Berbulan-bulan aku berdebat tentang keindahan, budaya, dan keadilan sosial. Dan berbulan-bulan aku buta.
Oleh
Jean Couteau
·3 menit baca
Sejak pandemi Covid-19 merambah negeri, aku kerap ke Sanur. Sudah ada tempat favoritku di situ: kursi-kursi empuk nan kosong dari kafe Hotel Sindhu, tepat di mulut pantai. Di situ aku suka termenung memandang pertemuan laut, langit, dan daratan. Merenungkan alam, kunci hidup dan maut itu.
Dari kursi favoritku itu, sering terlihat, di sebelah kiriku, gunung megah menjulang tinggi, Gunung Agung namanya. Ia dikitari segulungan awan putih yang mengawang, berkabut, seolah enggan menutupi pucuk sucinya. Betapa menenangkan pandangan itu, pikirku.
Baru terperangah sejenak, pandangan mataku suka juga beralih ke laut, ke arah bentangan garis pantai yang mengejar ujung horizon nun jauh di sana, disusul jejeran riak-riak yang menandai batu-batu karang menembus permukaan air. Panorama lalu meluas menjadi dua pita warna, yang satu biru nila bagi laut, yang satunya biru keabu-aban bagi langit. Sama-sama tampil membagi hamparan tak terbatas lautan Hindia.
Lebih dekat, di sepanjang pantai tampil puluhan noktah kecil: kaum pemancing ikan sore hari, berendam di air setinggi paha. Betapa tiada artinya jerih payah manusia di hadapan Tuhan yang menguasai semesta, pikirku terpesona.
Sudah puluhan tahun aku tidak melihat Sanur seindah pada masa pandemi Covid-19 ini. Biasanya ramai sekali, sepanjang hari turis-turis berseliweran, begitu juga pedagang setempat. Terlalu ramai bagiku.
Kini, sebaliknya menjadi sepi, kecuali sore hari. Karena itu, aku sering datang ke Pantai Sindhu ini, menghindari Covid-19, serta melepaskan rindu dengan konco lawas si W, sang penyair ”suara waktu” itu, teman berdebat soal mau ke mana dunia, dari mana kita, dan atas nama politik apa kebencian muncul di sini dan mereda di situ. Kafe Sindhu itulah tempat kami, berdua atau kadang berlima atau berenam jika ramai, asyik berkumpul, berdebat, agar merasa diri kita tetap bagian dari kesadaran dunia.
Namun, meskipun tidak ramai, kami tidak pernah sendiri. Dari lorong pantai kerap muncul pesepeda, pejalan kaki menggiring anjing piaraan mereka, atau penghirup udara sejuk laut itu. Tepian pantai pasirnya tak kurang ramai. Tak sedikit juga mereka yang berjalan bolak-balik di sepanjang pantai, menoleh sebentar ke arah kami, lalu pergi menjauh menawarkan senyum-seringai ke peminat senja lainnya.
Tadi aku ke Sanur lagi, duduk sendiri merenungkan alam, ketika seorang wanita tua mendekati aku dengan senyum khas orang bersahaja di Bali. Aku menyapanya: ”Demen melali-melali di pasih, Ibu?” (Suka berjalan-jalan di pantai ibu?). Dia tersentak kaget, terdiam, raut mukanya berubah kaku, lalu dia mundur perlahan tersipu malu tampak pilu.
Dari belakang terdengar tawa kecil. Ternyata dari si pelayan kafe: ”Ibu itu tadi kaget mendengar bapak berbahasa Bali. Kalau ada tamu bule lain, dia mendekat meminta duit. Mendekati bapak, dia malu!”
Wah! aku ikut kaget: ”Untung tidak banyak orang seperti itu!” jawabku. ”Keliru, Pak,” sahut si pelayan memotong kalimatku: ”Bapak lihat orang-orang yang berendam di laut mencari ikan, lihat, kan?”
Aku berpaling ke laut. ”Mereka semua mencari tambahan makan Pak. Lapar.”
Astagfirullah! Berbulan-bulan aku ke pantai ini. Berbulan-bulan aku terpukau alamnya. Berbulan-bulan aku berdebat tentang keindahan, budaya, dan keadilan sosial. Dan berbulan-bulan aku buta.
Ya! Tuhan. Lihatlah kita ini! Mengapa kehalusan rasa harus menjadi bagian dari kekasaran sosial? Mengapa kecerdasan harus menjadi bagian dari kebodohan. Mengapa pencerahan adalah bagian dari kegelapan? Aku bertanya, Tuhan! Dan tahukah Kau, Tuhan, bahwa Kau memang harus ada?