Terorisme Masih Mengancam, Libatkan Masyarakat untuk Deteksi Dini
›
Terorisme Masih Mengancam,...
Iklan
Terorisme Masih Mengancam, Libatkan Masyarakat untuk Deteksi Dini
Penangkapan lima terduga teroris di Aceh menunjukkan ancaman teror oleh kelompok teroris di Tanah Air belum sirna. Pelibatan masyarakat untuk deteksi dini penting buat menangkal ancaman terorisme.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penangkapan terhadap lima terduga teroris di Aceh yang berencana membuat bom rakitan menunjukkan ancaman teror oleh kelompok teroris di Tanah Air belum sirna. Pelibatan masyarakat untuk deteksi dini menangkal terorisme sangat penting, apalagi dengan masifnya penyebaran paham radikal melalui media sosial.
Sebelumnya diberitakan, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap lima terduga teroris di sejumlah lokasi di Aceh. Mereka diduga terlibat jaringan teroris yang melakukan pengeboman di Markas Polrestabes Medan, Sumatera Utara, November 2019, dan diduga terlibat jaringan teroris pembuat bom yang ditangkap di wilayah Riau.
Menurut Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah (Polda) Aceh Komisaris Besar Winardy, kelima orang itu berencana membuat bom yang akan digunakan untuk aksi teror di wilayah Aceh. Mereka juga disebut akan berangkat ke Afghanistan untuk bergabung dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Chief Advisor International Association for Counterterrorism and Security Professionals Indonesia (IACSP) Haryoko R Wirjosoetomo, ketika dihubungi, Minggu (24/1/2021), mengatakan, mereka yang terafiliasi dengan NIIS sering disebut sebagai bagian dari kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kelompok ini berbeda dengan kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI).
”Yang membedakan kelompok JI dengan JAD, JI terorganisasi rapi, struktur bagus, tetapi JAD tidak. Jadi, JAD memang tidak ada organisasinya, semacam ’franchise’ teror. Jadi, jaringan teror ini bisa siapa pun dan tidak saling mengenal,” kata Haryoko.
Mereka yang berafiliasi dengan NIIS tersebut bisa jadi terpapar paham radikal melalui media sosial. Kemudian mereka menjadi simpatisan secara pribadi ataupun membentuk kelompok tersendiri.
Dari kasus penangkapan di Aceh, afiliasi mereka kepada NIIS juga tampak karena mereka ingin berangkat ke Afghanistan yang terkait dengan keyakinan mereka tentang kedatangan Imam Mahdi di Khurasan, Afghanistan.
Haryoko melanjutkan, kelompok yang terafiliasi dengan NIIS biasanya menargetkan aparat penegak hukum, yakni polisi.
Dengan penyebaran paham radikal melalui internet, lanjut Haryoko, siapa pun bisa terpapar.
Dari kajian yang ia lakukan, sekitar 12,5 persen dari total populasi di Indonesia, atau sekitar 30 juta orang, sudah terpapar paham radikal. Kemudian, dari jumlah 30 juta tersebut, yang benar-benar terlibat meski bukan sebagai pelaku teror, jumlahnya diperkirakan sekitar 17.000 orang. Jumlah tersebut sudah termasuk keluarganya.
Dengan kondisi seperti itu, pelibatan masyarakat menjadi penting. Pelibatan masyarakat dinilai penting sebagai deteksi dini ketika mereka yang telah terpapar membuat gerakan-gerakan yang mengarah pada radikalisme. Ini selaras dengan yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan.
”Perpres itu memang bukan diarahkan untuk penegakan hukum, melainkan pelibatan masyarakat untuk mendeteksi adanya gerakan yang mengarah pada radikalisme yang biasanya bercirikan pada eksklusivisme,” ujar Haryoko.
Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, hingga saat ini Densus 88 masih memeriksa kelima terduga teroris di Polda Aceh. Dari pemeriksaan tersebut akan dilakukan pengembangan lebih lanjut.