Mengasihi
Karena semua asumsi yang belum tentu benar itu menghentikan langkah kita untuk mengasihi, menghentikan tabungan kita penuh untuk mempersiapkan jalan pulang kita.
Saya dulu tak percaya bahwa cerita mengenai orang Samaria yang baik hati yang saya baca di Alkitab, dan hafal karenanya, bisa terjadi dalam kehidupan saya.
Begini ceritanya.
Hadiah
Beberapa minggu yang lalu saya berulang tahun. Dan hadiah ulang tahun yang saya dapatkan adalah sebuah kejadian tak terduga yang dihadiahkan kepada saya oleh follower saya yang telah setia menghadiri acara yang saya buat bersama Becky Tumewu, bernama Obrolan Sebelum Tidur atau OST. Sebuah obrolan ngalor ngidul pada Minggu malam.
Hadiah tak terduga itu disiarkan secara langsung oleh salah satu follower saya yang mendatangi tempat tinggal saya untuk menghadiahkan kue ulang tahun buatan ibunya. Tentu itu hanya sebuah bagian cerita pepesan kosong supaya saya tak menyadari bahwa saya sedang ”dikerjai”.
Karena kue ulang tahun itu sama sekali tidak ada, tetapi sebuah telepon genggam terbaru yang seperti yang sudah pernah saya suarakan dalam acara di Minggu malam itu.
Pada saat saya membuka dos ”kue ulang tahun” itu, saya benar-benar terkesima. Karena apa yang saya suarakan dalam acara itu sebagai sebuah candaan belaka menjadi kenyataan. Benarlah yang dikatakan pepatah yang pernah saya baca. Bahwa di dalam canda apa pun, terselip sebuah pesan atau kebenaran yang sesungguhnya ingin disampaikan.
Anda dan mereka yang memberikan tak akan pernah bisa membayangkan bagaimana perasaan saya. Bahkan setelah siaran langsung yang terjadi di dalam mobil di lahan parkir itu, saya masih dibuat seperti orang linglung ketika saya kembali ke tempat tinggal saya.
Saya mondar-mandir di dalam tempat tinggal itu seperti orang kehilangan arah tak tahu apa yang mau dilakukan. Semuanya seperti sebuah kejadian yang tak bisa dipercaya. Sejuta perasaan berkecampuk. Saya hanya bisa meneteskan air mata.
Hari ini saya mau menceritakan mengapa air mata saya menjadi satu-satunya yang bisa mewakili semua perasaan pada siang itu.
Saya tak menangis karena hadiah telepon genggam itu, meski saya tahu itu adalah telepon genggam terbaru yang stoknya sudah habis di mana-mana dan susah untuk mendapatkannya. Saya tak menangis karena barang itu belasan juta rupiah harganya.
Saya menangis karena untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa saya telah dicintai. Tidak hanya oleh Tuhan yang telah memberi 58 tahun kehidupan yang seperti ayunan, tidak hanya oleh keluarga dan teman-teman dekat saya, tetapi oleh mereka yang tak pernah mengenal saya.
”The Good Samaritan”
Bukankah mereka yang tak mengenal saya dan telah mengasihi saya, mereka itu seperti cerita orang Samaria yang baik hati? Orang yang menolong dan mengeluarkan uangnya untuk menolong orang asing tanpa pamrih. Menolong orang yang tak dikenalnya. Karena kalau saya menolong orang yang saya kenal dengan baik apalah artinya? Semua orang bisa melakukan itu dengan mudah.
Maka saya sempat terpikir untuk tidak menggunakan hadiah itu, tetapi ingin saya pigura dan digantung di dinding tempat tinggal, sebagai pengingat untuk mampu menyalurkan kasih kepada semua orang bahkan mereka yang tak pernah saya kenal. Mereka telah mengajari saya bahwa mengasihi itu tak perlu melihat apa pun dan siapa pun.
Kasih itu tak memiliki persyaratan. Kasih itu benar-benar murah hati. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan Anda dan saya? Berapa banyak orang yang tak kita kenal telah kita kasihi? Berapa banyak orang yang telah kita doakan, mereka yang tak kita kenal dan tak kita ketahui telah mendoakan hidup kita selama ini? Berapa banyak?
Berapa banyak dan seberapa seringnya pikiran yang membuat kita tak jadi mengasihi? Karena ketakutan akan harga yang harus kita bayar untuk mengasihi. Melihat orang minta-minta, terus berpikir ah… mereka malas, cuma bisa mengemis. Ah... mereka tuh kaya sebenarnya. Ah mereka gini, mereka gitu.
Karena semua asumsi yang belum tentu benar itu menghentikan langkah kita untuk mengasihi, menghentikan tabungan kita penuh untuk mempersiapkan jalan pulang kita. Saya sering lupa bahwa saya meminta Tuhan untuk mengasihi saya dengan mudah. Tetapi saya bisa tak mengasihi ciptaan Tuhan dan selalu mengatakan itu sulit dilakukan, apalagi mereka yang telah menyakiti.
Saya suka lupa kalau yang menciptakan begitu mengasihi saya yang plinplan, yang egois, yang berselingkuh, yang maling, yang mulutnya hanya menjatuhkan sesamanya, yang memanipulasi, yang munafik, yang hidup di dua dunia, yang membuat cerita bohong, yang membenci sesamanya?
Follower saya telah mengajari saya untuk menyadari bahwa memikirkan diri sendiri itu bukanlah tujuan Tuhan menciptakan saya di bumi. Mereka menyadarkan saya bahwa mengasihi itu membuat manusia tak akan pernah sendiri, bahkan ketika saya dan banyak orang menyandang predikat yatim piatu.
Di siang itu, mereka mengajari agar saya bisa menjadi seperti seorang Samaria yang baik hati, yang mengasihi tanpa pamrih di tengah dunia yang membuat seseorang lebih memilih hidup di dunianya sendiri, dan merasa bahwa dunianya itu yang paling benar adanya.