Ayo Bangkit Bareng!
Sudah jatuh masih tertimpa tangga. Begitu kira-kira ibarat yang dialami banyak orang di masa pandemi. Tapi lihatlah, tidak semua orang menyerah. Banyak yang bangkit dan membuktikan diri saat digencet pandemi.
Kehilangan pekerjaan dan terpaksa berganti profesi, memulai sesuatu yang baru di masa pandemi Covid-19 bukan hal mudah. Onak dan duri pasti menyertai. Akan tetapi, hidup harus terus diperjuangkan. Saatnya bangkit bersama.
Sudah jatuh masih tertimpa tangga. Begitu kira-kira Irene Sagita Katrina Hutagaol (46) menggambarkan perjalanan hidupnya. Belum lama divonis tumor otak dan harus menjalani operasi, akhir 2019 hingga awal 2020, cobaan lain datang bertubi-tubi.
Usai operasi, saat Katrin tengah berjuang untuk pulih dan kembali bekerja, situasi berubah drastis akibat pandemi Covid-19. Katrin dirumahkan sementara waktu dengan pemotongan gaji, tanpa uang makan dan uang transpor dari kantornya, sebuah agensi iklan berjaringan internasional.
Perusahaan juga tak lagi membayari iuran BPJS-nya. Efisiensi dan pengetatan terpaksa dilakukan perusahaan agar bisa bertahan di tengah pandemi. Katrin pun hanya bisa pasrah meski sangat terpukul. Ada lima anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Belum lagi biaya untuk membayar cicilan rumah juga berobat.
”Air mata sepertinya saat itu sudah habis terkuras. Saya sama sekali tak mengerti kenapa saya dapat cobaan seberat ini. Saya sampai bertanya dalam hati, Tuhan, apa sebenarnya yang Engkau mau. Tapi saya mau tetap kuat karena saya ibarat tiang yang menopang keluarga,” ujar Katrin, Rabu (20/1/2021).
Tak hanya Katrin, Rizki Irawan (36) yang sebelumnya bekerja di sebuah butik pakaian internasional di suatu mal mentereng di Jakarta Selatan pun terdampak pandemi. Rizki, sales executive, kehilangan pekerjaan selepas kontraknya habis di bulan Juni 2020.
”Pas awal pandemi, sekitar Maret, saya sempat diliburkan dua bulan karena mal kan enggak bisa buka. Itu enggak dapat income sama sekali, sampai jelang Lebaran,” ujar Rizki.
Perasaan kalut menghantui Rizki. Sebagai kepala rumah tangga, dia bertanggung jawab pada istri dan kedua anaknya yang masih balita. Apalagi kondisi tak membaik hingga kontraknya habis di bulan Juni. Mal memang sudah kembali dibuka, tetapi situasi masih sulit. Tak banyak konsumen datang berbelanja pakaian.
”Itu pas banget kontrak saya habis. Sampai situ saya berpikir untuk enggak lanjutkan lagi. Saya khawatir efek pandemi masih panjang. Bagaimana nasib saya kalau saya dirumahkan kembali tanpa ada pemasukan,” ujar Rizki.
Melia Annisa (25) pun mengalami situasi serupa. Lulus kuliah, perempuan asal Lampung ini hanya sempat bekerja selama satu tahun. Akibat krisis pandemi, perusahaan pembiayaan alat-alat berat tempatnya bekerja memberlakukan PHK.
Saat itu, menjelang hari raya Idul Fitri, Melia harus kehilangan pekerjaannya. Di tengah situasi tak menentu, Melia memilih pulang ke Lampung.
Di Bali, situasi tak lebih baik. Putu Louis Wahana (30) yang bekerja di sektor wisata pun terpukul. Selama satu bulan pertama pandemi, Louis yang biasanya sibuk mengurusi manajemen vila-vila wisata di Bali terpaksa lebih banyak diam di rumahnya di Nusa Dua. Paling banter, Louis hanya menerima 50 persen dari gaji bulanannya. Louis harus realistis dan memilih banting setir alih profesi.
Tak menyerah
Dalam kondisi terpuruk, Katrin mencoba bangkit dan mencari peluang dengan berjualan kecil-kecilan. Apa saja yang bisa dia beli untuk dijual kembali. Ia sempat bingung lantaran tak punya modal, selain uang sisa gaji yang juga sudah banyak berkurang.
Namun, tekad Katrin sudah bulat. Kebetulan, tak jauh dari tempat tinggalnya, ada pabrik roti kering. Dia pun berjualan roti bagelen. Katrin memanfaatkan akun media sosialnya untuk promosi. Dia juga aktif mencari tahu kebutuhan apa yang diperlukan kenalannya lewat media sosial atau bertanya langsung. Katrin betul-betul membuka mata dan telinga lebar-lebar.
”Saya sampai dikenal pedagang palu gada, apa lu mau, gua ada, ha-ha-ha. Modalnya dari kepo dan curi-curi dengar orang lagi perlu apa. Saya sampai sekarang juga melayani jasa katering antar di sejumlah apartemen. Saya juga menawarkan masker, hand sanitizer, dan disinfektan,” ujar Katrin.
Kelebihan usaha Katrin adalah tak adanya ongkos kirim. Ini karena dia berusaha mengantarkan sendiri barang dagangannya kepada pembeli. Hampir setiap hari, Katrin naik sepeda motor bersama sang suami, mengantar beragam pesanan dari Tangerang tempat tinggalnya ke berbagai area di Jabodetabek.
Katrin juga aktif mendatangi sejumlah pabrik untuk membeli barang dengan harga produsen. Katrin tak mau ambil untung banyak dengan menjual mahal. Saat ini dia yakin, hampir semua orang mengalami kesulitan ekonomi.
”Saya berusaha tetap jaga kondisi. Pakai jaket, masker, minum vitamin, dan jamu untuk menambah imunitas. Kalau capek, ya istirahat. Secara fisik memang capek. Tapi harus tetap semangat demi keluarga,” ujar Katrin.
Louis juga tak mau duduk berpangku tangan. Sejak April 2020, ia mulai membuat roti Perancis yang prosesnya membutuhkan waktu fermentasi berjam-jam. Roti lalu dipasarkan lewat akun di media sosial. ”Hasilnya cukup memenuhi kebutuhan bulanan saya dan istri,” kata Louis.
Peluang bisnis lain juga ditangkapnya dengan memanfaatkan tanahnya yang selama ini tak diurus di Tabanan. Louis sengaja mengambil semua jenis kesempatan yang memungkinkan untuk mendapat pendapatan baru. ”Bertahun-tahun, produksi kopi di kebun ini enggak dimanfaatkan maksimal,” ujarnya.
Louis pun belajar cara panen hingga roasting kopi yang benar. ”Bagus potensinya. Satu kilogram kopi basah awalnya dijual Rp 5.000. Dengan belajar cara mengolah, jauh berbeda penghasilannya,” ujar Louis. Kini ia bahkan bisa mempekerjakan tetangga yang sedang kesulitan ekonomi.
Mengusung pertanaman kopi organik, Louis juga membuat kolam ikan sebagai bahan pupuk dan mengoptimalkan panenan aneka tanaman buah dan sayuran di kebunnya.
”Enggak sulit karena ini passion saya. Meski ekstrem, beda banget dengan profesi di bidang wisata. Belajar ilmu baru, harus menyesuaikan. Mau enggak mau harus belajar,” kata Louis yang juga menyulap atap rumahnya jadi kebun sayuran organik.
Menurut peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, sektor pariwisata adalah salah satu sektor yang tak bisa dipaksa bertahan di masa pandemi hingga mengakibatkan pengurangan jam kerja bahkan pengurangan tenaga kerja. Tingginya angka pengangguran makin kompleks karena diiringi anjloknya daya beli masyarakat dan penurunan produktivitas nasional secara serempak.
”Pekerja terdampak pandemi harus mencari alternatif untuk kompensasi dari pendapatannya. Enggak mungkin berdiam diri. Mereka mencari usaha sampingan atau ya harus beralih profesi,” ujar Enny.
Sepenuh hati
Di rumah kontrakannya di Depok, Rizki juga memutar otak. Awalnya dia dan sang istri ingin berjualan bubur ayam. Istrinya kebetulan bisa memasak. Usaha kuliner dipilih karena bisnis kuliner tak akan mati. ”Semua orang butuh makan,” kata Rizki.
Dari rencana awal bubur ayam, mereka mantap berjualan bakmi ayam, makanan favorit mereka. Agar berbeda, mereka membuat mi ayam gyoza. Semua disajikan tanpa pengawet dan MSG.
Setelah menjajal sistem PO, September 2020 mereka mulai menjalankan usaha bakmi ayam dari rumah kontrakan dengan jasa pesan-antar secara daring. Tekad Rizki, dia ingin memulai usahanya sendiri. Dimulai dari skala kecil, dia berharap kelak akan membesar. ”Modalnya dari jual AC. Waktu itu laku Rp 450.000,” kata Rizki.
Konsumen merespons positif, pesanan terus meningkat. Rizki juga aktif memanfaatkan akun media sosial, tak malu menawarkan kepada kenalan, jejaring yang dimilikinya. Begitupun sang istri.
Setiap hari, Rizki dan istrinya bahu-membahu mengurus usaha bakmi yang diberi nama Bakmi Delapan Lima, sesuai tahun kelahiran mereka. Semua dilakukan sembari mengasuh dua anak balita.
Rizki begitu bersemangat. Dia mencurahkan seluruh tenaga agar usahanya berjalan. Awal tahun 2021, keuletan mengantar mereka bertemu mitra yang mau berbagi tempat usaha di kawasan Kalimulyo, Depok, tak lagi di rumah kontrakan. Varian makanan pun makin beragam.
”Sekarang harian sudah bisa menjual sampai 30 porsi. Kalau weekend bisa dua kali lipat,” kata Rizki.
Beberapa investor bahkan sudah berminat untuk bermitra membesarkan Bakmi Delapan Lima. Rizki jelas sangat bersyukur. ”Apa pun kalau dikerjakan serius, sungguh-sungguh pasti dikasih jalan. Sekarang sudah lewat masa sedihnya,” kata Rizki.
Di Lampung, Melia juga menemukan alternatif pendapatan baru. Ia mengolah kerak nasi seperti yang biasa dibuat ibunya, intip, menjadi makanan ringan.
Bahan dasarnya berupa sisa nasi di dasar periuk. Kerak nasi itu kemudian dijemur, digoreng, lalu diolah kembali. Melia menambahkan rasa keju, pedas, rumput laut, dan jagung bakar.
”Saya riset ke keluarga, tetangga, dan teman-teman sebelum dijual. Dari sana saya paham, anak-anak suka manis, remaja lebih suka pedas. Orang-orang suka karena selama ini mereka cuma tahu rasa manis dan asin,” ujarnya.
Sejak Juli 2020, Melia mulai menawarkan jajanan intip lima rasa dengan modal awal dari uang pesangon. Bahan baku dikirim ibunya di kampung. Selain dijual daring, Melia juga menjajakannya di lokasi warga biasa berolahraga. Per bungkus Rp 15.000.
Melia punya keinginan menjual produknya di pusat oleh-oleh di Kota Bandar Lampung. ”Saya juga berusaha mencari pekerjaan. Kalau dapat sih kepinginnya bisa dua-duanya dijalani. Sementara sekarang belum ada pekerjaan, ya jualan ini dulu,” tutur Melia yang juga jadi reseller keripik pisang kemasan.
Dewi Meisari, Project Leader UKM Indonesia, menuturkan, kuliner menjadi pilihan memulai usaha karena sifatnya yang fast moving. Semua orang butuh.
Melalui akun Instagram @Bangkitbareng yang mengunggah profil pelaku usaha baru karena terdampak pandemi, Dewi berharap bisa memberi ruang berpromosi sekaligus meramaikan dunia digital dengan semangat optimistis, bangkit bersama.
”Jangan give up sama pandemi ini. Ada kok orang-orang kayak gini, menginspirasi. Kenapa kita enggak?” kata Dewi. Ayo, bangkit bareng!