Cerita Pahit Pagebluk
Kilas balik tentang pagebluk memantulkan kearifan bahwa dari masa ke masa, lembaga plat merah menjadi kunci utama pemberantasan penyakit yang menyebar. Dengan dibantu tim gugus tugas mestinya mengedukasi masayarakat.
Tubuh ini akhirnya dicaplok Covid-19 jua. Tidak tahu dimana saya “kulakan” (belanja) virus ganas itu. Yang pasti, pengujung November-Desember 2020 adalah hari-hari yang tak bakal terlupakan sepanjang hidup keluarga kami. Jujur saja, status Positif dari hasil swab sebenarnya kalah menakutkan dengan stigma negatif masyarakat.
Slogan "jaga tangga" saya plesetkan "adoh tangga" lantaran penyintas Covid-19 di kampung saya malah dijauhi, alih-alih diberi semangat dan dipasok bahan pangan (sayuran). Sebab, seluruh anggota keluarga harus isolasi mandiri selama dua minggu.
Ternyata ikatan solidaritas warga kampung begitu rapuh. Rasa welas asih (kasih sayang) tidak semerbak. Dan, rasa kamanungsan (kemanusiaan) tidak tumbuh dalam situasi pagebluk itu. Sekalipun sudah tes swab ulang dengan hasil negatif, tapi sebagian masyarakat masih menempelkan stigma “berbahaya” bagi keluarga kami.
Alienasi sosial atau pengucilan masih terasa.
Alienasi sosial atau pengucilan masih terasa. Satuan gugus tugas tidak mengedukasi masyarakat, juga tanpa bergerak gesit untuk menebalkan solidaritas. Yang bikin geli serta mengundang kegetiran, yakni bidan desa mengantarkan suplemen vitamin dan susu ke rumah manakala kami dinyatakan selesai menjalani karantina. “Tujune ora mati disik (untung tidak mati duluan),” batin saya yang tidak paham dengan jalan pikiran anggota gugus tugas ini.
Pagebluk memang menyisakan cerita pahit. Demikian pula dengan kenyataan yang terjadi di Hinda Belanda seabad silam. Detik itu, suasana mencekam tersebut terlukis dalam ungkapan getir: “esok lara, sore mati”. Banyak korban bertumbangan.
Guna mencegah pagebluk makin meluas, petinggi pribumi bersama toewan kulit putih memeras otak. Memaksakan kehendak dengan alam pemikiran modern untuk menghadapi kasunyatan pahit ini jelas kurang mempan. Mengedepankan otot alias memakai tindakan semi militer juga kurang tepat, malah memunculkan konfrontasi. Maka, pengobatan dan propaganda kesehatan kudu ditempuh memakai pendekatan kultural. Budaya dan alam pemikiran masyarakat digeledah guna merumuskan formula yang tepat untuk menangkis merebaknya penyakit.
Restu Gunawan (2006) mengisahkan, seorang regent atawa bupati Temanggung bersaran dalam program mengkampanyekan hidup sehat dan pencegahan penyakit menular perlu kiranya menghadirkan folklor atau cerita mitologis yang terekam dalam ingatan kolektif.
Lewat metode getok tular dan agak hati-hati, diceritakan warga lokal punya seekor merpati yang mendengar percakapan hangat dua lelembut. Roh halus pertama bilang, “cara saya menyebarkan penyakit dan kematian, yaitu menuangkan racunku ke dalam air. Mereka yang meminum air tersebut, bakal tutup usia lantaran muntah dan diare.” Roh kedua menyahut, “saya mendatangkan penyakit dan kematian dengan memberikan racunku kepada tikus, kemudian menularkannya kepada manusia”.
Kisah ora tinemu nalar (irasional) ini disampaikan merpati terhadap majikannya. Selanjutnya, sang juragan getok tular memberitahukan kepada para paran poro (tetua kampung) bersama penduduk setempat. Di balai kampung, terjadi pedebatan sengit perihal tindakan yang hendak diambil demi mencegah meluasnya keburukan itu. Hanya saja, tiada warga yang paham apa yang bakal dilakoni.
Dalam atmosfer demokrasi khas padesan (desa), barisan paran poro yang ditokohkan itu menengahi dan urun rembuk menyikapi situasi darurat ini. Dari hasil perbincangan itu, tetua desa menghimbau masyarakat supaya jangan sering mendekati air dan tikus, jika emoh tertimpa bencana. Mereka tidak dibolehkan mengambil air kecuali yang telah dimasak. Lalu, membakar semua tikus yang dijumpai, sebab binatang ini dalam dunia agraris dikenal sebagai hama.
Sepotong cerita di muka gampang diselaraskan pada alam pemikiran Jawa.
Sepotong cerita di muka gampang diselaraskan pada alam pemikiran Jawa. Dan, lumayan berhasil membendung penyebaran penyakit yang dibawa tikus dari negeri Birma berkat kepatuhan masyarakat. Sementara itu, diketahui dari catatan arsip memori van overgave Residen Surakarta, tahun 1924 pes berhasil merenggut 4.482 nyawa di Solo raya. Setahun kemudian, korban pes bertambah sebanyak 5.145 jiwa.
Agar keadaan tidak makin memburuk, perlu sosialisasi pengetahuan tentang penyakit ini. Kebetulan, masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan sedang gandrung dengan kehadiran bioskop tenda keliling alias misbar (gerimis bubar). Layar tancap tersebut merupakan produk dari budaya perkotaan yang ditandai dengan kemunculan listrik.
Tontonan tersebut biasa dijumpai di alun-alun maupun lapangan tingkat onderdistrik (kecamatan). Film yang diputar mengenai pes di pedesaan yang menyerang secara mendadak bak malaikat pencabut nyawa. Saking terkenalnya peristiwa pagebluk berikut penanganannya yang digambarkan dalam film itu, masyarakat menyebutnya “bioskop pes” (Tiknopranoto, 1976).
Film hitam-putih itu sengaja dikampanyekan atas instruksi penggede Belanda untuk mengedukasi masyarakat agar membiasakan hidup sehat dan bersih supaya terhindar wabah pes. Seumpama pemerintah kolonial Belanda bersama penguasa lokal hanya menginstruksikan dinas penerangan untuk menggelar sarasehan (sosialisasi), belum tentu berhasil. Penduduk terpana dengan “gambar idoep” yang menjadi bagian dari teknologi baru itu, dan banyak termanggut setuju.
Sepulang menonton, para warga sukar menolak langkah-langkah pemerintah yang ditempuh selama ini. Ambillah contoh, di saban kalurahan didrop 20 kuli membersihkan rumah yang penghuninya terjangkit pes. Semua perabotan, persediaan pangan dibawa keluar, dinding ganda yang tidak memenuhi persyaratan bagi pemberantasan pes dibuang. Juga merangkul 2 dokter istana Kasunanan bernama Moerman dan Tjokohoedojo guna memeriksa semua mayat di kota.
Tenaga medis keraton disampiri tugas membedah mayat yang dicurigai terkena pes dan mengambil hatinya untuk dicek di laboratorium yang telah dibangun Belanda. Tanpa penjelasan sebelumnya, tentunya aksi pengambilan hati si mayat di mata wong Jawa adalah perbuatan keji. Padahal, dalam dunia kedokteran Barat, cara ini dikerjakan demi memastikan apakah ia terserang penyakit pes.
Kilas balik ini memantulkan kearifan bahwa dari masa ke masa, lembaga plat merah menjadi kunci utama pemberantasan penyakit yang menyebar. Dengan dibantu tim gugus tugas, mestinya mengedukasi masyarakat yang menyebabkan penyintas Covid-19 mengalami tekanan batin.
Sembuh dari korona, tapi hati terluka dengan perlakuan warga. Tipisnya solidaritas masyarakat kampung dan miskinnya rasa welas asih secara tidak langsung menghambat pemberantasan virus tak tertangkap bola mata itu. Korban akhirnya memilih diam alias tidak terbuka meski dinyatakan Positif karena takut dikucilkan bak sampah masyarakat. Buahnya, sebaran virus malah makin tak tertanggulangi.
Mereka yang mengucilkan baru bisa memahami dan merasakan sakitnya ditempeli stigma negatif ketika salah satu kerabatnya terkena Covid-19. Semoga pagebluk lekas berlalu…
(Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Penyintas Covid-19)