluguan dan kepolosan. Dari sana, inspirasi lagu terbaik punya peluang untuk muncul. ”Saya suka dengan pemikiran anak-anak. Mereka begitu jujur dalam memandang sesuatu. Mereka mampu menggambarkan apa yang mereka lihat, berimajinasi,” ujar Baya. Namun, kepolosan ini juga rentan berdampak jika yang didengar dan nyanyikan bukanlah kisah tentang kebaikan.
Baca Juga: Secercah Asa di Tengah Kerisauan pada KPK
Nilai toleransi
Setelah album pertama, Baya pun menyambangi beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa tengah untuk mengajarkan anak-anak menciptakan lagu pada tahun 2019. Untuk membuktikan cinta dan keberlanjutan misinya, Baya menargetkan membuat satu album lagu anak setiap tahun.
”Sekarang sudah ada dua album, lagunya mungkin lebih dari 20. Saya tidak begitu apik menyimpan rekaman-rekamannya. Yang tersimpan cuma yang disimpan di CD (compact disc),” ujarnya. Lagu-lagu tersebut belum dilepas ke ruang publik karena masih memikirkan mekanismenya royalti dan produksinya.
Ke depan, Baya mengatakan, mimpinya bakal panjang. Dia ingin menjadikan Irama Anak Tanah Air menjadi organisasi resmi sehingga bisa mempermudah mereka bergerak dan berkarya, termasuk urusan produksinya. Selain itu, Baya juga ingin terus berkeliling Indonesia, melihat bagaimana anak-anak di setiap daerah memandang dunia dari kacamata kulturnya sendiri.
”Anak-anak dari setiap daerah pasti memiliki sudut pandang unik. Perbedaan-perbedaan ini akan saya sajikan melalui lagu-lagu daerah yang diciptakan. Keragaman budaya di Indonesia semakin mudah dipahami anak-anak. Itu yang menjadi bibit toleransi,” ujarnya.
Anak-anak dari setiap daerah pasti memiliki sudut pandang unik. Perbedaan-perbedaan ini akan saya sajikan melalui lagu-lagu daerah yang diciptakan. Keragaman budaya di Indonesia semakin mudah dipahami anak-anak. Itu yang menjadi bibit toleransi.
Bantu sesama
Akan tetapi, pandemi Covid-19 menghambat Baya melangkah lebih jauh. Perjalanan ke beberapa daerah tinggal rencana. Namun, Baya tidak ingin diam. Di rumah kontrakannya, ia masih merekam beberapa lagu. Bahkan, kini, di tempat yang sama, ia membubuhi benih baik yang ditanamnya lewat denting panci penggorengan.
Baya bersama rekan sesama musisi memasak untuk nasi bungkus gratis. Dinamakan Dapur Musafir, kegiatan ini berjalan sejak akhir Mei 2020 dan masih berlangsung hingga kini. Pekan ini sudah 33 kali Dapur Musafir berbagi di tengah keterbatasan.
Tak punya cukup tempat, separuh ruang tengah kontrakan Baya berukuran sekitar 3 × 6 meter dijadikan dapur dengan satu kompor gas dan penanak nasi. Separuh ruangan lainnya sengaja dikosongkan sehingga memiliki ruang untuk aktivitas membungkus makanan. Baya dibantu seniman lainnya dan tetangganya yang merupakan tukang nasi goreng keliling.
”Kami dapat pinjaman alat masak tetangga yang berjualan nasi goreng. Sekarang, tetangga-tetangga lain juga suka ikut bantu masak,” ujarnya.
Awalnya, Dapur Musafir ini dilakukan untuk membantu rekan-rekan sesama seniman yang kehilangan penghasilan. Pembatasan kerumunan membuat mereka tidak bisa mengadakan pameran atau konser yang bakal menciptakan kerumunan. Kini, mereka membagi nasi bungkus yang disiapkan sendiri untuk membantu musisi dan anak-anak jalanan.
”Awalnya kami membungkus sekitar 20 bungkus nasi dan lauk. Sekarang bertambah sampai 70 bungkus nasi. Semua bergantung donasi dari rekan-rekan sesama musisi,” ujarnya.
Baya berujar, Dapur Musafir akan disampaikan lintas daerah. Salah satunya dibawa ke Jakarta akhir Desember 2020. Nasi bungkus akan diberikan pada anak-anak jalanan, pengamen, dan tunawisma.
”Masaknya nanti, bersama salah satu musisi senior. Teman-teman seniman juga bisa gabung masak. Namun, semua harus rapid test dulu untuk memastikan kondisi kesehatannya,” tuturnya.
Secuil kisah Baya memberi bukti nilai-nilai baik patut diperjuangkan. Caranya bisa dilakukan dengan apa saja. Baya mencontohkan nilai baik bisa berumur panjang lewat alunan lagu anak hingga denting panci penggorengan.
Baca Juga : Tetap Setia Berbagi meski Pandemi
Yaya Risbaya
Lahir : Kuningan 7 November 1986
Aktivitas :
- Personel Grup Musik Mr Sonjaya (perkusi)
- Personel Grup Musik Syarikat Idola Remaja (perkusi)
- Pendiri Komunitas Irama Anak Tanah Air (2018-sekarang)