Kampanye Protokol Kesehatan Minim Daya Ungkit Edukatif
Pemerintah dan pemerintah daerah didorong untuk menerapkan edukasi yang benar-benar menyasar pembentukan kesadaran masyarakat, bukan sekadar kampanye 3M atau 5M seperti selama ini.
”
JAKARTA, KOMPAS — Walaupun hampir 11 bulan wabah Covid-19 melanda, edukasi protokol kesehatan dinilai belum berjalan sehingga pelanggaran-pelanggaran terus saja terjadi. Yang selama ini dilakukan baru pada tataran kampanye, yang lebih menonjolkan penyampaian informasi.
”Di lapangan, sebetulnya apa yang muncul adalah akibat dari sebelas bulan ini kita tidak pernah ada edukasi tentang Covid-19. Yang ada informasi-informasi yang menurut saya malah menjadi horor,” kata pengajar sosiologi perkotaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansah, dihubungi pada Minggu (24/1/2021). Contoh informasi horor itu adalah penyampaian jumlah orang yang meninggal dan pelanggar protokol kesehatan yang ditangkap penegak hukum.
Akhirnya, penyampaian informasi yang menakutkan itu tidak mengedukasi warga, tetapi menebarkan teror. Penyebaran teror secara terus-menerus kemudian malah menjadikan masyarakat seperti kebas, bukannya sadar tentang risiko penularan Covid-19 jika tidak patuh menjalankan protokol kesehatan.
”Ketika teror ini berlapis-lapis, akhirnya terjadi kristalisasi dalam sistem budaya masyarakat dan direspons dengan, ’Ah, udahlah’,” ujar Tantan.
Kondisi ini kemungkinan turut mendongkrak pertambahan kasus positif, baik di Jakarta dan sekitarnya maupun di Indonesia, meski selama dua pekan ini terdapat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di sejumlah wilayah se-Jawa dan Bali.
Pada awal pemberlakuan PPKM tanggal 11 Januari, ada tambahan 2.461 kasus positif di Jakarta, kasus aktif (masih dirawat atau isolasi) saat itu 17.946 kasus, dan persentase kasus positif (jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dibandingkan jumlah yang dites) kurun sepekan sebesar 13,4 persen.
Hari Minggu, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia mengatakan, tambahan kasus harian sebanyak 3.512 kasus, kasus aktif sejumlah 24.224 kasus, dan persentase kasus positif sepekan terakhir 16,5 persen.
Di tingkat nasional, pada 11 Januari ada 8.692 kasus positif baru dan kasus aktif sebanyak 123.636 kasus. Hari Minggu ini, terdapat 11.788 kasus baru dan total 162.617 kasus aktif.
Pelanggaran protokol kesehatan pun seperti tiada berakhir meski penegakan hukum terus dijalankan. Berdasarkan razia petugas gabungan, Jumat hingga Sabtu (22-23/1), pelanggaran ketentuan jam malam oleh pengelola rumah makan dan minum terjadi di sejumlah lokasi di DKI Jakarta. Aktivitas tersebut berisiko mempersulit upaya menekan pertambahan kasus positif Covid-19 di Ibu Kota, apalagi dua orang diketahui reaktif setelah tes antigen (Kompas.id, 24/1).
Baca juga: Malam Minggu, Pelanggaran Jam Malam Masih Terjadi di Ibu Kota
Dwi Oktavia menambahkan, Satuan Polisi Pamong Praja DKI pada Sabtu (23/1/2021) malam menggelar operasi terpadu penindakan pelanggar protokol kesehatan di sejumlah titik. Petugas mendapati restoran Nostoi di Jalan Karet Belakang, Setiabudi, Jakarta Selatan, melanggar ketentuan PSBB. Satpol PP menindak dengan teguran tertulis untuk tutup sementara dalam 3 x 24 jam.
Melihat kondisi itu, Tantan mendorong pemerintah dan pemerintah daerah menerapkan edukasi yang benar-benar menyasar pembentukan kesadaran masyarakat, bukan sekadar kampanye 3M atau 5M seperti selama ini. Edukasi berarti harus masuk ke sistem pendidikan, sedangkan selama hampir 11 bulan pandemi belum ada internalisasi edukasi Covid-19 dalam mata pelajaran atau pun mata kuliah.
Edukasi juga perlu dijabarkan secara rinci dan teknis. Tantan mencontohkan, mahasiswa sosiologi perkotaan perlu ke lapangan untuk observasi masyarakat, tetapi belum ada panduan tentang bagaimana observasi lapangan yang aman Covid-19.
Baca juga: Masyarakat Butuh Panutan Disiplin Protokol Kesehatan
Untuk edukasi pada masyarakat, keteladanan adalah kunci. Namun, keteladanan dari pejabat publik formal tidaklah cukup. Tokoh-tokoh berpengaruh di lingkungan terkecil, seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama, juga mesti diajak memberikan teladan penerapan protokol kesehatan. ”Kepala dinas pakai masker, masyarakat tidak mencontoh dia. Masyarakat mencontoh yang terdekat, tokoh-tokoh lokal,” kata Tantan.
Itu lantaran masyarakat cenderung mudah diubah dan berubah asal ada tiang-tiang sosiologis terdekatnya yang juga berubah. Dengan demikian, pemerintah perlu mendekati para tokoh lokal, mengajak mereka berdiskusi, lalu mendorong mereka memberi contoh disiplin berprotokol kesehatan, bahkan jika perlu terdapat mekanisme penghargaan untuk itu. Jika tokoh lokal abai, masyarakat pun bakal cuek terhadap protokol kesehatan.
Sementara itu, tingkat keterisian fasilitas kesehatan akibat terus bertambahnya kasus positif Covid-19 kian mengkhawatirkan. Di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, misalnya, jumlah pasien sudah melewati angka 5.000 orang hari Minggu. Padahal, fasilitas ini sudah mempersempit kriteria pasien yang bisa masuk, yakni hanya yang bergejala ringan-sedang.
Letnan Kolonel Laut dokter gigi M Arifin dari Humas RSDC Wisma Atlet mengatakan, jumlah pasien di Kemayoran sekarang 5.036 orang, sedangkan ketersediaan tempat tidur di sana 5.994 tempat tidur. Artinya, tingkat keterisian Wisma Atlet Kemayoran 84,02 persen. Tempat tidur yang belum terpakai hanya tersisa 958 tempat tidur.
Di antara empat menara RSDC Wisma Atlet Kemayoran, tingkat keterisian tertinggi terjadi di Menara 7 sebesar 90,05 persen. Adapun tingkat keterisian di Menara 4 sebesar 85,64 persen, Menara 5 sebesar 88,73 persen, dan Menara 6 sebesar 69,08 persen. Adapun Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) merekomendasikan agar tingkat keterisian fasilitas kesehatan dijaga di bawah 60 persen.
Baca juga: Kegagalan Tes, Lacak, dan Isolasi Picu Kolapsnya Rumah Sakit